HIDUPKATOLIK.com – Dalam Seruan Apostolik Amoris Laetitia (AL), Paus Fransiskus menyapa para bapak yang “sering terpusat pada dirinya sendiri dan pada pekerjaannya dan kadang-kadang pada pencapaian pribadinya sendiri” (AL, no. 176). Menurutnya, bapak-bapak yang hidup seperti itu berada dalam ketersembunyian. Dengan demikian, anak-anak bisa merasa kehilangan mereka.
Buku Bapakku ini memotret perjuangan Pastor Setyodarmono SJ, magister Novisiat SJ Girisonta, dalam membangun relasi dengan bapaknya yang “tersembunyi”. Autobiografi sederhana ini terdiri dari enam bagian yang masing-masing memuat empat sampai enam cerita pendek. Dengan diksi yang renyah dan menggugah hati, penulis secara blak-blakan bercerita mengenai keluarga, rumah, dan pribadi sang bapak.
Sebagai anak, dia berharap sang bapak mau mendengarkan, menyapa dari hati ke hati, dan memasuki dunianya. Sebaliknya, harapan itu sulit menjadi kenyataan. Kerap kali dia marah dan kecewa dengan apa yang dilakukan sang bapak, dari waktu masih kecil sampai setelah menjadi imam.
Misal, saat penulis sedang studi di Belanda. Suatu hari, dia menelepon bapak untuk melepas rasa rindu. Begitu penulis mendengar suara bapak di ujung telepon, dia menangis tersedu-sedu. Sayang, tangisan kangen penulis malah ditanggapi sang bapak dengan kata-kata, “Sudah dulu ya teleponnya. Mahal loh biayanya.” (hlm. 125)
Oleh karena itu, Bapakku juga penting untuk dibaca anak-anak yang bergulat mengolah relasi dengan orang tua. Kisah-kisah yang ada menjadi contoh bagaimana seseorang mampu menarasikan sejarah hidupnya bersama orangtua dengan terbuka, terutama pengalaman terluka dan kecewa. Lebih penting lagi, bagaimana luka itu bisa direfleksikan sehingga tidak lagi menutupi kenyataan bahwa setiap orang tua mencintai anaknya secara khas.
Judul : Bapakku
Penulis : Agustinus Setyodarmono, SJ
Penerbit : Kanisius, 2019
Tebal : 152 halaman
F. Ray Popo SJ
HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019