HIDUPKATOLIK.com – “Mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala”. Itulah kutipan dari Markus 6:34, yang dipakai dalam upacara pengukuhan 13 kardinal baru dalam Konsistori Publik yang dipimpin oleh Paus Fransiskus pada Sabtu, 5 Oktober 2019 lalu.
Beberapa imam dan umat memang agak terkejut dengan pilihan bacaan dari Injil Markus 6: 30-37a, yang akan dibacakan dalam upacara konsistori tersebut. Apakah ke-13 kardinal baru ini akan diberi tugas khusus, seperti para murid Yesus, yaitu “kamu harus memberi mereka makan” (lih. Mrk. 6:37)? Kebijakan Gerejani apa yang diambil oleh Paus Fransiskus kali ini? Tanda tanya itu mulai terjawab sedikit demi sedikit dalam upacara tersebut.
Tepat pukul 16.00 waktu Vatikan (atau pukul 21.00 WIB), Kidung Salve Regina (Salam ya Ratu) dinyanyikan secara meriah di Basilika Santo Petrus, Vatikan, Roma, Italia. Umat pun menghentikan doa Rosario mereka, dan bersama-sama secara lantang ikut menyanyikan Salve Regina.
Bersamaaan dengan itu, dari tengah, iring-iringan misdinar dan ke-13 calon kardinal masuk ke Basilika. Mgr Ignatius Suharyo berada pada urutan ketiga dari depan. Paus Fransiskus, yang memimpin upacara konsistori itu, berada paling belakang. Semua terasa megah sekaligus khusyuk. Lagu Salve Regina membuat tak seorang pun umat dari berbagai negara berani untuk bersorak memberi salam pada kardinal mereka, yang akan dikukuhkan oleh Paus. Rombongan dari Indonesia, yang berada di belakang pun, hanya memberi hormat pada iring-iringan itu.
Kidung Salve Regina memang sangat istimewa. Ia memiliki daya magnit yang mampu membuat umat disatukan dengan Allah mereka melalui penghormatan kepada Bunda Maria. Konon, lagu itu diciptakan oleh seorang rahib ‘genius’ yang lumpuh, bernama Herimanus Augiensis (1013-1054), sekitar tahun 1045-an. Kidung itu pun menjadi kidung Bunda Maria yang paling populer.
Setelah semua sampai ke tempat upacara di tengah Basilika, kemudian atas nama ke-13 kardinal baru, Mgr. Miguel Angel Ayuso Guixot, M.C.C.J, Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama, mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dari Bapa Suci kepada para kardinal sehingga mereka diangkat menjadi kardinal.
Setelah doa pembukaan, Injil Markus 6:30-37a pun dibacakan. Umat pun mulai menangkap apa maksud pengukuhan ke-13 kardinal baru tersebut, ketika Paus Fransiskus menyampaikan khotbahnya.
Paus memulai dengan bicara mengenai Yesus, yang tergerak hati-Nya oleh belas kasihan kepada orang-orang yang datang mengikuti Dia, karena mereka seperti domba (lih. ay. 34). “Yang istimewa adalah bahwa Yesus menyuruh para murid-Nya untuk memberi makan!” kata Paus. “Inilah compassion (bela rasa) yang harus dimiliki oleh setiap murid Yesus,” tambahnya.
Selanjutya, Paus menjelaskan bahwa bela rasa ini sangat dibutuhkan oleh dunia saat ini, karena kini ‘masyarakat seperti domba yang tidak memiliki gembala’.
“Bela rasa harus menjadi sikap hati dari semua orang Kristen. Dasarnya adalah kasih dari Allah sendiri,” demikian khotbah Paus. “Namun, masalah bela rasa ini juga sulit, karena zaman ini orang tidak lagi menyadari perlunya bela rasa. Kita perlu bekerja keras. Para kardinal baru itu menerima biretta merah dengan tugas agar Gereja setia pada pelayanan bela rasa,” tambah Paus secara tegas.
Konteks bela rasa itu menjadi nyata setelah para kardinal baru itu secara bersama-sama mengucapkan “Aku Percaya”, yang kemudian dilanjutkan dengan janji serta sumpah untuk seumur hidup setia kepada Kristus dan Injil-Nya, kepada Santo Petrus dan Gereja Katolik Roma yang Kudus dan Apostolik, dan kepada Bapa Suci Fransiskus. Setelah menerima janji dan sumpah itu, satu per satu para kardinal baru menghadap Paus untuk menerima biretta merah, zucchetto dan cincin.
“Terimalah biretta merah ini sebagai tanda martabat kardinal, yang menandakan kesiapan Anda untuk bertindak dengan keberanian, bahkan untuk menumpahkan darah Anda (Lat. Usque ad Sanguinis Effusionem), bagi peningkatan iman Kristen, bagi kedamaian dan ketenangan umat Allah, serta bagi kebebasan dan pertumbuhan Gereja Roma Suci,” kata Paus.
Kata-kata ‘effusio sanguinis’ (penumpahan darah) sangat tajam. Itu artinya, para kardinal berada di barisan terdepan dalam mewujudkan iman Kristiani. Tampaknya, melalui khotbahnya, Paus minta, agar ‘bela rasa sebagai corak penumpahan darah itulah, yang harus dikembangkan oleh Gereja.
Setelah dikukuhkan, para kardinal baru itu pun lalu mendatangi setiap kardinal yang hadir untuk saling memberikan salam serta kolegialitas mereka. Dengan tanda tersebut, lengkaplah mereka menjadi anggota Kolegium Kardinal.
Ajakan untuk Umat Indonesia
Ketika mendengar khotbah Paus, kami semua dari Indonesia teringat pada moto Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) yang dipilih oleh Mgr. Suharyo pada 28 Juni 2010 lalu, yaitu Serviens Domino cum omni humilitate (Melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati). Kata-kata itu diambil dari anjuran Paulus (+ 67), misionaris awal Kekristenan asal Tarsus, Turki, kepada para rekannya yang akan berangkat ke Kota Efesus (sekarang Izmir), di pantai Barat Turki. Kepada mereka, Paulus mengatakan, untuk mengajar dan melayani masyarakat Efesus yang sangat beragam dalam sisi sosial maupun aliran keagamaan, diperlukan tiga cara, yaitu sikap kerendahan hati, air mata kesakitan fisik, serta tidak lari dari aneka cobaan, godaan, maupun penderitaan (Darrell L. Bock, 2007).
Maka, ketika dalam percakapan setelah upacara, Kardinal Suharyo mengatakan, khotbah Paus itu meneguhkan bukan hanya misi KAJ, tetapi juga seluruh karya Gereja Indonesia. “Bela rasa harus menjadi identitas kita,” ungkap Kardinal Suharyo. “Memang antara konteks yang menjadi latar belakang bela rasanya Paus dengan kita berbeda. Namun, pesannya sama, karena saat ini memang masyarakat seperti kehilangan gembala atau panutan. Dengan sangat jelas, Paus mengajak seluruh Gereja Indonesia untuk tetap berbela rasa bagi semua pribadi, yang menjadi korban, dan yang telah dijadikan budak oleh begitu banyak kejahatan. Mereka itu semua sangat mendambakan sikap kelembutan kasih dari para orang beriman. Sikap baik dan belas kasih kepada mereka yang miskin, dan yang membutuhkan, memang menjadi syarat saat seorang uskup ditahbiskan,” tambahnya.
Kolegium Kardinal
Setelah menerima biretta merah, zucchetto dan cincin, para kardinal baru itu menyalami seluruh kardinal yang hadir di situ; jumlahnya kurang lebih ada sekitar seratus kardinal.
“Jujur saya belum tahu juga apa tugas persis seorang kardinal. Tetapi justru dengan doa rekan-rekan kardinal semua, saya yakin saya bisa terus berkarya untuk Gereja dunia dan Gereja Indonesia,” ungkap Kardinal Suharyo.
Banyak spekulasi muncul setelah pengangkatan ke-13 kardinal baru ini. Saat konsistori, banyak yang melihat bahwa wajah Paus Fransiskus tampak lelah; jalannya pun perlahan. Maka, muncul banyak dugaan bahwa kali ini Paus Fransiskus memiliki kebijakan khusus bagi masa depan Gereja melalui keputusannya tanggal 1 september 2019 lalu saat mengangkat 13 kardinal baru.
Sejak dipilih pada tahun 2013 untuk menggantikan Paus Benediktus XVI (92 tahun), yang mengundurkan diri karena kesehatannya, setiap tahun Paus Fransiskus (82 tahun) mengangkat kardinal-kardinal baru. Konsistori 5 Oktober ini merupakan pengukuhan kardinal yang keenam. Kepada semua kardinal baru yang diangkatnya, Paus Fransiskus menegaskan, pengangkatan ini tidak berkaitan dengan kehormatan duniawi, tetapi pada panggilan untuk memberikan diri secara lebih utuh, serta kesaksian hidup yang konsisten. Panggilan untuk sebuah totalitas dan marturion (kesaksian) memang sangat jelas! Ini tampak dari pilihannya terhadap beberapa kardinal baru.
Mgr. Sigitas Tamkevičius (80 tahun), Uskup Emeritus Kaunas, Lithuania, misalnya, adalah imam yang sejak tahun 1983 hingga tahun 1990, dipenjara dan dibuang ke kamp kerja paksa di Siberia, karena dituduh menghasut umat untuk melawan pemerintah komunis Uni Soviet. Baru, setelah pembebasan Lithuania pada 1990, Tamkevičius dibebaskan; Paus Fransiskus kemudian memilihnya untuk menjadi Uskup Agung Kaunas. Kardinal Sigitas Tamkevičius adalah sosok yang mewakili corak ‘effusio sanguinis’ (penumpahan darah) dari jabatan kardinal.
Sementara karakter bela rasa, tampak dari pengangkatan Kardinal Suharyo, Kardinal Matteo Zuppi (63 tahun), Uskup Bologna, Italia Utara, dan Kardinal Michael Czerny SJ (73 tahun).
Di KAJ, karya pelayanan bela rasa banyak terwujud di kalangan umat dan masyarakat marjinal di wilayah Jabotabek. Di Bologna, Kardinal Zuppi dikenal sebagai uskup yang menyediakan Basilika Santa Maria di Bologna, menjadi tempat penampungan para gelandangan, kaum gipsi, dan mereka yang terlantar saat musim dingin. Ia juga salah satu penggerak utama Komunitas Santo Egidius (1968), yang memberikan pelayanan konkrit pada masyarakat miskin dengan orientasi perdamaian dan doa. Komunitas ini sudah menjangkau lebih dari 70 negara, termasuk Indonesia. Sementara Kardinal Michael Czerny SJ (73 tahun), yang ditahbiskan menjadi uskup sehari sebelum konsistori, diangkat sebagai kardinal karena karya-karyanya mengurus para pengungsi dan kaum migran.
Dialog dengan Kaum Muslim Dunia
Pengangkatan Kardinal Suharyo ini juga memiliki konteks yang lain dalam kebijakan pelayanan Gerejani Paus Fransiskus. Selain Beliau, ada tiga kardinal baru lain, yang ditunjuk dalam konteks dialog dengan kelompok Muslim dunia. Mereka adalah Kardinal Cristobal Lopez Romero (67 tahun), Uskup Agung Rabat, Maroko, yang hidup dan berkarya dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim. Kardinal ini memang tekun mengembangkan dialog antaragama dalam bidang sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan di Maroko.
Kemudian Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot (67 tahun), ahli sejarah Islam, yang menjadi wakil Vatikan dalam membangun kembali dialog dengan Besar Ahmed el-Tayeb dari Masjid Al-Azhar, Kairo, Mesir. Bulan Mei 2019 lalu, Kardinal Guixot diangkat menjadi Presiden Dewan Kepausan utuk Dialog Antaragam ini, juga mewakili Vatikan dalam Pusat Dialog Antaragama dan Antarbudaya Internasional Raja Abdullah bin Abdulaziz, yang berpusat di Wina, Austria.
Kardinal keempat yang memiliki konteks membangun dialog dengan kaum Muslim adalah Mgr Michael Fitzgerald (82 tahun), mantan Nunsio Apostolik (Duta Besar Vatikan) di Mesir, seorang pakar mengenai Islam asal Inggris, yang gigih mengembangkan studi Bahasa Arab. Ia dikenal karena di mana-mana menolak adanya pertentangan budaya dan peradaban antara Islam dan Kekristenan.
Dengan tambahan 13 kardinal baru ini, corak kolegium para kardinal (kini berjumlah 212 orang) juga memiliki karakter khusus. Apakah warna-warna misi, dialog antaragama, dan kepedulian sosial menjadikan 118 kardinal yang berusia di bawah 80 tahun – artinya bisa memilih dan dipilih sebagai Paus – akan menjadi corak Gereja masa depan? Bukan hanya itu, dengan penambahan 13 kardinal baru itu, kini dalam komposisi para Papabile, ungkapan tidak resmi Italia, untuk mereka yang dinilai bisa terpilih sebagai Paus baru dalam sebuah konklaf, Asia memiliki 11 kardinal, atau 12,78 persen dari seluruh cardinal elector. Apakah ini pertanda bahwa kini Asia memiliki kesempatan dan kemungkinan yang lebih besar untuk terpilihnya seorang Paus asal Asia?
Kardinal Imam Spirito Santo Alla Ferratella
Paus Fransiskus memberikan gelar kepada Ignatius Kardinal Suharyo dalam konsistori bersama 12 kardinal lain di Vatikan sebagai Kardinal Imam Spirito Santo Alla Ferratella pada Sabtu, 5/10. Kardinal Suharyo menggantikan Uskup Agung Mumbai, Ivan Cornelius Kardinal Dias untuk menyandang gelar kedua Kardinal Imam Spirito Santo Alla Ferratella.
H. Witdarmono (Vatikan)
HIDUP NO.42 2019, 20 Oktober 2019