web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Inkulturasi, Sebuah Proses Pertobatan

3.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Paul Widyawan mengakui, tanpa inkulturasi, celah pertobatan akan tertutup. Inkulturasi hanya mungkin melalui proses tobat di mana unsur kebudayaan menjadi sarana untuk berjumpa dengan Allah.

Indonesia hingga saat ini masih dipandang sebagai “negara misi”. Pantaslah inkulturasi menjadi salah satu hal penting dalam pewartaan Injil. Inkulturasi ini secara nyata masih terekam dalam liturgi suci. Paling pertama dari bentuk inkulturasi dalam liturgi adalah penggunaan bahasa vernakular setempat dalam Misa kudus. Tentu bahasa Latin sebagai bahasa resmi masih dipertahankan hingga saat ini dalam Ritus Roma.

Terdapat pula bentuk inkulturasi lainnya dalam arsitektur Gereja dan pakaian Misa. Satu yang tak kalah penting adalah rupa-rupa nyanyian dalam Misa.

Di Indonesia, nyanyian inkulturasi liturgi ini tak lepas dari sosok Paul Widyawan. Dalam memainkan perannya sebagai musikus liturgi, nama Paul tak pernah lepas dari Pusat Musik Liturgi (PML) yang resmi berdiri pada 11 Juli 1971.

Wajah Pribumi
Dalam buku Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia tahun 1957-2007, Romo Karl-Edmund Prier SJ menceritakan soal gagasan berdirinya PML dari oborolan berkala dengan Paul sejak tahun 1967. Dalam pertemuan berkala ini, kedua tokoh musik liturgi Indonesia ini punya satu pemikiran: agar memajukan musik Gereja lebih profesional. Ada upaya untuk membuat eksperiman lagu liturgi baru sesuai cita-cita liturgi di Indonesia.

Cita-cita ini didasarkan atas keprihatinan Romo Prier dan Paul terkait liturgi pada “zaman pra-sejarah PML”. Memang di zaman itu, ada upaya berbagai pihak untuk mengembangkan musik Gereja dalam bahasa pribumi. Hal ini sudah dimulai Mgr Van Bekkum SVD di Manggarai, Pater Vincent Lechovic SVD di Timor, dan Mgr Albertus Soegijapranata di Jawa. Akan tetapi usaha tersebut tidak ditangani secara profesional dan tidak berkelanjutan.

Sejak kehadiran Romo Prier di Indonesia tahun 1964, umat Katolik Indonesia masih terpaku pada nyanyian Gregorian. Tidak salah dengan genre lagu ini, cuma sulit dan seringkali “menyiksa” umat. “Bagi saya hal ini semacam kemunduran liturgi karena tahun 1962-1963 saat betugas di Kolese Stella Matutina di Feldkirch, Austria, angin pembaharuan liturgi sudah terasa. Tetapi di Indonesia itu tidak nampak,” ungkapnya.

Keprihatinan ini diungkapkan dalam usahanya untuk ingin mengaktifkan lagi organis, dirigen, dan orang-orang yang terlatih secara profesional. Ada harapan juga bahwa liturgi Indonesia harusnya berwajah pribumi, mengena di kedalaman hati umat. Banyak tradisi musik tradisional dan kekayaan budaya Indonesia sudah menjadi nilai utama mengembangkan liturgi yang berwajah Nusantara.

Paul seorang figur yang sangat antusias ketika diundang oleh Romo Prier untuk memberi nafas baru pada musik liturgi. Paul menyadari bahwa wajah Nusantara liturgi Gereja ini bisa dikuatkan lewat musik dan lagu tradisional. Dengan begini kekuatiran dan kecemasan umat beriman di mana menduduki peran utama dalam liturgi juga teratasi.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Di buku Perjalanan Musik Gereja, Paul menyebutkan bahwa musik liturgi hendaknya mengabdi pada kepentingan umat. Musik liturgi senantiasa mendorong partisipasi umat secara aktif dalam perayaan liturgi. Hal ini bukan berarti musik liturgi semakin miskin sehubungan dengan sifat massal dari umat, sebaliknya harus semakin bermutu dan berkesan. “Oleh karena itu, potensi di kalangan umat perlu dilibatkan dan musik inkulturasi dapat menjawab kebutuhan hal ini,” tulis Paul.

Senada dengan harapan Paul, Pastor Paulus Pitoy MSC, mantan dosen Liturgi di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Manado, Sulawesi Utara, dalam wawancara beberapa waktu lalu menegaskan bahwa sejak Konsili Vatikan II, dengan lantang Gereja Katolik menggemakan anjuran-anjuran agar Gereja membuka diri dan menerima unsur-unsur kebudayaan setempat. Tentu sejauh unsur-unsur kebudayaan itu tidak secara prinsipiil bertolak belakang dengan ajaran Gereja.

Asisten General Tarekat Hati Kudus ini meyakini bahwa ada hubugan dekat antara agama dan kebudayaan. Hubungan ini telah mewajibkan Gereja Katolik untuk setia mendengarkan bisikan kebudayaan. Kewajiban lain yang lebih luas adalah untuk merefleksikan dan merenungkan proses terbentuknya interaksi budaya manusia. “Proses inkulturasi dapat dilihat sebagai perjalanan dari kebudayaan yang satu menuju kebudayaan lain. Agama dan Kristianitas akhirnya adalah bagian dari kebudayaan manusia,” jelasnya.

Konsili dan Kebudayaan
Sejak Konsili Vatikan II (KV II), kedudukan musik dan nyanyian merupakan bagian yang penting dan integral dalam liturgi (SC 112). Nyanyian Gregorian dipandang sebagai nyanyian khas Liturgi Romawi, namun “jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi” (SC 116).

Apa yang digaungkan KV II ini sejalan dengan perjuangan Paul dan Romo Prier yaitu agar umat yang mengikuti ibadah terpesona oleh lagu, doa, lambang, atau hiasan yang dipakai dalam kebudayaan sehari-hari. Bagi Paul, KV II memberi penghargaan dan tempat yang sewajarnya kepada tradisi musik yang memiliki peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, terutama di daerah misi seperti Indonesia.

Misi inkulturasi Paul ini akhirnya dikerucutkan dengan posisi Romo Prier yang ditugaskan Provinsial Jesuit Romo Soenarya SJ untuk berkarya di bidang musik liturgi. Setelah ditahbiskan imam tahun 1969, setahun kemudian Romo Prier berangkat ke Jerman untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan musik liturgi. Sekembalinya tahun 1971, Romo Prier dan Paul mendirikan “bengkel musik” yang disebut PML.

Segera setelah PML berdiri, Romo Prier merasakan bahwa budaya bisa saja tidak sempurna karena ada juga kemungkinan manusia tersesat dalam kultus kebudayaan. Misal, dewa yang tinggal di pohon, dalam rumah adat, yang menuntut sesaji. Maka inkulturasi hanya mungkin melalui proses tobat di mana unsur kebudayaan harus ditingkatkan agar dapat berjumpa dengan Allah.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Paul yang saat itu sudah terlibat dalam PML menerjemahkan proses “tobat” ini sebagai keterbukaan diri kepada orang lain untuk lebih memahami musik liturgi. Tobat dalam pengertian Paul juga berarti membuka kesempatan banyak orang untuk masuk mendalami perjumpaan dengan Allah.

Oleh karena itu, Paul lebih memberdayakan lagu Paduan Suara (PS) Vocalista Sonora yang didirikannya tahun 1964. Paul bersama Romo Frits Smith van Waesberghe SJ dan Romo Prier memberdayakan pelatihan organ. Kedua kelompok ini sangat membantu PML dalam melaksanakan eksperimen-eksperimennya untuk memajukan musik liturgi yang khas Indonesia.

Langkah “pertobatan” lain yang diusahakan Paul dan tim PML adalah memberikan penataran dirigen dan organis di berbagai daerah, seperti Solo dan Semarang, maupun di daerah yang jauh, antara lain Bandung, Jakarta, Malang dan Surabaya. PML bahkan diberikan tugas rutin untuk mengurus Misa Muda-mudi di Paroki Kota Baru, Yogyakarta.

Tugas ini dilaksanakan Paul dengan baik. PS Vocalista terus mengadakan pentas musik liturgi di banyak daerah. Dan buah pertama yang dihasilkan PML dari eksperimennya adalah menyusun dan menerbitkan buku lagu pertama berjudul “Pekan Suci” tahun 1972 yang berisikan nyanyian-nyanyian yang berbahasa Indonesia untuk liturgi Minggu Palma sampai Malam Paskah.

Bukan Hiasan
Selanjutnya PML menyusun dan menerbitkan buku lagu yang kedua, yakni “Gema Hidup” pada tahun 1973. Buku tersebut berisikan 125 lagu baru dalam bahasa Indonesia yang ditujukan bagi generasi muda.

Lambat laun tanggapan positif pun berdatangan dari umat. Saat itu PML semakin dicintai umat karena lagu-lagunya dalam bahasa Indonesia dan beberapa juga dalam bahasa daerah. Pada Kongres Liturgi Nasional II tahun 1973 di Jakarta, PML mendapat tugas mengurus nyanyian liturgi selama kongres berlangsung.

Kemudian pada Kongres Musik Liturgi Nasional di Yogyakarta tanggal 24-30 Agustus 1975 yang membahas Indonesianisasi Musik Gereja, Paul menjadi inisiator kongres itu. Kongres menyepakati beberapa hal terkait perkembangan PML. Pertama, perlunya lokakarya komposisi musik liturgi di daerah-daerah. Kedua, pentingnya pendidikan pemusik liturgi secara profesional. Ketiga, keinginan agar Seksi Musik menyusun suatu “Buku doa dan nyanyian umum” untuk seluruh Indonesia yang berisiskan lagu-lagu inkulturasi.

Paul dan Romo Prier kemudian mengambil poin pertama dengan mengembangkan sejumlah lagu berbahasa daerah. Pada poin ketiga, PML menerbitkan Buku Lagu dan Doa “Madah Bakti”. Untuk tetap menjalin hubungan dan komunikasi dengan para peserta kongres, PML menerbitkan majalah bulanan “Warta Musik Liturgi” sejak tahun 1975.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Sejak itu, Paul terus menciptakan 29 lagu inkulturasi daerah di Indonesia yang terdapat di Madah Bakti. Selain itu, Paul juga terlibat dalam pengembangan PS Vocalista dengan berbagai tour ke pelbagai daerah di Indonesia maupun negara-negara Eropa.

Dahulu, sebelum KV II, posisi musik dan nyanyian dalam liturgi dianggap sebagai latar belakang untuk perbuatan liturgi, iringan, selingan, misal pastor ‘sibuk’ di panti imam. Setelah KV II, musik dan nyanyian liturgi merupakan liturgi itu sendiri, bagian mutlak dan integral liturgi mulia. Musik dan nyanyian liturgi bukan sebagai hiasan tetapi memiliki fungsi penting dalam pewartaan Kitab Suci, dalam ungkapan iman, doa syukur, doa permohonan, dan memperjelas perbuatan sakramen.

Mengutip pernyataan Paul dalam Majalah HIDUP No. 30 tahun 1983 tentang “Peran penting Buku Madah Bakti bagi Iman Umat”, Paul mengatakan, inkulturasi biasanya mengarah pada kontekstualisasi atau pempribumian. Kontekstualisasi sebagai usaha menempatkan sesuatu dalam konteks, sehingga tidak asing. Sebagai usaha oikumenis, kontekstualisasi dalam musik liturgi harusnya menjadi gerakan pertobatan bersama sekaligus celah bagi Gereja memberitakan misi di Nusantara.

“Tanpa inkulturasi, celah pertobatan juga akan tertutup. Termasuk dalam pertobatan ini adalah musik liturgi sebagai bentuk komunikasi umat Katolik terhadap Pencipta,” pungkas Paul.

Paul Widyawan

Tempat/Tanggal Lahir : 18 Januari 1945 di Yogyakarta
Wafat : 10 Agustus 2019 di Yogyakarta

Pendidikan :
– SMP Seminari Mertoyudan (1957-1963)
– SMA De Britto Yogyakarta (1964-1965)
– Studi Bahasa Inggris di UGMA dan Kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan Indonesia (1965)

Karier :
Dosen Bahasa Inggris di Akademi Katekis (AKKI) Yogyakarta.

Karya-Karya :
• Mendirikan PML (1967-1970)
• Mendirikan Pusat Musik Liturgi (1971)
• Tour Kesenian I ke Eropa (1976)
• Studi musik di Agusburg Jerman dengan fokus pendidikan musik anak (1977)
• Menciptakan lagu-lagu Madah Bakti (1978-1980)
• Tour Kesenian II Vocalista Sonora ke Eropa (1981)
• Inisiator Kongres Musik Gereja di Yogyakarta (1983)
• Pelatih kor anak Vocalista Divina (1983)
• Tour Kesenian III Vocalista ke Eropa (1984)
• Tour Kesenian IV dari Vocalista Sonora ke Eropa (1988)
• Tour Kesenian V dari Vocalista Sonora ke Eropa (1992)
• Penataran Dirigen Intensif di Yogyakarta (1996)
• Ikut Kongres Musik dan Liturgi di Bangkok, Thailand (2004)
• Ikut Kongres Musik dan Liturgi di Fortalezza, Brasil (2006)
• Ikut Kongres Musik dan Liturgi di Montserrat, Spanyol (2008)
• Study tour ke Australia (2009)
• Ikut Kongres Musik dan Liturgi di Nitra, Slowakia (2012)
• Perayaan 50 tahun Vocalista Sonora (2014)
• Studi tour ke Hungaria (2016)

Yusti H. Wuarmanuk/H. Bambang S

HIDUP NO.35 2019, 1 September 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles