HIDUPKATOLIK.com – Di bekas salah satu negara Republik Soviet, Kazakhstan, di mana umat Katolik hanya berjumlah satu persen dari populasi, Gereja mengalami kehidupan baru selama Bulan Misi Luar Biasa Oktober 2019.
Lonceng gereja tak berdentang dengan leluasa di masa pemerintahan Uni Soviet. Apalagi, semerbak harum dupa dalam Misa tidak dibiarkan memenuhi gereja. Lilin yang dinyalakan bagi Bunda Maria pun tak terlihat. Hanya aroma perjuangan yang tak kasat mata umat Katolik bawah tanah yang menjadi dupa harum bagi Tuhan.
Meskipun merupakan negara mayoritas Muslim, populasi Kristen di Kazakhstan mengalami peningkatan pada abad ke-19. Banyak orang Polandia, Lituania, Belarusia, Ukraina, dan Rusia dideportasi ke Stepa Kazakh dibawah Tsar Rusia. Dibawah rezim Soviet, ateisme menjadi ideologi. Doktrin resmi negara ini menjadikan penghapusan agama menjadi tujuannya. Kenyatan tersebut menambah gelombang baru umat Kristen ke Kazakhstan. Selain itu, ratusan ribu orang dideportasi ke kamp kerja Soviet di bawah Stalin.
Sekalipun jumlah bertambah, namun aktivitas keagamaan dilarang oleh penguasa komunis. Keadaan ini mendorong umat Katolik mempertahankan iman mereka secara diam-diam dengan berkumpul di rumah untuk berdoa. Uskup Agung Astana, Mgr. Tomasz Bernard Peta menuturkan, pada saat dominasi Soviet ketika umat Katolik dipaksa hidup tanpa Gereja, imam, dan sakramen, umat Katolik menciptakan semacam “sakramen kedelapan,” yakni Rosario. Selain membaptis anak-anak mereka, Rosario adalah satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan selama penganiayaan Soviet. “Dalam beberapa hal, Rosario menggantikan kekurangan gembala,” tegas Ketua Konferensi Waligereja Kazakhstan ini seperti dilansir www.asianews.it, 26/10.
Pada tahun 1978, pemerintah melonggarkan peraturan dan masyarakat mulai menyatakan iman mereka secara lebih terbuka. Setelah jatuhnya Uni Soviet, Gereja Katolik di Kazakhstan dipulihkan dan umat Katolik merasa bebas untuk beribadah di depan umum. Kemudian Paus Yohanes Paulus II mendirikan Administrasi Kerasulan Kazakhstan pada 13 April 1991, yang mencakup seluruh Asia Tengah. Hubungan diplomatik antara Takhta Suci dan Kazakhstan pun didirikan pada tahun 1994.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, sejumlah besar orang yang dideportasi kembali ke negara mereka. Setidaknya empat juta orang bermigrasi. Dari jumlah tersebut, 500 ribu orang adalah Katolik. Saat ini, lebih dari 70 persen dari sekitar 18 juta orang di negara itu adalah penganut Islam. Orang Kristen datang berikutnya dengan lebih dari 26 persen, kebanyakan mereka adalah Katolik Ortodoks Rusia, sedangkan umat Katolik Roma hanya mencapai angka satu persen dari populasi negara itu. Sebagian besar berasal dari Polandia, Jerman, dan Lituania.
Menurut imam misionaris Kongregasi Pelayan Yesus dan Maria (SJM), Pastor Leopold Kropfreiter, saat ini komunitas Katolik Kazakhstan mengalami kehidupan baru. Mereka menemukan kembali kehidupan orang-orang kudus yang mengalir dari tradisi budaya negara mereka, yang digali bersama para misionaris. Dengan mengenal ini, para misionaris turut belajar berbicara dengan “hati rakyat”.
Untuk itu, Bulan Misi Luar Biasa sangat penting bagi Gereja di Republik Asia Tengah yang luas ini. Menjelang Bulan Misi Luar Biasa, imam asal Austria ini mengatakan, Gereja di Kazakhstan telah memberikan penekanan besar pada empat aspek yang menurut Paus harus menandai bulan ini yakni, pertemuan pribadi dengan Yesus Kristus di Gereja-Nya, kesaksian misi, pembentukan misi, dan amal misi.
Salah satu peristiwa yang menarik dari Bulan Misi ini adalah ziarah misi ke Kapel St Theresia dari Kanak-kanak Yesus di Pavlodar, yang terletak di bagian Timur Laut negara itu. Misi ini menjadi penting karena memberikan peluang besar bagi para peziarah untuk melakukan kontak dengan banyak misionaris dan umat Katolik yang kisah kehidupannya terbukti menjadi inspirasi iman. Tugas besar selanjutnya dari umat Katolik Kazakhstan, kata Pastor Leopold, adalah mengundang orang-orang, bahkan dengan latar belakang Islam, untuk menjadi lebih akrab dengan Gereja.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.44 2019, 3 November 2019