HIDUPKATOLIK.com – Meski telah “berkepala” tujuh, Mgr Mandagi tak ingin berhenti berkarya. Ada banyak rencana yang ingin diwujudkannya. Ia melawan keterbatasan raga.
Baru beberapa hari kembali dari Keuskupan Agung Merauke (KAMe), Mgr Mandagi terbang dari Ambon ke Jakarta. Ia ingin bertemu Duta Besar Vatikan untuk Indonesia. Uskup yang akan merayakan perak (25 tahun) tahbisan episkopal, memberikan waktu untuk bersua dengannya. Berikut petikan wawancara dengan Uskup Amboina sekaligus Administrator Apostolik Sede Plena KAMe.
Mengapa masih bersedia untuk menjadi Administrator Apostolik KAMe?
Demi ketaatan, pelayanan kepada Gereja dan Keuskupan Agung Merauke, serta Vatikan sungguh meminta saya, saya siap sedia. Walaupun itu tidak gampang. Tentu, saya punya banyak keterbatasan. Saya tidak memikirkan umur. Saya juga tidak memikirkan tugas di sana (KAMe) berat. Cuma satu poin (yang terbesit di benak saya): Mengabdi, mengabdi, mengabdi, kepada Kristus dan Gereja.
Tapi usia Bapa Uskup tak lagi muda. Langkah pun sudah “berkaki tiga”. Apakah masih sanggup?
Saya tahu itu. Tapi, bila Tuhan memanggil. Tuhan mengutus. Tidak mungkin Dia tidak memberikan kekuatan. Saya yakin satu poin saja, Tuhan memanggil, Tuhan mengutus, sudah. Seperti Abraham. Ketika Tuhan mengutusnya untuk berangkat, ya dia berangkat.
Selain itu, kami dapat kabar ada persoalan di KAMe sehingga Paus Fransiskus menarik uskup terdahulu (Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC) ke Vatikan. Apa yang terjadi?
Setelah saya bicara dengan berbagai segmen, persoalan di sana adalah masalah komunikasi dan relasi (uskup dengan imamnya). Keberhasilan seseorang bukan hanya dari kemampuan intelektual, tapi juga dari kompentensi emosional dan spiritual.
Saya sangat mementingkan relasi. Di Ambon juga. Bukan saya katakan saya berhasil yah, tapi lumayan. Saya mampu membangun jaringan. Saya tidak bisa kerja sendiri. Hal itu juga saya sampaikan pada acara besar di KAMe, 14 Agustus lalu. Perayaan 114 tahun Gereja Katolik masuk ke Merauke, Papua Selatan.
Saya meyakini itu sebagai cara kerja Tuhan. Saya baru ditunjuk sebagai Administrator Apostolik dan dapat kesempatan untuk bicara di hadapan ribuan umat Katolik. Berkat perayaan itu, semua umat mengetahui saya. Mereka memanggil saya Bapa Uskup usai perayaan. Padahal, saat saya masuk pertama kali ke sana masih banyak umat yang belum mengetahui saya. Itu berarti Tuhan sayang kepada saya.
Apa yang Bapa Uskup sampaikan dalam perayaan?
Saya menyampaikan beberapa inti hidup menggereja. Saya katakan, sudah 114 tahun, Tuhan hadir melalui Gereja Katolik. Tapi, keberadaan Tuhan bukan hanya melalui Gereja Katolik. Sebab, sebelum Gereja Katolik hadir, Tuhan sudah ada. Karena itu, Gereja Katolik jangan sombong.
Tuhan sudah hadir melalui alam Papua yang indah. Jadi, alam pua jangan dirusak. Kalau ada investor-investor nakal, usir dari sini. Tuhan juga hadir melalui manusia-manusia baik dan budaya Papua. Sebab itu, dalam refleksi (kemudian disampaikan dalam konferensi pers), saya amat melawan tindakan rasis yang dialami oleh orang Papua. Sebab, titik tolak saya adalah Injil. Di situ dijelaskan, manusia adalah gambaran Allah. Karena itu, tidak ada yang boleh direndahkan. Itu ajaran kemanusiaan. Itu ajaran setiap agama. Jadi, tindakan rasis merupakan perbuatan biadab, melawan kemanusiaan, dan amoral.
Saya juga menyampaikan soal status Mgr Nico (Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC). Saya katakan, Mgr Nico tetap Uskup Agung Merauke. Tetapi, kekuasaannya telah dicabut oleh Paus Fransiskus. Paus kemudian menyerahkan (kekuasaan Mgr Nico) kepada saya sebagai Administrator Apostolik KAMe. Seandainya Paus ingin menyerahkan kembali kepada Mgr Nico, itu urusan Paus Fransiskus, bukan saya.
Selain itu, empat hari di KAMe, saya mengadakan pertemuan dengan para imam, suster, awam, dan lain-lain agar hidup damai, mengikuti aturan, dan menjadi teladan bagi orang lain. Pertemuan itu juga memberikan hasil. Tiap tiga bulan akan ada pertemuan antara saya dan para kuria dari empat kevikepan di KAMe. Saya ingin mengetahui kehidupan para tenaga pastoral dan umat di sini.
Bapa Uskup hampir selalu blak-blakan menyampaikan pandangan bahkan kritik. Tak hanya soal Papua tapi juga kehidupan para uskup dan imam. Apakah siap menanggung konsekuensi?
Saya siap. Karena saya bicara dari hati, data, dan juga berimbang. Misal di Papua. Saya bilang, orang Papua boleh bersedih, silakan demo, tapi janganlah kekerasan yang kita (orang Papua) alami dilawan dengan kekerasan. Sebab, kekerasan merupakan perilaku biadab.
Peristiwa kemarin menjadi kesempatan untuk orang Papua yang mungkin selama ini sudah terlalu lama diam. Mereka harus bangkit untuk memberikan penyadaran bahwa hidup itu harus solider baik antarmereka maupun dengan orang yang bukan Papua.
Pesan hampir serupa juga pernah saya sampaikan saat terjadi kerusuhan di Ambon. Karena itu, saya selalu bilang kepada para uskup, untuk (berani) bicara (untuk membawa kebaikan bagi masyarakat). Sebab, kalau uskup yang bicara, pasti ditakuti.
Soal nasihat atau masukan bagi para imam, mereka seharusnya tak perlu marah. Dengan itu (nasihat) sebetulnya mereka diperkaya. Kalau mereka meminta masukan dari konsultan atau psikolog di luar tentu harga mahal. Jadi, tak perlu marah bila dinasihati.
Apa yang akan Bapa Uskup buat untuk KAMe dan Keuskupan Amboina?
Saya ingin KAMe mandiri. Salah satunya lewat program DUKU seperti yang kami buat di Keuskupan Amboina. DUKU itu Dana Umat Keuskupan Maluku. Setiap umat memberikan Rp 10 ribu per tahun. Jadi, kalau umat saya berjumlah 120 ribu, dalam setahun yang terkumpul Rp 1,2 miliar. Itu tanda umat berpartisipasi.
Beruntung, Mgr Nico juga cukup baik mengelola keuangan. Padahal dia dituduh soal (penggunaan) keuangan. Barangkali dia tidak komunikasikan kepada pastor. Dalam ekonomi, ada dua hal penting : transparansi dan akuntabilitas. Kita harus transparan dan tanggung jawab, supaya partisipasi umat meningkat dan mereka mengetahui uang tersebut digunakan untuk apa.
Saya punya prinsip, kalau mau capai delapan, harus mulai dari satu. Jangan langsung delapan. Tapi, persoalannya orang paling berat untuk memulai. Kalau saya langsung satu, nanti diperbaiki jadi dua, tiga, empat, dan selanjutnya. Dan saya tegas, akan menaruh informasi itu grup WhatsApp, paroki yang sudah maupun belum membayar. Supaya semua mengetahui. Itu bagian dari transparansi dan kontrol.
Organisasi bertumbuh harus ada lima hal toh, yakni: visi-misi, program, sosialisasi, pemberdayaan, kontrol dan evaluasi. Banyak organisasi hancur karna tidak ada kontrol.
Saya juga ingin memperbaiki dan membangun banyak rumah UNIO serta seminari seperti di Keuskupan Amboina. Tujuannya untuk mengakomodir kebutuhan pendidikan anak-anak di berbagai daerah di Papua. Jika mereka tak menjadi imam, mereka bisa menjadi katekis dan membantu karya gereja.
Masih banyak yang saya ingin buat, baik di KAMe maupun di Keuskupan Amboina. Prinsip saya, jangan pernah berhenti, harus berubah terus. Memang, kita hidup tak pernah sempurna, tapi kita bisa berbuat untuk kebaikan orang.
Apakah termasuk mempersiapkan uskup baru sebagai pengganti Bapa Uskup?
Saya tidak pernah mempersiapkan orang. Yang saya persiapkan adalah sistem. Dari sistem itu diharapkan akan muncul orang-orang baik. Yang memilih nanti adalah Vatikan dan Roh Kudus. Menjadi uskup bukan cuma (mengandalkan) otak tapi juga sikap dan perbuatan.
Bagaimana Bapa Uskup mewujudkan rencana tersebut, mengingat medan karya yang luas dan menantang?
Saya membangun sistem, antara lain membuat agenda dan rencana kegiatan. Sebab, saya suka kerja cepat dan teratur. Selain itu, saya menerapkan prinsip subsidiaritas dalam kepemimpinan. Apa yang bisa dikerjakan bawahan, nggak usah dikerjakan atasan. Saya tinggal kontrol dan bertanggung jawab.
Apa harapan Bapa Uskup?
Saya ingin terus bekerja secara baik dan bertanggung jawab. Bekerja dengan cinta. Selain itu, kerinduan saya, saya ingin masuk surga. Yah, saya takut saja, di dunia sudah kerja begini, tapi masuk neraka…ha..ha..ha. Lalu, saya berharap, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saya. Saya bukan orang suci. Saya adalah orang berdosa.
Yanuari Marwanto, Yola Salvia
HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019