HIDUPKATOLIK.com – Teknologi berkembang pesat dan bersifat mengubah. Salah satunya, adanya fasilitas mesin EDC dan kode QR yang di pergunakan sebagai “kantong kolekte umat”.
Lonceng Gereja Santo Yohanes Penginjil, Jakarta Selatan, berdentang, tanda Perayaan Ekaristi akan segera dimulai. Petugas tata tertib segera menata bangku-bangku di halaman, berjaga jika di dalam sudah penuh.
Di saat yang sama, satu demi satu umat melangkah memasuki halaman gereja. Beberapa langsung mengambil air suci di pintu utama kemudian masuk ke dalam gereja. Tak jauh dari pintu itu, petugas tata tertib terlihat membagikan warta paroki kepada siapa saja yang membutuhkan.
Salah seorang dari petugas tata tertib itu, dengan membawa map dan tas, berjalan menuju sebuah meja di sisi kanan pintu utama gereja. Di meja itu, ia meletakkan sebuah plakat akrilik bertuliskan “Kolekte dengan mesin EDC” (Electronic Data Capture).
Beberapa orang lainnya menghentikan langkahnya di meja tersebut dan mengeluarkan kartu ATM dan melakukan transaksi dengan mesin EDC dibantu oleh petugas. Setelah itu barulah mereka masuk ke dalam Gereja.
Tidak hanya sebelum Perayaan Ekaristi, mesin EDC tersebut didatangi umat saat persembahan, setelah komuni dan bahkan setelah Perayaan Ekaristi usai. Pengumpulan kolekte dengan EDC ini sudah berlangsung di Paroki Blok B sejak akhir tahun 2017. Dengan mesin EDC ini, umat dapat mengirimkan persembahan atau kolektenya langsung ke rekening bank paroki.
Alternatif Lain
Mantan Bendahara Dewan Paroki Harian (DPH) Paroki Blok B Is Susetyaningtyas menjelaskan, ide penggunaan mesin EDC untuk pengumpulan kolekte ini, pertama dimaksudkan untuk memberi alternatif kepada umat cara memberikan kolekte atau persembahan melalui transaksi debit maupun kredit. Dalam hal ini, paroki bekerjasama dengan sebuah bank untuk menyediakan mesin EDC pada setiap kali Misa. Kedua, Paroki Blok B mendukung program pemerintah yang menganjurkan masyarakat menuju ke cashless society, dengan memperbanyak transaksi non tunai.
Dikarenakan tujuan awal mesin EDC adalah sebuah alternatif, Paroki Blok B tidak menghilangkan kotak kolekte. Is menjelaskan, kotak kolekte tetap berada di dalam gereja dan umat bisa memilih kolekte dengan uang tunai atau menggunakan kartu ATM.
Adanya mesin EDC juga tidak semata-mata mengikuti perkembangan zaman. Bagi Is, yang sudah 29 tahun menggeluti bidang perbankan, ada beberapa faktor kenapa uang tunai harus diminimalisir. Pertama, dari segi keamanan, menurut Is, tentu membahayakan bagi orang jika membawa uang tunai terlalu banyak. Kedua, segi kepraktisan. “Sekarang orang hanya membawa satu kartu bisa transaksi di mana aja dan kapan aja,” timpalnya.
Melalui mesin EDC, Is menambahkan, uang kolekte akan langsung terkirim ke rekening paroki. Ini ada dalam segi kepraktisan karena tidak perlu lagi ada unsur menghitung. Ketiga, segi kesehatan. Sepengetahuan Is, uang itu termasuk salah satu barang yang kurang higienis. Keempat, meminimalisir fraud/penipuan/kecurangan. Hal ini terkait adanya salah hitung dan unsur ketidaksengajaan atau sengaja. “Pernah ada kejadian kolekte gelap di paroki kami. Saat itu setelah Misa hari besar. Hasil kolekte yang sudah dimasukkan ke tas, dilempar keluar dari halaman gereja,” ujar Is mengisahkan.
Harus diakui, selalu ada risiko saat akan membawa hasil kolekte dari gedung gereja ke gedung paroki. Mengingat, di Paroki Blok B, pastoran dan gereja dipisahkan oleh sebuah jalan umum yang cukup lebar. Is menambahkan, institusi keuangan juga melihat ada banyak peluang untuk terjadinya fraud atau penipuan dalam transaksi tunai.
Pro dan Kontra
Sejak diluncurkan, hanya orang-orang tertentu yang menggunakan mesin ini. Tidak dipungkiri, keputusan ini juga menimbulkan pro dan kontra. “Beberapa orang yang bertugas merasa khawatir tidak bisa mengoperasikan, namun selama ini beberapa umat malah sudah khatam menggunakan mesin EDC, jadi tidak ada masalah,” ungkap Is.
Berdasarkan cerita Is, karena mesin EDC tersebut bisa mencakup debit dan kredit, beberapa umat berpikir berbeda. Menurut beberapa umat ini, kolekte menggunakan “kartu kredit” dirasa memiliki arti “negatif”. “Buat saya tidak masalah dan tidak berisiko apa-apa. Kartu kredit juga alternatif pembayaran,” ujarnya.
Is menuturkan, perkembangan cara manusia menggunakan uang sedemikian rupa adalah karunia dari Tuhan juga. Tuhan juga yang menciptakan manusia dan menganugerahinya dengan akal budi, kemampuan yang memungkinkan manusia untuk menciptakan aneka teknologi, termasuk teknologi yang berhubungan dengan transaksi keuangan.
Berjalan selama kurang lebih dua tahun, Bendahara I DPH Paroki Blok B M. Th Inti Sulistyowati meyakini, adanya mesin EDC di paroki bisa mengantisipasi permintaan dari umat juga. Umat yang akan memberikan kolekte pun menjadi lebih fleksibel. “Mungkin ada umat ketinggalan dompet, atau lupa mengambil uang tunai, bisa langsung gesek saja di depan gereja,” ungkap Inti.
Terus Maju
Tak berhenti hanya dengan mesin EDC, Paroki Blok B pun berinisiatif memfasilitasi umat dengan menyediakan “kode QR”, sebagai alternatif lain memberikan kolekte. Seperti diketahui, saat banyak transaksi keuangan dilakukan dengan cara ini. “Tentunya harus seizin Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Sejauh ini kami menggunakan mesin EDC tidak masalah dan tergolong lancar,” jelas Inti.
Mengikuti perkembangan yang sekarang serba online, selain Paroki Blok B, Gereja Theresia, Menteng, Jakarta Pusat juga telah meluncurkan “pilot project”, di mana umat dapat memberikan sumbangan lilin dengan “kode QR” pada bulan September lalu.
Bendahara II DPH Paroki Theresia, Menteng, Venny mencari cara agar paroki mengikuti metode cashless. “Kode QR yang kami pakai dapat digunakan dengan enam platform yang berbeda. Di antaranya OVO, Gopay, Dana, Link Aja!. Jadi bisa lintas platform. Dana sejauh ini, kalau dilihat cukup banyak transaksi yang masuk, sekitar 300 transaksi,” jelas Venny.
Tentunya, Venny juga mendengarkan komentar umat seperti Gereja Katolik kok seperti di toko. Namun, ada juga umat yang justru terbantu dengan adanya “kode QR”. “Terakhir belakangan ini, trending cashless ya. Kadang orang tidak bawa dompet tapi yang penting bawa handphone sudah bisa bayar. Anak-anak milenial sekarang juga kalau bayar hutang ya transfer. Dengan kode QR menjadi step awal untuk lebih efisien,” ujarnya.
“Kode QR” nantinya tidak hanya untuk sumbangan lilin saja, tambah Venny, tetapi ada rencana untuk dipergunakaan dalam persembahan. Itu pun setelah tahapan dari pilot project yang sudah berjalan. “Masih dipikirkan mekanismenya. Karena jika kode QR diedarkan saat persembahan, umat menjadi tidak fokus. Padahal maksudnya mau beralih ke era digital tapi tidak berarti kita mengorbankan hal-hal yang lain juga,” pungkas Venny.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.43 2019, 27 Oktober 2019