HIDUPKATOLIK.com – Gaya hidup glamor, sensualitas, dan eksotisme tubuh menjadi pegangan hidupnya. Tuhan menegurnya secara keras, ia pun sadar, bahwa tubuh adalah penyingkapan misteri Allah.
Kemiskinan, sebuah gambaran kehidupan yang tak pernah dipikirkan Villana De Botti. Sebagai putri saudagar kaya di Florence, Italia, ia lahir dan hidup di dalam kastil yang mewah. Semasa hidup, Villana terbiasa dengan suasana hingar bingar.
Dikelilingi kemewahan, sepertinya sulit bagi Villana memahami konsep kemiskinan dan pertobatan. Kekudusan hidup bukan perjuangan utama yang ia cari. Di situlah, ia mengerti, bahwa semakin banyak relasi dengan bangsawan lain, adalah cara untuk semakin memperkokoh kejayaan keluarga.
Namun, kuasa Allah selalu lebih besar dari seberapapun kekuatan manusiawi. Villana yang sebelumnya hidup dalam kemewahan, akhirnya menyerah. Hidupnya yang “terombang-ambing” akhirnya bermuara pada kepasrahan akan rahmat Allah. Dalam kepasrahan itu, Allah mengetuk hatinya, dengan pertobatan yang sempurna. Ia menjadi wanita awam Dominikan yang saleh dan kudus.
Wanita Genit
Villana tumbuh sebagai gadis saleh yang bahagia. Kecintaannya kepada Tuhan ia wujudkan dengan ketekunan dalam doa. Namun, kesalehan ini ternyata bertolakbelakang dengan keinginan sang ayah. Menginjak remaja, Villana dikenalkan dengan kebiasaan sang ayah yang gemar hidup berfoya-foya.
Keluarga Botti, bukan keluarga yang jahat, hanya saja terlalu duniawi. Segala sesuatu diukur berdasarkan relasi material. Sampai-sampai, praktik doa dan silih atas dosa dalam keluarga juga mengandung unsur materialistik. Bila keluarga Botti berdoa, selalu menyelipkan intensi meminta kemakmuran dan kekayaan.
Sejak itu, pesta, dansa, dan kemeriahan adalah teman hidup Villana. Kendati demikian, di atas kemeriahan pesta itu, terselip kerinduan Villana untuk mencari kehidupan yang lebih agung. Beberapa kali, ia berusaha melepaskan cengkraman keduniawian, dan mengejar intensi luhurnya ini. Bila malam menyelimuti, Villana kerap berlari ke arah gerbang rumahnya, yang berbatasan dengan belukar, untuk bertapa sesaat.
Beberapa kali Villana lolos. Namun, ada saatnya, ia terpergok dan akhirnya dilarang ditertawakan oleh semua anggota keluarga. Sang ayah yang geram dengan ulah Villana lalu terus mencari cara mengakhiri ulah putrinya. Sang ibu dengan marah membakar semua peralatan termasuk pakaian pertapa Villana. Hingga, Villana pun akhirnya dinikahkan dengan seorang pria kaya raya bernama Rosso di Piero.
Villana pun berubah total setelah pernikahannya. Ia menjadi wanita genit. Kesalehan yang dulu pernah menjadi bagian hidup, sudah ia lupakan. Villana menjadi gemar berdandan menor, memakai gaun pesta mewah, dan ia selalu mencari perhatian di tengah keramaian laki-laki yang memperhatikannnya. Kemanjaan dan sensitivitas kepada nafsu seksual selalu ditunjukkannya, manakala ada lelaki lain yang melirik. Kesucian perkawinan tak digubrisnya lagi.
Tubuh sebagai penyingkapan akan pribadi Allah, nampaknya jauh dari pribadi Villana. Tubuh sebagai realitas Ilahi tak dirasakan Villana sebagai jalan menuju pertobatan. Sebaliknya, ia hanya berusaha mendapatkan kenikmatan sesaat.
Kebahagiaan hidup bagi Villana adalah perjuangan untuk melupakan pikiran-pikiran tentang penderitaan, penyakit, dan kematian. Caranya, ia menghabiskan waktunya dengan berdansa, berpesta, seksualitas, dan meneguk minuman keras. Dalam kesendirian sebagai wanita “penghibur” ini, ia menghabiskan waktu bersama lelaki lain tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Teguran Keras
Benar kerendahan hati dan kekudusan adalah jalan yang dikehendaki Allah. Kerendahan hati adalah nilai yang diperoleh dari penghormatan kepada Allah sekaligus hasil dari pengenalan akan diri sendiri. Di mata Allah, bagi pendosa selalu ada kasih berlimpah.
Allah berkendak baik kepada semua orang. Teguran-Nya bukanlah kesia-siaan. Kepada Villana, kasih Allah utuh dan sempurna dan diwujudkan dalam teguran-Nya yang keras.
Suatu malam, Villana hendak bersiap mengikuti pesta dansa. Tubuhnya terlihat cantik, dibalut gaun mewah bertabur batu-batu mulia, rambutnya ditata apik, dan sepatunya berkilat-kilat mahal. Sebelum keluar, ia bersolek di depan sebuah cermin. Betapa terkejutnya, saat ia melihat wajahnya dalam bentuk monster berkulit busuk, bermata merah, dan memiliki tanduk. Rambutnya seperti ratusan ular berbisa melingkar-lingkar. Paras dirinya yang menawan, tiba-tiba berubah.
Villana lantas ketakutan. Dengan putus asa, ia berlari ke semua cermin di kastil itu. Ia ingin melihat wajah aslinya. Namun, semua terlihat sama saja, justru wajah neraka si monster itu menjadi makin bengis.
Pada saat itul lah Villana mengerti, Allah menyapanya. Monster itu telah menunjukkan keburukan dirinya sendiri. Sejak itu, hidupnya pun mulai diwarnai dengan penyesalan. Villana mencopot semua perhiasan di tubuhnya, mengganti gaun lalu melangkahkan kakinya ke Gereja Basilika Santa Maria Novella, Italia, milik Ordo Dominikan. Di gereja yang tak jauh dari kediamannya itu, Villana menunjukkan kerendahan hati. Tidak sekadar kerendahan hati dan melepaskan diri dari ikatan kekayaan, ia kemudian hidup dalam penyerahan diri kepada Tuhan.
Villana meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela derita salib sebagai jalan persatuan dengan Kristus. Untuk menebus cara hidupnya yang buruk, ia menghormati kesederhanaan Kristus dengan menyumbangkan seluruh pakaiannya kepada orang miskin di luar kastil. Ia juga mengubah cara hidupnya menjadi pribadi yang berjuang mendapatkan kesempurnaan cinta Tuhan.
Anak Hilang
Tak cukup dengan sikap itu, Villana meminta izin bapa pengakuannya, untuk dapat pergi ke padang gurun dan bertapa. Dengan status perkawinannya, maka pembimbing rohani itu pun meminta agar ia menjadi istri yang baik bagi suami. Sang pembimbing tetap mengizinkan Villana memakai rantai besi di pinggangnya sebagai silih atas dosa.
Semenjak itu, Villana bertobat. Sekejap pula sikap sosialnya mulai nampak dengan membantu orang miskin yang sekarat dan anak-anak terlantar. Tak ada yang bisa menerka cintanya kepada orang-orang kecil, ketika Allah bersamanya.
Doa-doanya juga penuh mukjizat. Kesetiaan Villana kepada Allah pun tak goyah bahkan disaat badai menerpa keluarganya. Sang ayah jatuh miskin menyusul tenggelamnya kapal milik keluarga. Bagi keluarga Botti, kapal itu adalah harta mereka. Namun, dengan musibah ini, justru mendekatkan mereka kepada Allah. Mereka bertobat, sang ayah pun mengikuti jejak puterinya untuk hidup miskin, saleh, dan matiraga.
Berkat kehidupan suci mereka, Villana dan sang ayah mendapat karunia Allah mampu mengetahui rahasia hati orang-orang yang berbicara kepada mereka. Itulah alasan keduanya mampu memberi nasihat dan doa-doa yang tepat sasaran.
Villana oleh anggota Ordo Pewarta (Dominikan) dilukiskan sebagai anak yang hilang seperti dalam Kitab Suci. Di akhir hidupnya, wanita yang dulu genit berubah menjadi wanita yang tak gentar mewartakan kebaikan Allah. Hubungan intimnya dengan Allah menjadi prasyarat baginya mengalami penderitaan. Ia haus akan cinta Tuhan. Sampai-sampai, dalam doa, ia mengharapkan dirinya ikut terlibat dalam luka-luka Kristus di salib.
Maut menjemput Villana pada 1360. Ketika sampai waktu baginya untuk pergi. Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Villana meninggal dalam keabadian cinta yang besar kepada Allah.
Villana meninggal dalam kepolosan hati dengan polesan wajah yang cantik. Raut mukanya menampakkan cahaya surgawi bagi setiap orang yang memandangnya. Villana adalah satu dari sekian wanita saleh yang terombang-ambing di tengah kesalehan hidup, tetapi akhirnya menemukan muara cinta Allah.
Paus Leo XII menyetujui dekrit beatifikasi Villana tahun 1829. Dalam pesannya kala itu, Paus Leo mengatakan, Villana telah menempatkan diri “membumi” ke tanah agar debu tanah di tubuhnya, Villana tercabik bersama dosa-dosanya.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.42 2019, 20 Oktober 2019