HIDUPKATOLIK.com – Paroki ini menjadi salah satu tempat awal misi di Keuskupan Manokwari-Sorong. Dari sini lahir beberapa paroki lain, karena alam dan kesaksian hidup kaum muda.
Ayawasi hanyalah nama kampung di tengah hutan. Kalau membuka peta Pulau Papua, kampung Ayawasi terletak di bagian kepala burung, tepat di bagian mata. Syukurlah, saat ini lokasi ini sudah bisa terjangkau mobil. Tempat ini dapat dijangkau sekitar tujuh jam dengan mobil dari Boswezen di Kota Sorong.
Desa kecil ini adalah pusat misi Gereja Katolik. Sekitar 60 tahun yang silam, para misionaris dari Belanda membuka karya mereka di sini. Hingga saat ini, sudah ada tiga paroki yang telah dimekarkan dari Paroki St Yosep. Kendati sudah dimekarkan, daya jangkau sangat luas.
“Kita harus berjalan kaki seminggu untuk pulang dari Stasi Inovina ke paroki di Ayata. Saya sendiri harus naik pesawat sekitar lima jam untuk menuju stasi-stasi di sekitar Ayawasi seperti Stasi Inanwatan,” ujar Kepala Paroki Pastor Zepto Polii.
Bertemu “Ibu”
Tak heran orang mengatakan Ayawasi punya lahan misi sangat luas. Ada bandara kecil, berada tepat di halaman pastoran, ke paroki ini dengan pesawat, bisa langsung parkir di halaman pastoran, dan masuk rumah. Seakan sedang parkir mobil di garasi rumah. Di samping bandara itu, ada kawasan hijau yang sangat luas untuk persekolahan dan rumah sakit mini. Gerejanya masih semi permanen dan merupakan warisan sejak 40 tahun lalu. Gereja baru tengah dibangun permanen, empat kali lipat besarnya.
Pastor Zepto melanjutkan, Gereja Ayawasi hidup karena anak-anak. Bina Iman Anak, dan Bina Imam Remaja berjalan cukup baik di sini. Tak heran, Ayawasi menjadi tuan rumah Jambore Sekami Kevikepan Maybrat. Hajatan yang berlangsung di kawasan Isra Maria Fnia Kam Trainapoh (Gua Maria Bunda Penuh Rahmat), Kamis-Minggu, 13-16/6 ini diikuti oleh sekitar 500 anak dari tiga paroki yang merupakan “anak cucu” dari Paroki Ayawasi.
Selama kegiatan, anak-anak bagaikan pulang ke “kampung halaman”. Anak-anak menjadi penanda, bahwa Gereja hidup karena mereka. Hutan, tempat mereka beraktivitas menyediakan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Bahkan hasil bumi yang mereka dapatkan di hutan digunakan untuk menghidupi setiap misionaris atau pastor yang pernah berkarya di sana. Dalam spiritualitas orang Papua, hutan adalah “mama” yang tak pernah mau mengecewakan anaknya. Di hutan orang bisa mendapatkan makan, hidup dari alam, bersatu, dan merasa damai dengan alam.
Mereka pulang, bertemu “ibu” untuk menimba pengalaman, kekuatan baru, dan daya-daya rohani. Lagi-lagi, Paroki Ayawasi menjadi rumah yang nyaman, mempertemukan ibu yang baik, cinta, dan setia dengan anak-anaknya. Perjumpaan ini membuat mereka bangga menjadi anak Katolik.
Ragam kegiatan selama tiga hari di paroki ini membuat anak-anak menyadari bahwa Ayawasi menjadi bunda yang dengan penuh kehangatan mempersatukan. Ragam pastoral dan persaudaraan dan penerimaan umat Ayawasi membuat anak-anak dari empat paroki merasa berada dalam dekapan bunda yang penuh perhatian. Situasi ini dikuatkan dengan peran umat Ayawasi yang tidak membeda-bedakan mereka. Seperti seorang ibu yang tidak pilih kasih.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019