HIDUPKATOLIK.com – Pro dan kontra memang selalu ada dalam langkah menuju sesuatu yang baru. Lantas, bagaimana Gereja Katolik bersikap?
Seiring dengan perkembangan teknologi, uang tunai tergeser oleh mesin Electronic Data Capture (EDC) dan “kode QR”. Sistem berbasis digital menjalar ke segala aspek. Mulai dari transaksi membeli barang sampai memberi sedekah. Semakin berinovasi, muncullah beragam pembayaran digital.
“Dompet digital” ini lantas juga memasuki sistem transaksi di rumah ibadah. Contoh di antaranya Paroki St. Yohanes Penginjil, Blok B, Jakarta Selatan dan Paroki St. Theresia, Menteng, Jakarta Pusat. Kedua paroki ini adalah contoh bahwa Gereja Katolik sudah mencoba mengikuti perubahan yang ada.
Staf Bagian Keuangan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Yustinus Hari mengatakan, beberapa paroki memang sudah mulai mengurangi risiko penerimaan tunai. Tetapi dari KAJ sendiri, belum ada kebijakan yang mengatur hal ini. “Kami mencermati perkembangan teknologi. Ya kalau itu dirasa baik akan menuju ke sana. Karena belum ada kajian dan bagaimana sistemnya belum tahu,” ungkapnya.
Di Gereja Katedral Jakarta, umat masih menggunakan uang tunai untuk kolekte. Namun, pada kesempatan tertentu, saat berlangsung penggalangan dana, EDC dan transfer melalui rekening juga digunakan.
Mudah dan Transparan
Sama halnya dengan Keuskupan Agung Semarang (KAS). Ekonom Romo Ignasius Aria Dewanto SJ menjelaskan, bahwa paroki-paroki masih menggunakan uang tunai untuk kolekte.
Namun bukan berarti sama sekali tidak ada transaksi elektonik yang masuk ke KAS. Romo Aria menjelaskan, EDC digunakan pada saat-saat tertentu manakala kegiatan penggalangan dana. Paroki-paroki, terutama yang berada di perkotaan, menggunakan EDC sebagai sarana transaksi saat umat ingin menyampaikan sumbangan. “Tetapi, jika di luar kolekte, ada beberapa di antaranya,” ujarnya.
Romo Aria menambahkan, paroki-paroki menggunakan EDC atau digital, mengingat hal ini dirasa memudahkan dalam transaksi. Untuk itu, kebijakan di masing-masing paroki diperlukan agar pelaksanaannya dapat berjalan secara transparan dan akuntabel.
Ekonom Keuskupan Amboina Pastor Thomas Haryono Kud Temorubun mengungkapkan, paroki-paroki di Amboina masih memakai cara lama untuk kolekte. Umat maju ke depan (mengantre seperti komuni) untuk menaruh kolekte. Namun, ia berharap, Keuskupan Amboina bisa mengikuti teknologi yang ada, agar memudahkan paroki yang dari pulau-pulau untuk melapor hasil kolekte. “Belum ada kalau pakai mesin EDC. Setidaknya kalau disini itu pakai cek jika dalam nominal besar,” jelas Pastor Haryono.
Begitupun dengan Keuskupan Pangkalpinang. Ekonom Keuskupan Pangkalpinang, Damian Rahardi mengatakan paroki sekitar belum terlalu menggunakan transaksi digital. “Paling mentok, sistemnya transfer,” ujarnya.
Transfer Stipendium
Apakah transaksi digital ini diterapkan untuk stipendium? Ekonom Kongregasi Bruder Santa Perawan Maria Yang Terkandung Tak Berdosa (FIC) Jakarta, Bruder Albertus mengungkapkan, di tarekatnya tidak semua bruder boleh memiliki rekening atas nama mereka. Untuk itu, stipendium atau honorarium yang diterima untuk seorang biarawan umumnya masih diberikan secara tunai.
“Bruder biasanya tidak boleh punya rekening kecuali ekonom komunitas karena untuk transfer uang ke pusat. Itu saja satu rekening harus berdua dengan bruder pimpinan komunitas. Umat sejauh ini belum ada yang kasih stipendium untuk bruder secara transfer apalagi semacam diisikan Gopay, OVO, dan sebagainya. Masih dalam amplop saja,” jelas Bruder Albertus.
Hal yang sama juga berlaku di Kongregasi Carmelitae Sancti Eliae (CSE). Bagian Keuangan CSE, Frater Hilarius CSE mengatakan, sesuai dengan peraturan yang berlaku, bahwa imam tidak dianjurkan memiliki nomor rekening pribadi. “Sumbangan yang kami dapat dari umat dan stipendium pastor akan masuk ke kongregasi,” ungkap Frater Hilarius.
Selain itu, hal ini berlaku untuk para biarawati. Pembantu Umum Kongregasi Biarawati Abdi Kristus, Suster Maria AK menuturkan, jikalau seorang biarawati akan membuka nomor rekening pribadi, ia harus mendapat izin dari Pemimpin Umum.
Suster Rita CB dari Komunitas Susteran CB Jakarta juga mengatakan hal serupa. “Rata-rata yang punya rekening adalah suster yang bekerja sebagai guru, perawat, dan sebagainya, karena mempunyai gaji. Otomatis, mereka dituntut punya nomor rekening. Tetapi itu hanya lewat uangnya. Nanti kami tarik tunai dan diberikan kepada bendahara komunitas,” ujarnya.
Tidak Bisa Ditolak
Kolekte, sumbangan, penerimaan stipendium secara transfer, gesek di mesin EDC dan bahkan nantinya menggunakan kode QR, menurut Rektor Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, A. Prasetyantoko, adalah sistem pembayaran yang paling sederhana. Pras, sapaannya, memberikan contoh negara dengan sistem pembayaran maju, mereka sangat minim menggunakan transaksi tunai. Aktivitas pembayaran sebagian besar dilakukan secara elektronik.
“Bahkan ini bercandaannya, atau beneran, saya kurang tahu, seperti yang diberitakan, bahkan pengemis pun kalau kita mau kasih, ya pakai kode QR. Saking di sana masyarakat yang sangat maju semua pakai digital. Penggunaan uang tunai masih bisa, tetapi tidak ada kembaliannya. Jadi semua orang terdorong dengan untuk apa saya pakai tunai, enggak ada kembalian juga,” ujarnya.
Menurut Pras, persoalan seperti kolekte tidak pakai kotak atau kantong itu mungkin terjadi dalam situasi generasi tertentu, tapi bisa dipastikan, generasi berikutnya, tidak lagi gagap dengan kondisi seperti ini. “Generasi kita mungkin masih berkomentar kok kolekte tidak pake kantong. Tetapi generasi anak kita, sudah tidak peduli,” timpal Pras.
Baginya, Gereja Katolik harus mendekatkan diri dengan teknologi. “Karena umat yang dilayani pada generasi mendatang adalah generasi yang melek teknologi. Kalau Gereja fobia terhadap teknologi, maka esensinya adalah Gereja tidak akan bisa melayani dengan baik,” tegasnya.
Efeknya, tambah Pras, Gereja menjadi berjarak dengan generasi yang dilayani. Teknologi dilihat sebagai sebuah alat, dan tidak mengubah esensi. Jadi mau kolekte, mau sumbangan, itu esensinya adalah sumbangannya, yakni uangnya. Dalam hal ini, Pras mengungkapkan, bahwa kotak atau kantong dan “kode QR” atau mesin EDC derajatnya adalah sama. Sebagai alat yang conventional digital dan maju. Tapi perlu diingat bahwa kemajuan itu sesuatu yang alamiah dan tidak bisa ditolak.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019