HIDUPKATOLIK.com – Pelantikan Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo membawa kegembiraan khususnya bagi umat Gereja Indonesia. Di baliknya, tersemat harapan untuk Gereja yang kian berbela rasa dan semakin merawat persaudaraan manusia.
Dengan pelantikan Mgr. Ignatius Suharyo, maka Gereja Indonesia resmi memiliki seorang kardinal yang aktif lagi. Bagaimanakah titel kardinal yang disematkan ini berpengaruh dalam karya Gereja baik lokal maupun universal? Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Ignatius Kardinal Suharyo melalui surat elektronik beberapa saat sebelum Kardinal kembali ke Tanah Air, usai rangkaian perjalanan untuk pelantikan pekan lalu.
Gereja Indonesia resmi kembali memiliki seorang kardinal. Apa artinya ini bagi Kardinal? Apakah menjadi kardinal akan membantu dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu?
Pengangkatan saya sebagai kardinal tidak pertama-tama untuk dan karena saya, tetapi saya artikan sebagai pengakuan terhadap Gereja Katolik di Indonesia, yang menurut penilaian saya sendiri sangat hidup dan dinamis. Ini juga menjadi pengakuan atas apa yang terus diusahakan di Indonesia. Yang saya rasakan, umat Katolik di Indonesia bangga, karena ada kardinal yang aktif lagi. Saya hanya perlu mengingatkan – seperti dipesankan oleh Paus Fransiskus – tidak boleh mengungkapkan kegembiraan dan kebanggan dengan cara-cara yang “duniawi”, seperti pesta-pesta dan sejenisnya. Kegembiraan mesti diungkapkan secara rohani.
Mengenai pekerjaan, saya belum dapat membayangkan pekerjaan tambahan apa yang harus saya lakukan sebagai kardinal. Sejak saya diangkat menjadi uskup pada tahun 1997, saya sudah biasa bekerjasama dengan para imam, biarawan-biarawati, dan awam. Sejauh ini, saya merasa tidak ada kesulitan yang besar dalam bekerjasama melayani umat dan menjadikan Gereja semakin hidup.
Secara pribadi, apa makna titel kardinal ini: komitmen yang lebih besar untuk Gereja atau kontribusi untuk kebijakan Gereja Universal?
Terus terang, saya belum tahun banyak mengenai titel kardinal ini. Saya tidak berpikir akan dipilih menjadi kardinal. Yang saya sadari, titel ini diberikan kepada saya bukan karena prestasi saya. Saya yakin, titel ini diberikan kepada saya sebagai penghargaan terhadap Gereja Katolik di Indonesia pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dalam surat yang saya terima dari Paus, dikatakan “… as you now take your place as a member of the clergy of Rome, you will be able to exercise those virtues which are the mark of true Christian nobility: loyalty and fidelity (usque ad effusionem sanguinis), traditionally symbolized by the scarlet robes of the Cardinals … May this new stage in your life increase your capacity for compassion and enable you to imitate Jesus more closely.” (Kini Anda mendapat tempat sebagai anggota klerus Roma, Anda akan dapat menjalankan keutamaan-keutamaan yang merupakan tanda kebangsawanan Kristen sejati: kesetiaan dan ketaatan hingga menumpahkan darah, secara tradisi dilambangkan dengan jubah merah dari para Kardinal … Semoga tahap baru dalam hidup Anda ini meningkatkan kapasitas Anda untuk berbela rasa dan memungkinkan Anda untuk semakin meniru Yesus). Untuk sementara nasihat ini cukup bagi saya, sambil menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan.
Kini Kardinal telah resmi menjadi anggota dari sebuah kelompok yang sangat kecil dan yang memiliki tanggung jawab khusus untuk menasihati dan mendukung Bapa Suci. Menurut Kardinal, apa yang paling dibutuhkan Paus dari para kardinalnya dan bagaimana cara paling tepat Kardinal dapat membantu Sri Paus dalam pelayanannya untuk gereja universal?
Sementara ini saya belum berpikir mengenai hal-hal yang Anda tanyakan ini. Sejauh saya tahu, di sekeliling Paus sudah ada lingkaran-lingkaran penasihat Paus yang terpilih dan unggul. Apalagi di Indonesia ada Nuntius Apostolik dan di Roma ada Duta Besar Indonesia untuk Vatikan. Kedua Duta Besar itu pasti terus-menerus berkomunikasi dengan Paus di Roma, melalui Sekretaris Negara Vatikan dan dikasteri-dikasteri yang terkait dengan berbagai macam urusan. Sambil berjalan semoga saya dapat semakin tahu tugas-tugas saya dan menjalankannya.
Menurut Kardinal, apa yang menjadi tujuan terpenting Gereja Universal di tahun-tahun mendatang terutama terkait dengan Asia?
Pertanyaan ini amat sulit ditanggapi, apalagi dijawab. Sejarah dunia bergerak begitu cepat. Bukan hanya bergerak dengan arah yang dapat ditebak. Tetapi bergerak secara disruptif. Saya yakin sikap atau semangat dasar Gereja yang mesti terus dirawat dan dikembangkan adalah sebagaimana dirumuskan dalam Gaudium et Spes no 1: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus juga.
Menurut saya, semangat dasar seperti itu tertuang misalnya dalam dokumen mengenai Human Fraternity for World Peace and Living Together, yang ditandatangani bersama oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb. Dalam sidang tahunan Konferensi Waligereja Indonesia yang akan datang, dokumen ini akan dipelajari bersama-sama oleh para Uskup Indonesia dan dijadikan gerakan bersama di tataran akar rumput.
Mulai dari imam, menjadi uskup, dan kini menjadi kardinal, bagaimana awal mula perjalanan ini?
Ketika saya memutuskan untuk menjadi imam, saya memilih menjadi imam diosesan di Keuskupan Agung Semarang. Cita-cita saya sederhana, saya ingin menjadi pastor paroki, melayani umat secara langsung. Ternyata saya hanya satu tahun bekerja di paroki, karena uskup saya mengutus saya untuk studi lanjut. Setelah itu saya mengajar di Seminari Tinggi selama 16 tahun. Saya berpikir inilah perutusan saya sampai saya purna karya. Ternyata, pada tahun 1997 saya ditunjuk menjadi Uskup Agung Semarang, Jawa Tengah. Tugas pelayanan ini saya jalani selama hampir 13 tahun. Sesudah itu pada tahun 2009 saya dipindahkan untuk menjadi Uskup Agung Koajutor Keuskupan Agung Jakarta dan ketika pendahulu saya memasuki masa pensiun, tahun 2010, saya menggantikan beliau. Tanggal 1 September lalu, saya diberitahu oleh Nuncio bahwa saya diangkat menjadi kardinal. Kalau saya renungkan jalan hidup saya selama ini, tidak pernah seperti yang saya rencanakan sendiri. Tuhan membelok-belokkan jalan hidup saya. Saya tidak pernah punya niat lain selain menjalankan tugas yang diberikan oleh pimpinan saya sebaik-baiknya.
Bisakah Kardinal menceritakan sedikit tentang latar belakang keluarga Kardinal?
Saya harus mengatakan dengan penuh syukur, bahwa kedua orang tua saya adalah pribadi-pribadi yang saleh. Saya ingat pada waktu saya masih anak-anak, orang tua saya selalu mengadakan doa malam bersama-sama. Bahkan tetangga saya ada yang bergabung. Salah satu doa yang sering didaraskan adalah doa mohon panggilan untuk menjadi imam, biarawan dan biarawati. Mungkin karena doa-doa itulah di keluarga saya ada satu imam pertapa Trappist, lalu saya imam diosesan, dan dua adik perempuan saya sebagai biarawati di dua tarekat yang berbeda. Ayah saya dari keluarga Muslim – dia satu-satunya yang dibaptis Katolik. Ibu saya dari keluarga yang menganut agama asli dan kemudian menjadi Katolik juga. Sesudah menjadi Katolik, mereka sangat taat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja Katolik.
Hermina Wulohering
HIDUP NO.42 2019, 20 Oktober 2019