HIDUPKATOLIK.com – Pertengahan abad ke-20, filsuf Jerman Karl Jaspers menulis buku inspiratif, The Origin and Goal of History (London:1953). Buku ini memetakan perjalanan sejarah manusia dalam dua tahap. Pertama, kurun Pra-Axial (Pre-Axial Period), yang merentang dari awal kesadaran-diri manusia, hingga ke abad ke-9SM. Kedua, Kurun Axial (Axial-Period), yang merentang dari tahun 800an sampai 200an SM (abad ke-9 hingga ke-3 SM).
Jaspers menyebutnya kurun transformatif dalam kesadaran dan pemikiran religius manusia. Pada Kurun-Axial tersebut, di empat tempat di dunia ini terjadi transformasi kesadaran religius yang sangat besar.
Hal itu ditandai dengan munculnya banyak genius dalam bidang agama, filsafat, dan kebudayaan. Misalnya, di Timur Tengah (Kanaan) kurun itu ditandai munculnya para nabi besar Perjanjian Lama (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Amos, Hosea, dll.,). Begitu juga di Barat (Yunani) muncul penulis mitologi Yunani sekelas Homerus, dan filsuf-filsuf besar (Sokrates, Plato, Aristoteles). Di India muncul pemikir agung yang mengawali tradisi Hindu-Buddha. Di China ada Guru Agung yang memunculkan agama dan moralitas unggul yang sangat inspiratif hingga kini. Jaspers tidak menyinggung apa yang terjadi di Afrika, dan di Amerika.
Buku Jaspers ini di akhir abad keduapuluh (tahun 90an) mengilhami dua orang menulis buku juga. Pertama, Karen Armstrong, yang dengan memakai periodisasi Jaspers, menulis The Great Transformation (Mizan: 2013). Armstrong memberikan beberapa contoh pemikiran transformatif di bidang keagamaan yang muncul di keempat kawasan di atas tadi, yang membawa transformasi kesadaran manusia.
Kedua, Ewert H. Cousins, pakar teologi, yang di akhir abad ke-20 menulis Christ for the Twenty first Century (1992). Berbeda dengan Armstrong, Cousins menyebut masa kini Kurun-Axial Kedua (The Second Axial-Period). Kalau kurun Axial-Period ditandai dengan munculnya kesadaran beragama baru, maka kurun the Second Axial-Period harus ditandai dengan munculnya kesadaran beragama baru yang lebih terbuka, lebih inklusif, lebih sadar akan ada dan kehadiran dari yang lain.
Terkait dengan pengamatan historis Cousins ini saya mau mengatakan, bahwa umat Kristiani harus menyambut kedatangan zaman baru tersebut dengan praksis transformasi kesadaran diri yang baru juga. Di sini, saya tiba-tiba teringat akan pelbagai sebutan pengikut Yesus dalam Kisah Para Rasul. Sekarang pengikut Yesus disebut Kristiani, yang diawali Kisah Para Rasul 11:26 (untuk pertama kalinya pengikut Yesus disebut Christianoi di Antiokhia). Tetapi itu bukanlah sebutan satu-satunya dalam Kisah Para Rasul. Ada sebutan lain seperti, pengikut Jalan Lurus (Kis 9:11), Jalan Tuhan (Kis 9:2; 10:13; 18:25; 19:9; 19:23; 22:4,5; 24:14,22), Jalan Allah (Kis 18:26). Ada juga sebutan pengikut orang Nazaret, yang sangat tua, yang diabadikan dalam Qu’ran, Nasrani.
Sebutan Christianoi memang dengan sangat jelas menunjukkan identitas pengikut Kristus, pokok dan tokoh iman. Tetapi sebutan itu eksklusif. Kiranya ada sebutan lain yang lebih bersifat inklusif, yaitu pengikut jalan.
Dalam kurun Axial-Kedua ini, sebutan seperti itu perlu dipertimbangkan untuk dipakai sebagai nama diri dan identitas Kristiani. Mungkin sebutan itu terasa kabur tetapi sangat inklusif dan merangkul. Tentu Jalan itu tetap sangat jelas, yaitu Yesus Kristus sendiri yang berkata: Akulah jalan, ego sum via, ego eimi he hodos (Yoh 14:6). Pada saat kita menyebut diri Pengikut Jalan, tentu yang kita pikirkan ialah Kristus sebagai Jalan.
Fransiskus Borgias M.
HIDUP NO.36 2019, 8 September 2019