HIDUPKATOLIK.com – Media berperan vital dalam menyebarkan ajaran Gereja dan serta informasi. Termasuk dalam upaya melestarikan budaya yang semakin tergerus zaman.
Kehadiran media dalam pelayanan pastoral dapat menjembatani saluran informasi maupun katekese-katekese singkat. Pastor Ignatius Simbolon, OFMCap ketika bertugas di Paroki St Fransiskus Assisi, Berastagi, Sumatera Utara pada tahun 2008, menyadari peran penting media. Baginya, adanya media di paroki, penting untuk pengembangan komunitas basis Gereja.
Setahun kemudian ide untuk membuat buletin paroki. Usul ini pun disambut dengan sangat antusias. Tak lema setelah itu, beletin paroki pun terbit. Bentuk cetakan pertama buletin itu terdiri dari dua lembar folio yang difotokopi. Beletin edisi awal ini diberi nama Gema Paroki.
Bahasa Ibu
Awalnya Gema Paroki dikerjakan bersama oleh Sekretaris Dewan Pastoral Paroki Harian Paroki Berastagi Betlehem Ketaren, Pastor Paulus Silalahi OFMCap, dan Pastor Ignatius. Tema-tema tentang katekese mendominasi tulisan-tulisan awal beletin. Untuk menggarap tema katekese, Pastor Paulus menuangkannya dalam rubrik “Cerita, Pesan, dan Katekese Singkat”. Sedangkan Pastor Ignatius bertanggung jawab rubrik “Sapaan Pastor Paroki”.
Pada penerbitan kedua di bulan Agustus, Betlehem ditugaskan Pastor Ignatius membuat majalah dalam bahasa Karo. Bahasa ini digunakan oleh suku Karo yang mendiami Dataran Tinggi Karo (Kabupaten Karo), Langkat, Deli Serdang, Dairi, Medan, hingga ke Aceh Tenggara di Indonesia.
Hal ini Mengingat pesan Uskup Emeritus Agung Medan, Mgr. Anicetus B. Sinaga OFM Cap. Sang uskup melihat perlunya disediakan bacaan-bacaan rohani yang ditulis dalam bahasa Karo. Ia melihat perkembangan umat Katolik di Keuskupan Agung Medan (KAM) sungguh signifikan. Perkembangan ini terjadi juga di kalangan umat berbahasa Karo.
Betlehem menjelasakan, beberapa daerah yang mengalami pertambahan umat di antaranya ada di Lawe Desky, Lau Baleng dan Deli Tua. Daerah ini masih mayoritas umat Katolik berbahasa Karo. Ia mengatakan, tanpa pendekatan dan peneguhan yang terus-menerus ini bisa menjadi bumerang, mereka bisa saja ‘pindah ke lain hati’. “Di titik ini lah hendaknya media turut menampilkan perannya,” ujarnya.
Akhirnya Gema Paroki pun ditulis dalam bahasa Karo. Dengan perubahan ini, maka namanya pun berganti menjadi Ralinggungi, yang berarti ‘menggemakan’. Nama ini dipilih dekat dengan umat dan menjadi corong perwartaan dari Paroki Berastagi. Betlehem menjelaskan, perubahan nama media ini juga diiringi perubahan bentuk cetakan menjadi majalah dengan jumlah halaman lebih banyak (28 halaman).
Dengan beban yang semakin banyak, maka Redaksi Ralinggungi juga memerlukan lebih banyak tenaga. Beberapa anggota baru pun direkrut. Mereka berasal dari Seksi Katekese, Seksi Liturgi, Seksi Kitab Suci, dan sebagian dari Anggota Dewan Paroki Berastagi.
Ralinggungi diterbitkan hingga sekitar 500 sampai 750 eksemplar setiap kali terbit. Sejak Pastor Ignatius diangkat menjadi Vikaris Episkopal St Yakobus Rasul Kabanjahe pada 12 Juni 2011, cakupan edar Ralinggungi semakin luas.
Pada masa itu peredarannya mencakup sembilan paroki yang umatnya berbahasa Karo. Selain Paroki Berastagi, Ralinggungi beredar juga di Paroki St Penebus Bandarbaru, Paroki St Maria Diangkat ke Surga Kabanjahe, Paroki St Petrus-Paulus Kabanjahe, Paroki St Monika Tiganderket, Paroki St Fransiskus Assisi Tiga Binanga, Paroki St Fransiskus Assisi Seribudolok, Paroki St Damian Lau Baleng, dan Paroki St St. Yosef Lawe Desky.
Sebagai media dengan karakter pewartaan Gereja Katolik, Ralinggungi mewartakan ajaran-ajaran pokok Gereja. Ralinggungi menawarkan rubrik berupa tema liturgi tahunan serta liputan ragam peristiwa seputar gereja KAM. Beberapa rubrik pun bertambah dengan rubrik Pulungen Tawar (Tips Kesehatan), Bahan Perpulungan (Bahan Doa Lingkungan), dan Jambur Kilajar (Balai Budaya). Setiap pesan dari Uskup Agung Medan juga tak pernah lupa menjadi tema yang ditampilkan.
Tetap Naik Cetak
Media cetak memang menghadapi tantangan berat dengan hadirnya media digital. Ralinggungi pun mengalami jatuh bangun. Bentuk pewartaan dalam bahasa Karo ini sempat pernah tidak terbit selama enam bulan. Senjakala tersebut disebabkan terganjalnya bahan tulisan dan dana cetak. Betlehem mengakui, bahwa selama periode Ralinggungi tidak terbit, tidak sedikit umat yang komplain ataupun bersungut-sungut.
Kewalahan memenuhi kuota tulisan maupun liputan untuk setiap edisi pun dirasakan Redaksi Ralinggungi. “Tak dipungkiri, bahwa Redaksi Ralinggungi membutuhkan partisipasi seluruh umat Katolik di KAM dan nasional untuk memenuhi jatah minimal penerbitan konten per bulannya,” imbuhnya.
Betlehem tidak menutupi, bahwa kalangan umat anak muda kurang menaruh minat dengan berpartisipasi terhadap Ralinggungi. “Mereka bilang, majalahnya kok berbahasa untuk orang-orang tua,” kata Betlehem menirukan komentar dari beberapa anak muda. Dari lontaran komentar itu, awak redaksi Ralinggungi merencanakan memasukkan juga tulisan dalam bahasa Indonesia untuk edisi ke depan. “Langkah ini tentu baik, agar menjaga generasi muda tidak meninggalkan budaya asalnya,” ujar Betlehem.
Bagi Betlehem, harapan terbesar dari penerbitan Ralinggungi dalam bahasa Karo adalah agar masyarakat setempat bisa lebih mudah memahami tentang pewartaan yang ingin disampaikan. Ada dua tujuan yang ingin dicapai Ralinggungi, yaitu untuk menggemakan ajaran gereja Katolik ke tengah masyarakat. Tujuan kedua, Ralinggungi adalah satu bentuk inkulturasi Gereja terhadap budaya budaya dan bahasa Karo.
Pada tahun 2016, Pastor Karolus Sembiring OFM Cap menggantikan Pastor Ignatius sebagai Vikep St Yakobus Rasul Kabanjahe. Saat itu, kesempatan bagi peredaran Ralinggungi diperluas. Cara yang ditempuh agar terus naik cetak adalah memasukkan Ralinggungi ke dalam bagian program kerja Komisi Evangelisasi KAM yang diketuai oleh Pastor Karolus. Ralinggungi pun menjadi Majalah KAM berbahasa Karo.
Dengan terobosan tersebut, Ralinggungi mendapat subsidi dari KAM dan berlaku sekitar lima tahun. Setiap tahunnya dana subsidi dikurangi. “Harapannya setelah lima tahun disubsidi Ralinggungi sudah bisa menjadi majalah yang mandiri,” ujar Betlehem.
Sekarang, Ralinggungi telah rutin terbit setiap bulan. Jumlah eksemplar meningkat. Teranyar, oplah majalah ini sudah dicetak hingga 1.000 eksemplar. Ralinggungi berhasil menggaet sebanyak 700 pelanggan tetap. Berdasarkan data yang dimiliki redaksi, pengiriman ke paroki-paroki di Kevikepan St Yakobus Rasul Kabanjahe, Ralinggungi juga dikirim ke para pembaca baik di Medan, Delitua, Binjai, Pekanbaru, Jakarta, Bandung maupun Yogyakarta.
Menurut Betlehem, komunitas umat Katolik berbahasa Karo sangat mengapresiasi Ralinggungi. “Media ini dinilai sangat penting sebagai media pewartaan, karena membantu para pengurus menambah wacana pemikiran, khotbah, dan berkatekese dalam bahasa Karo,” tuturnya.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019