HIDUPKATOLIK.com – Pertemuan Pastoral (Perpas) yang terlaksana di Keuskupan Atambua, 22-27 Juli 2019, berakhir dengan rekomendasi pastoral yang kontekstual. Deretan kata-kata indah dan kaya makna. Mengarah pada sasaran. Memberi pencerahan dalam kekelaman. Seruan para Uskup Regio Nusa Tenggara, tentang masalah Migran Perantau yang menjadi tema umum Perpas ini, terasa mendesak.
Jeritan hati migran perantau masih terdengar gaungnya hingga kini. Banyak orang mengadu nasib di Malaysia dan berbagai tempat. Seakan kehidupan yang dilakoni tak ada artinya. Ternyata masalah ekonomi bukan satu-satunya. Ada faktor lain yang turut memberi andil.
Dalam setahun, jenasah dipulangkan ke kampung halaman dalam jumlah yang tidak sedikit, juga tak terhitung yang akhirnya bersentuhan dengan masalah hukum. Banyak orang pergi tanpa kelengkapan dokumen. Ikut-ikutan tanpa motivasi yang jelas. Satu ritme hidup yang berujung kesia-siaan.
Kepedulian Gereja terhadap migran perantau bukan lagi semata opini. Kata-kata saja tak cukup menatap derita yang kian menganga lebar. Banyak kisah sungguh menyayat hati, tragis, dan penuh tangis pilu. Milka Boimau, TKI dari Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi, Kupang, NTT meninggal saat bekerja di Malaysia. Saat jenazahnya dipulangkan ke kampung halaman, didapati tubuhnya penuh jahitan. Otopsi dilakukan baru setelah keluarga Milka melaporkan ke Polda NTT.
Terlintas pula deretan kisah sedih lain yang terkubur dalam waktu. Belum terungkit di permukaan. Perhatian Gereja sebagai kepedulian hendaknya mulai dibangun. Tanggung jawab dan tindakan nyata bukan lagi untuk dibahas. Tidak cukup dalam kaca mata teoritis. Kini saat yang tepat untuk mengkonkritkan seruan kenabian demi tindakan penyelamatan.
Masalah migran perantau kini menjadi titik fokus untuk dibenahi. Bebrapa yang patut mendapat perhatian diantaranya, keinginan sepihak karena tuntutan ekonomi, situasi sosial, pola pikir yang tidak tepat tentang potensi tanah asal yang tidak memberi jaminan hidup layak, dan persoalan adat yang mengekang. Inilah cikal bakal migrasi.
Gereja dalam seruan pastoral menjadi titik mula pembenahan internal. Rekomendasi para Uskup Regio Nusra memberi oase untuk menemukan pola hidup berdimensi evangelis. Migrasi sudah ada di muka bumi sejak adanya manusia. Secara positif migrasi memberikan lapangan kerja, dana untuk kesejahteraan keluarga, pengembangan pengetahuan, teknologi, kesempatan untuk melihat daerah lain dan menjadi rasul awam di tempat perantauan.
Ada juga sisi negatif yang perlu dibenahi. Terungkap pula kisah pilu dari migrasi seperti kasus perdagangan manusia, rusaknya relasi perkawinan dan hidup berkeluarga, terbengkelainya pendidikan anak-anak, hilangnya tenaga kerja produktif di daerah asal, pengalaman traumatik akibat kekerasan, perasaan tidak nyaman akibat dikejar-kejar oleh pihak keamanan.
Solusi pastoral migran perantau dilihat Gereja sebagai langkah preventif sekaligus kuratif. Peningkatan pendidikan, menggalakkan keterampilan ekonomi, dan mendorong semangat ugahari. Peraturan Daerah (Perda) tentang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan migran dan perantau perlu dibuat. Pemerintah juga perlu mensosialisasikan dan mengawasi pelakasanaanya. Lapangan kerja perlu disediakan dan juga mempermudah izin usaha. Pemerintah dapat mengefektifkan balai latihan kerja (BLK). Sosialisasi terhadap penempatan dan perlindungan buruh, migran, dan perantau sampai ke tingkat akar rumput. Mempermudah dan memperlancar prosedur administrasi migran dan perantau. Menegakkan fungsi pemerintah sebagai pelayan publik yang bersinergi dengan masyarakat sipil, menyiapkan database kependudukan. (Bdk. Pernyataan Bersama Pertemuan Pastoral XI Regio Nusa Tenggara).
Gereja peduli migran perantau, inilah satu panggilan suci. Mendekatkan pelayanan kasih demi satu pembebasan. Menghantar banyak orang untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya.
Pastor Ino Nahak Berek
HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019