HIDUPKATOLIK.com – Penggunaan sarana teknologi dalam Perayaan Ekaristi jangan sampai menggangu kekhusyukan dan mengaburkan makna liturgis.
Romo John, demikian sapaannya, tersenyum. Ia mengaku baru mendengar ada Gereja Katolik di Indonesia yang menggunakan mesin Electronic Data Capture (EDC) sebagai sarana alternatif untuk umat memberikan kolekte. Hal serupa juga dengan pemakaian dompet digital untuk umat yang ingin berderma atau memberikan sumbangan. Berikut petikan wawancara dengan imam lulusan Istituto Liturgico Sant’ Anselmo, Roma, Italia, ini.
Apa tanggapan Romo terkait dengan penggunaan mesin EDC bagi umat yang ingin memberikan kolekte?
Kolekte merupakan bagian liturgi dalam Perayaan Ekaristi. Kegiatan itu hanya dilaksanakan pada Persiapan Persembahan. Sehingga, bila umat mengirim atau mentransfer sejumlah uang sebelum atau sesudah Misa, hal tersebut bukanlah tindakan liturgis. Sebab, tak menjadi bagian dari Persiapan Persembahan.
Seandainya, dalam Persiapan Persembahan, mesin itu juga diedarkan –seperti kantong atau kotak kolekte– apakah juga akan diantar dan diberikan kepada imam seperti bahan persembahan lain? Seandainya itu (mesin EDC) tak diantar (kepada imam) apa gunanya mesin tersebut dalam Perayaan Ekaristi?
Saya menganalogikannya begini. Saya memiliki makanan untuk perjamuan. Makanan itu saya kumpulkan sebelum kegiatan. Tapi, ketika santap bersama dimulai, saya menyimpan atau menyembunyikan makanan itu di luar. Kalau begitu, apakah makanan yang saya kumpulkan sebelum perayaan berguna untuk makan bersama? Tentu tidak kan. Sebab, saya tak membawa dan menyajikan makanan tersebut untuk santap bersama. Atau, kalau kita memiliki uang tunai, tapi tetap menyimpan uang tersebut di dalam saku atau dompet, maka uang itu tak bisa dikatakan Persembahan.
Pertanyaan saya selanjutnya, apakah selama Misa umat bisa kapan saja menggesek kartu debit atau kredit di mesin EDC itu? Bila itu terjadi, dari segi tata tertib perayaan, justru itu membuat tidak tertib. Sebab, segala sesuatu ada waktunya. Selain itu, tiap bagian Liturgi memiliki kegiatan dan maknanya masing-masing. Jadi, tak bisa dan tak elok, misal saat Doa Pembukaan, tiba-tiba ada umat yang menggesek mesin EDC. Itu sungguh tak tertib dan menggangu kekhusyukan perayaan.
Atau jika ingin dibuat, lakukanlah pada saat Persiapan Persembahan. Ini tentu membutuhkan banyak mesin EDC. Seandainya ini terjadi, perlu dipikirkan lagi, untuk sekali transaksi butuh waktu berapa lama? Sebab jika terlalu lama untuk sekali gesek dapat menggangu umat dan kekhusyukan perayaan.
Maka itu, penggunaan sarana atau teknologi baru dalam Liturgi, sebaiknya dipikirkan lagi secara mendalam mulai dari tempat, waktu pelaksanaan, hingga prosesnya. Hal ini sebaiknya bahkan seharusnya disampaikan terlebih dulu kepada uskup setempat.
Mengapa soal tersebut harus didiskusikan dengan Uskup?
Uskup merupakan penanggung jawab utama Liturgi dalam keuskupannya. Uskup adalah penjaga, pengawas, dan pendorong Liturgi di keuskupannya masing-masing. Sehingga setiap pastor paroki wajib menyampaikan (terutama terkait Liturgi) kepada uskup untuk mendapatkan pertimbangan darinya.
Para pastor paroki harus mengetahui, penggunaan segala sesuatu yang menyangkut Liturgi harus sepengetahuan uskup terlebih dulu. Dia adalah penanggung jawab utama Liturgi di keuskupannya.
Komisi Liturgi itu tugasnya hanya mendidik umat tentang Liturgi. Kami memberitahu kepada umat dalam Liturgi seharusnya seperti ini atau seperti itu sesuai dengan pedoman Gereja. Namun, yang menentukan kebijakan dan penerapan Liturgi di tiap keuskupan adalah uskup setempat.
Selain itu, apa lagi yang perlu diperhatikan soal ini, Romo?
Perlu katekese kepada umat soal tersebut. Menggunakan hal baru perlu sosialisasi atau katekese terlebih dulu kepada umat agar berjalan sebagaimana mestinya. Jadi, umat sungguh-sungguh perlu dipersiapakan lebih dulu.
Selain mesin EDC, ada juga fenomena penggunaan dompet digital. Apakah cara itu bisa digunakan juga untuk mengumpulkan kolekte, memberi stipendium dan iura stolae kepada imam?
Kolekte, sumbangan, atau derma merupakan pemberian sukarela dan tulus dari umat beriman, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Motivasi pemberian itu adalah ungkapan syukur. Bagaimana cara mengungkapkan syukur itu? Dalam Injil dikatakan ada tiga bentuk ungkapan syukur, yakni: doa, derma, dan puasa.
Tuhan Yesus berpesan, jika kamu berdoa hanya untuk dipuji atau dilihat orang, engkau takkan mendapat imbalan. Sebab, imbalannya itu sudah dalam bentuk pujian. Sama halnya dengan berpuasa atau berderma, jika melakukan itu hanya untuk mendapat balasan, engkau takkan mendapat apa-apa dari Tuhan sebab engkau sudah menerima balasan berupa pujian dan perhatian dari orang lain.
Seseorang yang memberi secara tulus selalu berusaha agar pemberiannya tak diketahui oleh orang lain. Petugas liturgi juga jangan sampai mengarahkan umat agar pemberian mereka diketahui oleh umat lain. Coba renungan jika di dalam gereja tiba-tiba ada tampilan barcode untuk umat yang mau memberi kolekte atau memberi sumbangan. Lalu umat beramai-ramai mengangkat handphone mereka untuk memindai (scan) barcode tersebut. Kita jadi tahu umat mana yang mau memberi sumbangan dan mana yang tidak. Ini tentu tak baik.
Saya berharap, penggunaan sarana teknologi baru dalam gereja, terutama saat Liturgi, tak hanya mengejar kemudahan dan mengesampingkan faktor lain, bahkan sampai mengaburkan makna liturgis.
Soal stipendium atau iura stolae. Ini dua istilah yang berbeda. Mengenai stipendium, saat ini Gereja tak menggunakan kata itu lagi. Istilah yang dipakai sekarang adalah stips (Kanon 945-958), yakni sumbangan sukarela umat beriman dalam bentuk uang kepada seorang imam dengan permintaan agar dirayakan satu atau sejumlah Misa untuk ujud atau intensi dari penderma. Stips merupakan balas jasa dari penghargaan sukarela bagi sang imam yang telah melayani suatu kebutuhan umat beriman, tapi bukan kewajiban atau pembayaran umat. Imam pun tak berhak menuntut (stips). Ada atau tak ada stips, imam wajib memenuhi kebutuhan rohani umat beriman.
Sementara iura stolae adalah sumbangan umat beriman kepada seorang imam yang melaksanakan perayaan sakramen, misal: baptis atau perkawinan. Atau melakukan suatu pelayanan pastoral lain seperti pemberkatan rumah.
Dua model pemberian itu tak ditentukan nominalnya. Paling mendasar adalah motif pemberi yakni sukarela. Imam tak boleh menuntut. Ia boleh menerima tapi bisa juga menolak pemberian atas pertimbangan pribadi. Misal, ia diminta untuk memimpin Misa arwah untuk keluarga sederhana. Atas belas kasih, ia menolak jika keluarga tersebut memberikan sumbangan. Ia bisa mengalihkan pemberian itu kepada keluarga yang berduka.
Apa pun cara pemberian sumbangan dari umat beriman hendaknya itu diberikan secara sukarela dan hati yang tulus. Dan hendaknya dijauhkan sama sekali segala kesan perdagangan atau jual beli stips Misa (Kanon 947).
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019
Menarik ulasan ini, kemudahan yang membuat hebo. Lebih baik umat tetap mrmpertahankan cara tradisional yang menjamin kerahasiaan orang memberi dari hati. Atau lebih baik lagi kalau umat menyiapkan kolektenya dari rumah yang diisi dalam amplop kecil. Salam dalam Tuhan!