HIDUPKATOLIK.com – Kita berada di bawah ancaman pemanasan global, akibat kejahatan (ekologis), buah dosa ekologis kita semua.
Bencana kebakaran hutan Amazon Agustus silam merupakan kebakaran terbesar sepanjang sejarah kebakaran hutan di Brasil. Meningkat 84% dari kebakaran terbesar sebelumnya (2013). Paus sendiri angkat bicara menyatakan keprihatinan dan kecemasannya, “Apa yang menimpa Amazon bukanlah isu lokal, tetapi isu global. Ketika hutan Amazon menderita, maka dunia pun menderita”, tandas Paus (26/8/19).
Pernyataan Paus bukan tanpa alasan. Hutan Amazon merupakan 20% dari hutan hujan di seluruh dunia. Penyerap karbon terbesar yakni 25%. Terbakarnya hutan Amazon, seluas 906.00 hektar tahun ini, menggerus kemampuan Amazon untuk menyerap karbon dan berdampak pada peningkatan suhu bumi. Selain itu, hutan Amazon adalah rumah bagi sekitar tiga miliar spesies: flora dan fauna serta sekitar jutaan penduduk asli Indian (Reuter 23/8/19).
Jair Bolzonaro, Presiden populis Brasil, dituduh bertanggungjawab atas kebakaran tersebut, karena lemahnya kemauan politik Bolzonaro dalam hal lingkungan hidup. Atas dasar kebijakan populis yakni memberikan lahan kepada para petani, Bolzonaro “membiarkan” penebangan hutan serta memperbanyak konsesi pertanian dan tambang untuk wilayah Amazon. Sejak berkuasa, Januari 2019, kerusakan hutan Amazon semakin parah.
Lemahnya komitmen Bolzonaro pada lingkungan, menyebabkan peningkatan kerusakan hutan dan kehidupan di Amazon, terutama suku-suku asli Indian. Ruang hidup mereka semakin terjepit. Mereka kehilangan “Fidaus” yang mereka warisi dari nenek moyang mereka.
Keadilan Antar Generasi
Raimundo Mura dari suku Indian Mura, meratapi kebakaran Amazon, karena “sesama kehidupan” yang sudah turun termurun menemai mereka serta menghidupi mereka, kini semuanya mati terpanggang api. “Mereka telah mati dan kebakaran ini adalah juga serangan maut bagi kehidupan kami,” katanya lirih.
Marcello dari Suku Parintintin, juga menyayangkan petaka kebakaran ini, karena mereka tidak lagi mewarisi Amazon sebagai surga kehidupan anak cucu mereka, sebagaimana mereka menerimanya dari leluhur terdahulu.
Yang terjadi di Amazon sesungguhnya adalah kematian bagi harapan akan masa depan bangsa Indian, masa depan miliaran spesies, masa depan suhu bumi. Akhirnya kematian harapan akan masa depan segenap kehidupan. Alam pikiran manusia modern yang serba teknokratis mesti dibayar dengan sirnanya sukacita masa depan manusia. Bumi bukan lagi “rumah ramah kehidupan”. Ia telah terkuras dan luluh-lantak oleh hasrat memiliki manusia (materialis-konsumeris), dan yang menempatkan dirinya di pusat ciptaan (antroposentris).
Peringatan Paus Paulus VI kini terasa relevan. Manusia tidak boleh mengeksploitasi bumi secara sembrono, tanpa berpikir bahwa pada akhirnya kehidupan mereka sendiri akan terancam (bdk. OA 21). Teknologi menjadikan segalanya serba cepat demi melayani kebutuhan manusia. Hal itu mempercepat kerusakan alam. Harga yang harus dibayar adalah degradasi lingkungan hidup yang berdampak buruk pada ciptaan serta mengancam pengembangan berjelanjutan.
Paduan dari perkembangan teknologi dan budaya hidup boros (konsumeris) merupakan biang derita manusia, derita bumi. Paus Fransiskus mensinyalir bahwa budaya teknokratis yang cenderung reduktif, yang mengabaikan kesadaran dan cara berbipikir komprehensif dan utuh, merupakan penyebab pokok degradasi lingkungan hidup.
“Karena itu dapat dikatakan bahwa akar dari masalah dunia sekarang, adalah terutama kecenderungan, yang tidak selalu disadari untuk menetapkan metode dan tujuan teknosains menjadi paradigma pemahaman yang menentukan kehidupan individu dan cara kerja masyarakat. Akibat dari penerapan paradigma itu pada seluruh realitas, manusia dan masyarakat, tampak jelas dalam degradasi lingkungan.” (LS 107).
Budaya teknosains ini mempengaruhi pelbagai keputusan ekonomi dan politik, yang berdampak pada ekonomi yang bertumbuh dengan taruhan eksploitasi alam. Dalam kasus kebijakan Jair Bolsonaro, kebakaran hutan Amazon tidak bisa dilepaskan kepentingan korporasi pertanian dan peternakan, yang terus memperluas wilayah pertanian dan peternakan. Kebijakan serupa, juga amat nyata di negeri kita. Perluasan perkebunan sawit dan area tambang membunuh kehidupan jutaan spesies dan merampas hak-hak masyarakat.
Paus sudah mengingatkan, “Paradigma teknokratis juga cenderung mendominasi bidang ekonomi dan politik. Ekonomi menerima setiap kemajuan teknologi yang membawa keuntungan, tanpa memperhatikan kemungkinan dampak negatif bagi manusia.” (LS 109).
Ketika kemampuan bumi untuk menopang kehidupan di dalamnya semakin terkuras, maka generasi masa kini sedang menutup pintu bagi hak hidup manusiawi bagi generasi masa depan. Budaya teknokratis yang harus dibayar dengan kehancuran lingkungan, merupakan wujud ketidakadilan bagi generasi yang akan datang. Mereka kehilangan hak mewarisi bumi, ibu kehidupan, karena kita merusaknya demi melayani hasrat akumulatif dan konsumeris kita.
Generasi masa depan juga memiliki hak untuk mewarisi bumi ini sumber hidup mereka. “Kita tidak bisa lagi berbicara tentang pengembangan berkelanjutan tanpa solidaritas antar-generasi. Lingkungan hidup perlu ditempatkan dalam logika penerimaan. Lingkungan hidup adalah pinjaman yang harus diterima setiap generasi dan harus diteruskan kepada
generasi berikut” (LS 159).
Keutuhan Ciptaan
Seperti mentornya Santo Fransiskus dari Assisi, Paus Fransiskus meyakini keterkaitan antara degradasi lingkungan dan ketidakakdilan serta derita orang miskin. Kerusakam lingkungan hidup akibat eksploitasi demi tujuan akumulasi mammon, sesungguhnya hanya melayani kepentingan segelintir orang (orang kaya), sambil merampas hak-hak sesama warga serta menindas orang-orang kecil dan miskin.
Pemahaman kita tentang keadilan sosial atau kesejahteraan umum, tidak mengintegrasikan keutuhan ciptaan. Kita mengabaikan keadilan ekologis, yakni hak untuk akses yang sama bagi semua warga agar dapat hidup dari sumber-sumber alam, karunia Pencipta. Ajaran Sosial Gereja mewarisi paham tentang fungsi sosial sumber-sumber alam (bdk. GS 69).
Gereja Katolik sendiri tidak pernah surut memperjuangkan kesejahteraan umum, sebagai kesejahteraan setiap dan semua warga untuk mendapatkan peluang dan akses yang adil dalam usaha menopang kehidupan yang manusiawi (bdk. GS 26). Tetapi perwujudan kesejahteraan umum bukan hanya perkara tatatan ekonomi dan politik, tetapi juga tatanan keadilan ekologis. Keadilan ekologis mesti bertumbuh di atas humus keutuhan ciptaan. Ibu Bumi mesti dipelihara sebagai rumah bersama serta sumber hidup bagi semua. Kita hanya berkutat pada tatanan ekonomi dan politik, sementara jurang kaya miskin terus melebar. Ekonomi dan politik melayani orang-orng kuat serta kaya, sambil menyingkirkan masyarakat dan orang-orang kecil.
Paus Fransiskus menulis, “Ekologi manusia tidak terlepas dari gagasan kesejahteraan umum, prinsip yang memainkan peran sentral dan pemersatu dalam etika sosial” (LS 156).
Kisah kebakaran Amazon adalah puncak gunung es dari perilaku buruk dan tak adil terhadap lingkungan dan sesama.
Karakter kerusakan lingkungan hidup adalah bahwa kejadian lokal itu selalu berdampak global. Amazon terbakar, bumi terpanggang. Kita berada di bawah ancaman pemanasan global, akibat kejahatan (ekologis), buah dosa ekologis kita semua. Saatnya untuk mulai lagi. Bersikap bijak dan hidup benar demi keadilan bagi semua.
Peter C. Aman OFM
Dosen STF Driyarkara dan Unika Atma Jaya, Jakarta,
Ketua Komisi JPIC OFM Indonesia
HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019