HIDUPKATOLIK.com – Siang itu, sang raja siang begitu geram menatap bumi, menyengat membakar kulit. Tetapi para pengejar rupiah tak menghiraukan. Debu bertebaran menari riah didampingi asap dari kuda-kuda besi yang berkeliaran meramaikan jalan kota. Aku dan Yaya duduk berhadapan di salah satu warung terbuka yang beratapkan terpal biru. “Ayah dan ibu engak setuju sama hubungan kita,” curhat Yaya. “Sayang, engak usah bahas itu ya. Kita jalani aja dulu,” balasku malas. “Ia tapi sampai kapan Denis? Kita sudah dewasa. Kita juga sudah hampir wisuda. Kamu masih juga belum memikirkan masa depan kita?” sambar Yaya.
Akhir-akhir ini pembahasan antara aku dan Yaya selalu sama, semuanya tentang “masa depan”. Sebenarnya aku sangat mencintai Yaya tapi aku belum bisa mengambil keputusan yang pasti tentang hubungan kami. Keputusan yang aku ambil nanti semuanya akan berisiko buruk. Aku sedang berada dalam pilihan antara “menyakiti” atau “tersakiti”, dua-duanya sama: “sakit”. Yang aku miliki saat ini hanyalah doa agar Tuhan memberikan yang terbaik untuk aku dan Yaya.
Hubungan antara aku dan Yaya sudah memasuki tahun keempat. Aku pertama kali melihat Yaya saat kami mengikuti kegiatan inisiasi universitas. Berawal dari pertemuan itu akhirnya aku jatuh cinta pada Yaya karena kepribadiannya yang polos dan lugu. Tapi aku harus berjuang karena Yaya tidak suka dengan laki-laki yang kocak seperti aku. Namun akhirnya dia memberiku kesempatan untuk bersama-sama menenun kisah walaupun kabur tak berarah.
Aku anak rantau dari salah satu Pulau Karang, Timur Indonesia. Aku datang ke Kota Ramah untuk menempa diriku dan akan kembali untuk mencerdaskan Pulau Karang. Aku ingin membuktikan pada dunia bahwa Pulau Karang bukanlah pulau mati. Sedangkan Yaya adalah tuan tanah Kota Ramah. Dia dilahirkan di Kota Ramah, dibesarkan di Kota Ramah dan MUNGKIN akan meninggalkan Kota Ramah, pergi ke Pulau Karang. Tapi semuanya masih dibingkai dengan kata MUNGKIN.
Aku dan Yaya adalah pasangan yang cocok tapi “MUNGKIN tidak bisa bersama”. Hal inilah yang menjadi kerikil kecil, duri yang tajam dan gelombang yang tinggi bagi perjalanan cinta kami. Aku mencintai Yaya, tapi MUNGKINkah kami bisa bersama? Berlayar dalam satu bahtera adalah mimpi yang suram. Bersumpah sehidup semati adalah angan yang kabur. Semuanya terbingkai dalam kata MUNGKIN. “Jika tulang rusukku ada pada dirimu, apapun yang terjadi rusuk itu akan tetap menjadi rusukku,” balasku menenangkan perdebatan siang itu tentang masa depan.
Hari terus berjalan, tak peduli dengan masa depan yang selalu didebatkan antara aku dan Yaya. Matahari terbit lalu terbenam. Terbit lagi lalu terbenam lagi. Terus begitu tak mengenal kata bosan hingga hari itu tiba. Hari di mana aku dan Yaya mengenakan toga dan menambah nama baru pada belakang nama kami: “sarjana.” Dengan nama baru ini, aku akhirnya siap untuk melamar Yaya.
Malam itu, di kala sang rembulan tak malu menampakan diri, bintang-bintang beramai-ramai menghiasi langit, aku menepi bersama CBR 150 pemberian ayahku di depan rumah bergenteng merah milik pak Ratno, ayah Yaya. Dengan keyakinan penuh aku berlangkah menuju depan pintu dan mengetuk. “Untuk apa kamu ke sini?” sambut Pak Ratno sambil membuka pintu. “Aku ngak merestui hubungan kamu sama Yaya. Meskipun kamu mencintai Yaya tetapi kalian tetap tidak bisa bersatu. Kamu dan Yaya itu berbeda, dunia kalian berbeda. Kamu tidak mungkin memaksakan itu. Pokoknya kamu harus meninggalkan rumah ini sekarang dan jangan menghubungi Yaya lagi. O ia, dan satu lagi aku sudah menemukan pasangan yang tepat untuk Yaya,” lanjut Pak Ratno. Suara itu berhasil menyapu bersih barisan bintang-bintang di angkasa. Purnama pun ikut bersedih. Awan hitam menutupi semuanya seakan ikut menikmati perasaanku.
“Engak ayah. Aku lebih mencintai Denis daripada laki-laki itu. Apapun yang terjadi aku akan tetap mencintai Denis. Ini keputusanku. Aku sudah dewasa. Aku berhak menentukan pilihan hidupku. Aku ngak mau mencintai orang yang ngak aku cintai,” sambar Yaya. “Cukup!” teriak Bu Karin, ibu Yaya. “Yaya kamu masuk ke kamar sekarang. Dan kamu Denis, angkat kakimu dari sini sekarang juga. Jangan menghancurkan keluarga kami. Dasar laki- laki penghancur,” marah Bu Karin. Kata terakhir dari ucapan bu Karin benar-benar membunuh segalanya. Cintaku pada Yaya langsung memudar. “MUNGKINkah kami bisa bersama?” renungku dalam hati.
Setelah kejadian itu aku ragu mengontak Yaya. Dia pun tidak memberi kabar. Cinta kami sepertinya sedang merangkak dalam dunianya masing-masing, memilih-memilah antara mencintai atau menyakiti, memilih-memilah antara dicintai atau disakiti. Aku terus bergulat dengan diri, berundi dengan hati, berdamai dengan otak untuk memutuskan masa depan yang selalu kami debatkan.
Kata orang cinta itu menyatukan yang tidak mungkin disatukan, mempertemukan yang tidak mungkin dipertemukan dan mengikat yang tidak mungkin diikat. Mungkin saja pernyataan ini benar. Tetapi aku benci dengan pernyataan ini. Bagiku kalimat ini tidak lebih dari sekadar penghibur. Setelah empat tahun menganyam kisah, menenun kasih, memadukannya rapih akhirnya semua berakhir rapuh. Aku akhirnya mengambil keputusan tersulit yang pernah aku ambil. Namun aku tidak mampu menyampaikannya secara langsung maka aku membuat surat ini untuk Yaya.
Dear Yaya!
Yaya, aku bersyukur pernah mengenalmu. Saat pertama kali kita bertemu kamu hanya menatapku dingin. Aku tahu bahwa kamu tidak terlalu tertarik dengan dengan diriku. Bukan karena aku jelek, tapi sikapku yang kocak membuat kamu yakin bahwa aku belum dewasa. Tapi akhirnya engkau tahu diriku. Aku ingin mencintai wanita dengan keunikanku. Memang terkesan bahwa aku terlalu kekanak-kanakan tapi itulah caraku mencintaimu.
Aku berjuang meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu. Dengan berbagai cara aku lakukan, mulai dari menulis di kertas sampai mengungkapkan secara empat mata. Begitupun kamu belum meyakini cintaku. Memang gila, segila cintaku padamu. Aku bukan tidak bisa mengungkapakan cintaku secara dewasa tapi itulah caraku mencintaimu karena aku berbeda.
Aku terus berjuang hingga saat indah itu tiba. Aku berhasil meyakinkanmu bahwa aku serius mencintaimu. Walaupun tidak ada yang berbeda dengan caraku mencintaimu. Tetap sama: kocak. Aku berjaung memberikan kenyamanan kepadamu dengan kocakku, hingga kamu yakin bahwa itulah cintaku.
Kita terus bersama. Melewati suka duka bersama. Mulai dari kerja tugas bersama, belajar bersama, hingga menyelesaikan skripsi bersama. Saat ini kita telah melewati masa pendidikan dan meraih gelar baru, sarjana. Namun kebersamaan ini terasa seperti bukan sebuah kebersamaan. Kebersamaan ini hanyalah bermakna hampa.
Cinta selalu mencari yang terbaik. Jika kita saling mencintai tapi menghancurkan keluarga kita, janganlah kita saling mencintai. Cinta pada dasarnya menyatukan bukan memisahkan, mendamaikan bukan mengacaukan, meyejukan bukan menggerahkan. Terkadang cinta harus mengalah dengan keadaan. Kita jangan memaksakan cinta yang tak bermakna cinta.
Mulai sekarang biarlah cinta kita dipajang di dinding kenangan. Tapi janganlah lupakan aku. Ketika kamu nanti merindukan aku, berpailnglah ke dinding kenangan dan sebutlah namaku dalam doamu. Suatu hari nanti ketika kamu sudah menemukan penggantiku katakan padanya, “cintailah aku dengan caramu karena kamu berbeda.”
Mungkin saat ini ketika kamu mengeja setiap kata dalam tulisan ini aku telah berada di Pulau Karang. Aku pergi meninggalkanmu bukan karena aku pengecut tapi karena aku tahu bahwa kita tidak mungkin bersatu. Kesulitan terbesarku mencintaimu adalah ketika melihatmu berdoa. Aku tak mungkin meninggalkan Kristus yang menyelamatkan aku dari dosaku. Dan kamupun tak mungkin dibiarkan meninggalkan Nabi Muhamad yang mengajarkanmu percaya kepada Allah. Biarlah kita juga berkorban untuk mereka yang mencintai kita sebelum kita saling mencintai.
Empat tahun bersamamu terasa seperti LDR. LDR terjauh kita adalah ketika kamu memegang Tasbih aku memegang Rosario, ketika kamu ke masjid aku ke gereja, ketika kamu mengumandangkan Adzan aku menyanyikan Mazmur, ketika kamu membawa
Al-quran aku membawa Alkitab, ketika kamu Mengaji aku Menginjil. Kini aku sadar bahwa dunia kita berbeda. Kita memang bisa bersama tapi bukan untuk selamanya. Kita memang saling mencintai tapi bukan untuk saling memiliki. Salah satu rusukku memang hilang tapi tidak ada padamu. Atau mungkin ada padamu tapi biarlah itu untukmu karena apalah artinya tulang rusuk di hadapan cinta yang terlarang.
Aku selalu bertanya, “MUNGKINkah kita bisa bersama?” Dan hari ini aku sendiri menjawab “MUNGKIN kita tidak bisa bersama.” Aku terlalu lemah untuk memisahkanmu dari Masjidmu dan aku juga terlalu lemah untuk pergi meninggalkan Gerejaku. Berjuang melepaskanmu dari Quranmu adalah kesombonganku mencintaimu. Meninggalkan Alkitabku untuk mencintaimu adalah pengkhianatan yang paling kejam. Semuanya serba salah. Kita tidak MUNGKIN bersama.
Denis Rio Nahak
HIDUP NO.39 2019, 29 September 2019