web page hit counter
Minggu, 3 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Upaya Merawat Kebebasan Berpikir Kritis dan Humanis

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Filsafat terkait erat dengan konteks kehidupan kita. Ia tidak mengawang-awang dan selalu bersandar pada nilai humanisme. Dari para pencinta kebijaksanaan, ia menuntut integritas, tanggung jawab, dan kritis terhadap lingkungannya.

Tahun 2019 adalah tahun yang penuh sukacita sekaligus tahun yang menantang bagi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Dimaknai sebagai tahun yang penuh sukacita, karena STF Driyarkara bersyukur atas perjalanan 50 tahun sebagai komunitas akademik.

Tentu saja, 50 tahun bukanlah kurun waktu yang singkat. Sebaliknya, dinamika yang terjadi dalam komunitas akademik Driyarkara selama 50 tahun merupakan proses pembaruan komitmen secara kontinu untuk hadir secara penuh dalam mengabdi bangsa Indonesia dan Gereja Katolik, khususnya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).

Serentak dalam sukacita dan syukur, sebagai sebuah komunitas akademik, STF Driyarkara ditantang untuk merefleksikan kembali eksistensinya. Sejauh mana STF Driyarkara proaktif dan bertanggung jawab dalam mengabdi masyarakat Indonesia secara luas, teristimewa dunia pendidikan dan berevangelisasi lewat pengimplementasian nilai-nilai Kekatolikan dalam setiap denyut nadi kehidupan harian sekolah tinggi di kawasan Jembatan Serong, Jakarta Pusat ini.

Dengan tema, “50 tahun STF Driyarkara: Keterlibatan Filsafat dalam Membangun ke-Indonesia-an” yang memayungi perjalanan syukur dan kesiapan untuk terlibat dalam tantangan aktual hidup berbangsa, STF Driyarkara menegaskan kembali raison d’etre-nya. Bahwa filsafat dan filsafat keilahian (teologi) lahir dari kebutuhan mencari kedalaman dan kejernihan berhadapan dengan fenomena kehidupan kita berbangsa dan menggereja.

Filsafat terkait erat dengan konteks kehidupan keseharian kita. Karena itu, ia tidak terbang jauh mengawang-awang sehingga terkesan abstrak dan membuat jelimet. Sebaliknya, ia menuntut integritas hidup, bukan hanya kecerdasan berpikir, dari para pencinta kebijaksanaan agar selalu terlibat secara bertanggung jawab dan kritis terhadap lingkungan di mana mereka berfilsafat.

Lebih Humanis
Sebagaimana termuat dalam visi dan misinya, STF Driyarkara selalu berupaya menjadi komunitas akademik yang mencerahkan budi; mengasah nurani, dan menggerakkan aksi demi terwujudnya kondisi manusia dan tata dunia yang lebih sehat.

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Ini berarti, STF Driyarkara membentuk dan menjamin para pencinta kebijaksanaan yang bertekun aktif dalam komunitas akademiknya mampu menjadi manusia Indonesia yang unggul; yang mampu berpikir kritis, berintegritas, dan bertanggungjawab dalam menanggapi fenomena aktual yang dihadapi dalam kehidupan bersama.

Prioritas pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) ini sejalan dengan visi dan arah kerja Presiden Joko Widodo. Dalam pidatonya sebagai Presiden terpilih masa bakti 2019-2024 di depan Sidang Paripurna MPR RI dan rakyat Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2019, Joko Widodo menegaskan bahwa untuk mengejar target tahun 2045 di mana Indonesia menjadi negara maju, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembangunan sumber daya manusia. SDM yang pekerja keras, dinamis, terampil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi prioritas utama pemerintahan
periode keduanya.

Kesesuaian arah ini semakin mendorong komunitas akademik STF Driyarkara dan STFK Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang juga merayakan HUT ke-50, untuk senantiasa terlibat dalam “kewajiban bersama berbangsa”, yakni, membentuk SDM yang cerdas dan bijak. Berhadapan dengan situasi yang pluralis, komunitas akademik dua sekolah tinggi ini semakin membuka diri untuk bekerja sama dengan semua pihak yang berkehendak baik menciptakan dan membangun ruang hidup bersama yang lebih humanis, lebih menghargai dan menghormati sesama manusia terlepas dari segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan (SARA).

Sebagai komunitas akademik, keterbukaan STF Driyarkara terlihat jelas dengan adanya baik karyawan, mahasiswa maupun dosen yang berlainan SARA. Dalam salah satu wawancara dengan televisi Jerman Deutsche Welle (DW) pada 29 Juli 2019 yang dilaporkan dengan menarik oleh Andy Budiman, beberapa alumni maupun mereka yang mengenal baik STF Driyakara seperti Savic Ali dan Akhmad Sahal (keduanya intelektual muda Nahdlatul Ulama), Goenawan Mohammad (sastrawan dan penulis) memberi kesaksian bagaimana mereka merasakan iklim kebebasan berpikir kritis dan relasi yang saling menghargai dalam komunitas STF Driyarkara.

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Atmosfer kebebasan dan keterbukaan dalam pergulatan dengan materi filsafat yang dilandasi oleh penghormatan dan penghargaan terhadap sesama sivitas akademika, sesama manusia, menjadi iklim yang kondusif bagi mereka dalam mengembangkan diri dan membangun jaringan dengan mahasiwa-mahasiswi yang berbeda keyakinan dan budaya.

Dengan menjadi lebih humanis, pemikiran filsafat dengan seluruh kekritisan, kedalaman, dan kejernihan berpikirnya terarah pada nilai utama yakni menghargai dan menghormati manusia. Basis pada humanisme terwujud dalam proses pembelajaran di komunitas akademik STF Driyarkara yang bukanlah sebuah proses transfer ilmu tetapi lebih-lebih pada kesaksian hidup dari seluruh sivitas akademika, khususnya para dosen, tentang kebijaksanaan hidup (filsafat) yang dihidupi. Ketika manusia dihargai dan dihormati, keberbedaan dan keberagaman tidak lagi dilihat sebagai pembatas untuk saling bertemu tetapi perbedaan adalah kekayaan untuk saling melengkapi satu sama lain ke arah kesatuan dan kebersamaan.

Lebih Katolik
Perjalanan 50 tahun STF Driyarkara tidak lepas dari relasi komunitas akademik ini dengan Gereja Katolik, khususnya KAJ. Sejak lahirnya hingga bertumbuh 50 tahun, sekolah ini ditopang dan berjalan bersama Gereja Katolik. Pada 1 Februari 1969, STF Driyarkara didirikan sebagai rasa syukur karena cita-cita yang sudah terpelihara cukup lama akhirnya terwujud berkat keterbukaan dan kerjasama antara Serikat Jesus (SJ), KAJ, dan OFM-Provinsi Indonesia.

Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, SJ (wakil SJ), Mgr. A Djajaseputra SJ (wakil KAJ), dan OFM-Provinsi Indonesia (yang telah memiliki sekolah filsafat sendiri di Cicurug) adalah pemilik cita-cita tersebut. Keterbukaan dan kerja sama ketiganya merealisasikan komunitas akademik STF Driyarkara akhirnya terwujud dengan perkuliahan awal yang berlangsung di ruang tamu Biara Susteran Ursulin di Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.

Tidak bisa dipungkiri, keterkaitan yang erat dengan Gereja Katolik menuntut tanggung jawab atau kekhasan STF Driyarkara. Sebagai sebuah komunitas akademik, STF Driyarkara diharapkan menjadi locus evangelisasi dan kesaksian nilai-nilai Kekatolikan yang tampak dalam proses belajar mengajar sehari-hari.

Baca Juga:  Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus: Meletakkan Pondasi yang Kuat

Tanggung jawab inilah yang diemban oleh sivitas akademika. Kebijaksanaan yang dicari adalah kebijaksanaan yang bersumber dan berpuncak pada iman akan Kristus sendiri. Humanisme yang dibangun adalah humanisme Kristologis, yaitu, berbasis pada teladan iman Kristus sendiri. Ini berarti bahwa filsafat (keilahian/teologi) diarahkan untuk membangun komunitas akademik yang mampu mencerahkan budi, mengasah nurani dan menggerakkan aksi nyata berdasarkan iman Kristiani.

Tujuannya agar sebagai pribadi yang unggul, sivitas akademika STF Driyarkara menjadi saksi-saksi iman yang mampu bersikap peduli dalam membangun Gereja dan masyarakat demi kehidupan bersama yang lebih benar, lebih adil dan lebih beradab. Dengan kata lain, komunitas akademik STF Driyarkara mampu membentuk manusia unggul dalam kecerdasan intelektual dan memiliki hati nurani yang jernih sehingga mampu peduli selanjutnya bertindak benar dan tepat serta adil dalam relasi dengan Allah, sesama dan seluruh alam ciptaan.

Komitmen Setia
STF Driyarkara lahir sebagai sebuah komunitas akademik dengan dua nuansa, sukacita atau syukur dan tantangan. Dalam rasa syukur 50 tahun, STF Driyarkara kembali ditantang untuk setia terhadap komitmennya untuk peduli dan terlibat dalam kehidupan menggereja dan masyarakat yang lebih humanis dan lebih beradab.

Akhirnya, menyitir kata-kata akhir dalam pidato Presiden Joko Widodo, Layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, penulis pun mengafirmasinya bahwa Layar STF Driyarkara sudah terkembang, kemudi STF Driyarkara sudah terpasang sejak 50 tahun lalu. Tahun ini kemudi dan layar terus dan akan terus berkembang demi pengabdian terhadap Gereja, dalam mewujudkan nilai-nilai Kekatolikan dan terhadap bangsa Indonesia, dalam mengimplementasikan nilai-nilai humanis untuk membangun keadaban dan kesatuan.

Selamat ulang tahun ke-50, STF Driyarkara dan STFK Ledalero!

Pastor Hieronimus Yoseph Dei Rupa, OFM
Dosen STF Driyarkara, Jakarta

HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles