HIDUPKATOLIK.com – Sejak Gerja Katolik masuk ke Nusantara, sudah ada tiga kardinal yang berasal dari Indonesia. Ketiganya pernah menjadi Uskup Agung Semarang.
Saat diangkat oleh Paus Paulus VI menjadi cardinal pertama dari Indonesia, kardinal Justinus Darmojuwono mendapat gelar Kardinal-Imam Santissimi Nome di Gesù e Maria in Via Lata. Nama ini mengacu pada sebuah gereja di Kota Roma, Italia. Itulah sebabnya, lukisan Kardinal Darmojuwono juga terpasang di salah satu dinding di gereja itu.
Konsistori pengangkatan Kardinal Darmojuwono dilakukan pada 26 Juni 1967. Pengangkatan ini begitu istimewa, mengingat Mgr Albertus Soegijapranata SJ, sosok yang karya kegembalaannya ia teruskan, merupakan uskup pribumi Indonesia yang pertama. Dengan pengangkatan ini, ia menjadi kardinal pribumi Indonesia pertama.
Kardinal Pertama
Justinus Darmojuwono lahir di Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2 November 1914. Saat usianya 33 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam Diosesan Semarang oleh Mgr Soegijapranata 25 Mei 1947 oleh Uskup Tituler Danaba sekaligus Vikaris Apostolik Semarang.
Pada 22 Juli 1963, Mgr Soegijapranata wafat. Sejak itu takhta Keuskupan Agung Semarang pun lowong. Penantian umat akan datangnya seorang uskup baru ternyata tidak berlangsung lama. Namun siapa sangka, Romo Darmojuwono lah yang pada 10 Desember 1963 diumumkan terpilih menjadi Uskup Agung Semarang. Ia ditahbiskan pada 6 April 1964. Dengan pentahbis utama Mgr Ottavio De Liva yang saat itu menjabat sebagai Internunsius Apostolik untuk Indonesia.
Ketika menjadi uskup, Mgr Darmojuwono membagi wilayah keuskupannya menjadi beberapa kevikepan. Langkah pertama, pada 6 Oktober 1966 ia membentuk Kevikepan Semarang, Kevikepan Surakarta, dan Kevikepan Yogyakarta. Saat dirasa wilayah Magelang dan sekitarnya juga membutuhkan perhatian yang besar, maka ia lalu membentuk Kevikepan Kedu pada 18 Agustus 1967. Pembagian ini masih dipertahankan hingga kini.
Ketika akhirnya terpilih dan dilantik menjadi kardinal, ia mengikuti dua kali Konklaf. Yang pertama pada 25-26 Agustus 1978 dan menghasilkan terpilihnya Paus Yohanes Paulus I. Kedua, pada 14-16 Oktober 1978 saat terpilih Paus Yohanes Paulus II.
Kardinal Darmojuwono mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Semarang pada 3 Juli 1981. Sebelum pengunduran diri ini, ia sempat meresmikan berdirinya Tahun Orientasi Rohani di Jl Jangli Semarang. Ini merupakan rumah bagi pendidikan tahap awal untuk para calon imam Keuskupan Agung Semarang.
Setelah pensiun, ia masih bertugas sebagai pastor paroki di Paroki St Maria Fatima Banyumanik Semarang. Di tempat ini, Kardinal Darmajuwono menghabiskan masa senjanya hingga ia wafat pada 3 Februari 1994.
Estafet Kepemimpinan
Umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang harus menunggu dua tahun untuk memperoleh seorang uskup baru. Kisah keterpilihan Mgr Darmajuwono menjadi uskup seperti terulang. Romo Darmojuwono ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr Soegijapranata sebagai imam Diosesan Semarang. Di masa selanjutnya, ialah yang menggantikan tugas sang uskup menjadi Uskup Agung Semarang.
Kini, saat Kardinal Darmojuwono pensiun, Mgr Julius Riyadi Darmaatmadja SJ terpilih untuk mengisi takhta Keuskupan Agung Semarang yang sedang lowong. Dulu, Mgr Darmojuwono juga yang mentahbiskan Romo Darmaatmadja menjadi imam Serikat Yesus.
Kisah ini seakan menunjukkan berjalannya estafet kepemimpinan di Semarang. Namun, sambung menyambung ini ternyata belum berhenti. Kelak, Mgr Darmaatmaja juga diangkat menjadi kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II dalam konsistori tanggal 24 November 1994. Saat menjadi kardinal, ia mendapat gelar Kardinal-Imam Santa Cuore di Maria.
Dalam konsistori ini, Paus Yohanes Paulus II mengangkat 30 kardinal baru, yang terdiri dari: 24 Kardinal Elektor dengan rata-rata umur berkisar 66,8 tahun dan enam Kardinal Non Voting yang rata-rata umurnya 85 tahun. Saat itu, Kardinal Darmaatmadja termasuk muda karena usianya di bawah rata-rata, yakni 60 tahun.
“In Nomine Jesu”, begitu moto tahbisan uskup yang dipilih Mgr Darmaatmadja tak bisa diragukan pada semboyan ini. Sampai kapan pun setiap langkah kakinya hanya akan terjadi dengan semangat ini. Lahir di Muntilan 20 Desember 1934. Putra kelima dari pasangan Joachim Djasman Djajaatmadja dan Maria Siti Soepartimah ini diberi nama Julius Riyadi Darmaatmadja.
Riyadi kecil adalah pribadi bersahaja yang menyukai warna biru, menurutnya biru adalah warna kedamaian. Sejak kecil Riyadi adalah sosok yang penuh ketenangan dan kedamaian, tidak suka bekelahi, namun suka belajar dan membaca. Kebiasaan ini menjadikannya sebagai sosok yang cerdas.
Ketekunan menjalankan tugas sebagai Putra Altar di Gereja St Antonius Muntilan, pelan-pelan menancapkan benih panggilan di hati Riyadi. Sampai ketika Riyadi lulus dari Sekolah Rakyat, Riyadi memutuskan untuk mengikuti kata hatinya dengan masuk Seminari Menengah Mertoyudan. Benih panggilan dalam diri Riyadi nyatanya bak emas yang semakin menjadi murni dalam tanur api.
Masa Krisis
Kesederhanaan sebagai seorang Jesuit dan latar belakang budaya Jawa yang disandangnya sangat mewarnai corak penggembalaannya. Sekian tahun menggembala di Keuskupan Agung Semarang, tugas penggembalaan Kardinal Darmaatmadja tidak hanya di situ. Ada tempat yang lebih menantang, sekitar 600 kilometer ke arah Barat dari Semarang. Setelah sekitar 13 tahun menjadi Uskup Agung Semarang, Kardinal Darmaatmadja ditunjuk Paus Yohanes Paulus II untuk menjadi Gembala Utama di Keuskupan Agung Jakarta pada 11 Januari 1996.
Di Ibu Kota Indonesia ini, Kardinal Darmaatmadja menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Meski ketika di Semarang, ia juga menghadapi tantangan sekularisme dan modernisme, namun kondisi di Jakarta tetap memiliki corak yang berbeda. Sebagai pusat sebuah negara, Jakarta juga memiliki arti sangat penting bagi perkembangan Gereja Indonesia.
Di tahun-tahun awal penggembalaannya di Jakarta, Indonesia harus melewati masa-masa perubahan besar bangsa. Tahun 1997 Indonesia mulai dihantam Krisis Moneter, berbarengan dengan jatuhnyaekonomi di negara-negara Asia lain. Kondisi yang secara telak menghancurkan sendi ekonomi pemerintahan Orde Baru.
Akibat krisis ini pemerintahan Orde Baru pun runtuh pada 13 Mei 1998 dengan lengsernya Presiden Suharto. Pemerintahan yang berubah membawa perubahan di seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia sampai kini. Gereja tak luput dari peristiwa ini, kondisi moneter Gereja Katolik tentu juga harus mengetatkan ikat pinggang.
Belum selesai dihantam krisis ekonomi, terjadi peristiwa peledakan bom di beberapa Gereja di Indonesia pada malam Natal tahun 2000. Di Jakarta sendiri beberapa Gereja Katolik menjadi korban peledakan ini termasuk Gereja katedral Jakarta. Peristiwa ini menjadi awal mimpi buruk lahirnya aksi terorisme berlatar belakang jihad keagamaan di Indonesia.
Namun ciri cinta kasih Kristiani tetap mendasari Kardinal Darmaatmadja dalam menuntun umat Katolik Jakarta menghadapi peristiwa ini. Ia mengajak umat Kristiani berpikiran jernih, lebih disemangati oleh iman, di mana Damai Natal, begitu seruannya sebagai Ketua Konferensi Waligereja Indonesia ketika itu.
Bersambung Lagi
Setelah berkarya di Jakarta sekitar 13 tahun, dan usianya sudah menginjak 75 tahun, Kardinal Darmaatmadja mengajukan pengunduran diri sebagai Uskup Agung Jakarta. Senin, 28 Juni 2010 Takhta Suci mengabulkan permohonan pengunduran diri Kardinal Darmaatmaja, sebagai Uskup Agung Jakarta (KAJ). Mgr Ignatius Suharyo menggantikannya.
Dulu saat ditahbiskan menjadi imam, Mgr Darmaatmadja lah yang juga menahbiskan Romo Suharyo. Selanjutnya, saat sudah diangkat menjadi kardinal dan dipindah tugaskan ke Keuskupan Agung Jakarta, Romo Suharyo juga yang akhirnya menggantikannya menjadi Uskup Agung Jakarta.
Kisah sambung bersambung ini berlanjut lagi, ketika Mgr Suharyo diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus. Kardinal Ignatius Suharyo akan menerima bireta sebagai tanda pengangkatan seorang kardinal pada konsistori tanggal 5 Oktober mendatang.
Terpilihnya tiga kardinal dari Indonesia ini seperti sebuah cerita dongeng yang sambung menyambung. Kelak siapa tahu, akan ada kardinal keempat dari Indonesia yang saat masih menjadi imam, ternyata ditahbiskan juga oleh Mgr Suharyo. Kita tunggu saja.
Antonius E. Sugiyanto
HIDUP NO.37 2019, 15 September 2019