HIDUPKATOLIK.com – Model pembangunan sekarang telah membawa kemerosotan eko sosial. Merawat bumi menjadi pesan moral bagi manusia untuk melestarikan keutuhan ciptaan.
Empat tahun lalu, Paus Fransiskus menerbitkan Ensiklik Laudato Si’, ‘Terpujilah Engkau’ (24 Mei 2015). Isi Ensiklik itu mengulas tentang perawatan bumi, rumah kita bersama. Diilhami oleh Gita Sang Surya Santo Fransiskus Asisi, Paus mengingatkan manusia bahwa bumi adalah saudari yang berbagi hidup dengan kita.
Sayang, saudari kita kini sedang menjerit. Penjarah bumi dan kerusakan terjadi karena manusia. “Karena kekerasan hati manusia, saat ini tanah, air, udara, dan semua makhluk hidup menderita sakit (LS 1-2).
Paus menyoroti bahwa kerusakan lingkungan pada dasarnya ulah manusia bukan suatu proses alamiah. Manusia modern dengan segala kemajuan teknologi membawa dampak positif tetapi lebih dari itu mendatangkan risiko terhadap lingkungan.
Romo Martin Harun OFM dalam buku pemandu Bulan Kitab Suci Nasional 2019 menyebutkan, manusia modern telah berubah menjadi lebih individualis, kurang takwa kepada Allah dan kurang peka satu sama lain. Sikap antroposentrisme dan kecenderungan individualisme membuat manusia kian rakus.
Segelintir pemilik modal dan yang mengusai teknologi tinggi dengan sangat cepat menggaruk sumber daya alam demi menambah kekayaan dan kuasa mereka sendiri. “Mereka menjadikan kita konsumen mereka, manusia yang konsumeristis, dengan tujuan memindahkan uang dari dompet kita ke account mereka,” tulisnya.
“Maka tidak salah dalam Laudato Si’ Paus merangkum krisis bumi dengan membicarakan tiga masalah paling besar yaitu polusi serta perubahan iklim, masalah air, dan hilangnya keanekaragaman hayati,” jelas pastor Fransiskan ini.
Polusi dan Perubahan Iklim
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan krisis kesehatan global terus meningkat. Saat ini sekitar tujuh juta orang kehilangan nyawanya pertahun. Pembakaran bahan bakar fossil untuk menghasilkan tenaga listrik, menjalankan alat transportasi, dan industri adalah kontributor utama dari polusi udara. Tentu tak lepas dari perkara utama emisi karbon menjadi penyebab naiknya suhu di planet ini.
Fakta lain menurut WHO adalah pembakaran bahan bakar fossil di dalam ruangan, pembakaran kayu dan biomasa lain untuk memasak, menghangatkan ruangan dan menerangi rumah, industri termasuk penghasil tenaga listrik seperti pembangkit listrik tenaga batubara dan generator.
Tak usah jauh-jauh melihat pencemaran udara. Beberapa bulan terakhir ini, Jakarta, menjadi sorotan dunia karena kualitas udara yang memprihatinkan. Disebutkan menempati urutan ketiga sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia setelah Sao Paolo (Brasil) di peringkat kedua dan Dubai, Uni Emirat Arab di peringkat pertama.
Ditemui di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jakarta, Rabu, 2/10, pelaksana tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih menyebutkan akar polusi udara di Jakarta ada pada bertambahnya volume kendaraan pribadi. “Kendaraan bermotor menjadi penyumbang 40 persen polusi udara Jakarta. Polusi udara itu berupa partikel padat dan cair serta gas yang tersuspensi di udara. Partikel-partikel itu berasal dari knalpot kendaraan, pabrik, debu, serbuk sari, letusan gunung merapi, dan kebakaran hutan,” sebutnya.
Andono juga menyebutkan bahwa dalam Konferensi Tingkat Tinggi Climate Action Summit yang diselenggarakan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), 23 September 2019 lalu di New York, Program Lingkungan PBB dan Climate and Clean Air Coalition menyeruhkan kepada semua pemerintah termasuk Pemprov Jakarta untuk ikut dalam clean air initiative. “Sejauh ini pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berkomitmen mencapai kualitas udara yang aman bagi warga. Harapannya polusi udara bisa terselesaikan dengan baik,” sebutnya.
Ancaman Kekeringan
Permasalahan lain yang muncul terkait lingkungan hidup adalah masalah air. Harus disadari bahwa dari banyaknya air di bumi hanya 2,5 persen adalah air tawar, kebanyakan berbentuk es dan salju, hanya satu persen yang cair, dan distribusinya di bumi tidak merata. Di beberapa wilayah bahkan negara dengan wilayah hujan tropis, banyak orang tak punya akses lancar air bersih.
Tahun 2019 ini, di beberapa daerah di Indonesia tidak ada lagi air tawar yang cukup untuk rumah tangga, pertanian, dan industri. Belum lagi diperparah dengan pencemaran air sungai akibat pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan pertanian itu sendiri.
Dalam Laudato Si’ (LS 27-31), Paus mencerca perilaku hidup para konglomerat yang sudah menguasai air milik masyarakat dan menjualnya lagi kepada masyarakat dalam kemasan yang mahal. “Keadaan yang sangat tidak adil dan dapat membahayakan kedamaian di bumi,” tulis Paus Fransiskus.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim kemarau berlangsung Agustus hingga September 2019. Awal musim hujan diprediksi pada November 2019. Maka bisa dipastikan kekeringan bakal meluas di seantero Nusantara.
Sementara itu data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan sebanyak 63 juta liter air telah didistribusikan ke sejumlah daerah. Terutama untuk daerah-daerah yang berstatus tanggap darurat dan terdampak kekeringan. Data lain menyebutkan sudah ada tujuh provinsi di Indonesia yang terancam kekeringan. Daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur sedang dalam krisis air.
Kepala Bidang Humas BNPB Rita Rosita menyebutkan bahwa di seluruh lokasi terparah kekeringan, BNPB siap memberikan bantuan dalam bentuk distribusi air. Tetapi BNPB tidak serta bisa turun ke lapangan karena harus berdasarkan permintaan. “Biasa wilayah kekeringan membuat surat ke BNPB setempat lalu akan dibuat pendistribusian air. Itu juga tidak bisa bekerja sendiri karena harus bekerjasama dengan Dinas PDAM dan Dinas Pekerjaan Umum,” tulis Rita lewat pesan WhatsApp.
Rita pun meminta agar ada sikap siaga masyarakat seperti hemat air, menanam pohon, perbanyak resapan air, membuat bak air hujan. Selain itu ia juga mengusulkan agar warga terlibat dalam penanganan seperti membuat sumur bor, distribusi air bersih, membuat hujan buatan, dan pengaturan irigasi.
Hilangnya Hutan
Alexander Sonny Keraf, mantan Menteri Lingkungan Hidup Kabinet Persatuan Indonesia (1999-2001) mengatakan, salah satu krisis lingkungan yang paling dirasakan akhir-akhir ini adalah hilangnya keanekaragaman hayati, selanjutnya ada pencemaran udara, air, dan tanah. Kepunahan sumber daya alam: keanekaragaman hayati, sumber daya air, dan energi menjadi tak bisa terhindarkan lagi. “Saya lebih suka menyebutnya kekacauan iklim yang mengakibatkan kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan, badai, gagal panen dan gagal tanam,” ujar Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia ini.
Situasi-situasi demikian bagi Sonny dapat mengakibatkan kemiskinan, kelaparan, kematian, penyakit dan penurunan kualitas hidup manusia. “Semuanya sudah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan manusia dan kehidupan pada umumnya. Paling kurang menyebabkan gangguan kualitas hidup manusia,” jelasnya.
BNPB Provinsi Riau mencatat, luas lahan yang terbakar di seluruh wilayah Riau sejak Januari 2019 telah mencapai 6.425 ribu hektar. Hal ini dikarenakan hampir setiap hari selalu terjadi kebakaran lahan di sejumlah daerah. Hal ini mengakibatkan sejumlah penyakit yang dialami warga. Belum lagi tebalnya kabut asap membuat jarak pandang di Ibu Kota Riau hanya mencapai 300 meter.
Maka itu, Sonny berharap ada kontribusi semua pihak. Pemerintah Pusat maupun Daerah harus serius menjalankan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Segala kewenangan pemerintah, pihak penegakan hukum sudah jelas diatur di situ dari hulu hingga hilir penindakannya.
“Demikian pula pihak swasta harus patuh atas amanat UU dan berubah dengan mengembangkan bisnis yang ramah lingkungan karena konsumen menuntut itu. Masyarakat juga harus berubah dengan pola hidup ramah lingkungan, yang bisa dielaborasi dalam berbagai contoh kongkret. Sebut saja pengelolaan sampah mulai dari sumber di rumah, pemanfaatan air dan energi secara hemat, pola makan yang ramah tidak menimbulkan banyak sampah, dan lainnya,” ujar Sonny.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.41 2019, 13 Oktober 2019