HIDUPKATOLIK.com – Sejak remaja, ia terpanggil menyusuri jalan-Nya. Ia mendapat anugerah stigmata dan aneka karunia rohani lainnya. Jalan kekudusannya penuh derita dalam sukacita.
Tetiba, Marguerite mengalami sakit kepala hebat. Perutnya mual. Perempuan berusia 38 tahun itu muntah berkali-kali. Padahal hari-hari sebelumnya, ia nampak bugar. Tak ada tanda-tanda ia sakit.
Marguerite ingin menyembunyikan sakit itu. Ia tak mau minum obat apapun. Dalam diam dia menahan derita. Namun, meski ditutup rapat, keluarganya tahu jua. Mereka membawa Marguerite berobat ke dokter. Dia diagnosa menderita kanker usus. Tapi, upaya operasi berbuah nihil. Kondisinya kian memburuk.
Hanya doa sandaran Marguerite. Tangannya tak pernah bisa lepas dari bulir-bulir Rosario. Tepat 8 Desember 1854, tatkala Paus Pius IX memproklamirkan dogma suci “Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa”, tak disangka kondisi Marguerite berangsur pulih. Ia bisa duduk, lalu berdiri dan berjalan. Rasa sakit yang menderanya berhari-hari sontak raib seketika. Marguerite sembuh.
Anugerah Stigmata
Tak diketahui secara pasti, kapan Marguerite mendapat anugerah stigmata. Tapi semenjak ia disembuhkan secara “ajaib”, tiba-tiba muncul bercak-bercak merah di tangan, kaki, dan dadanya. Marguerite pun bingung dengan kondisi yang ia alami.
Bercak merah itu mula-mula kecil. Lambat laun, mulai timbul luka yang mengalirkan berdarah segar. Luka-luka itu mirip luka-luka Yesus tatkala menapaki jalan derita. Meski menderita kesakitan, hati Marguerite justru kian bergelora memuji nama Tuhan. Saban hari Jumat, terutama saat peringatan Jumat Agung, luka-luka itu menimbulkan kesakitan luar biasa. Namun, dengan penuh kerendahan hati, Marguerite menerima derita itu dengan penuh sukacita.
Awalnya, Marguerite ingin menyembunyikan anugerah stigmata itu. Setiap kali keluar rumah, ia membungkus tangannya dengan sarung tangan katun abu-abu. Ia ingin sendiri dalam derita dan sukacita itu. Namun, kondisi yang di luar nalar itu, sontak membuat orang-orang di sekitarnya bergunjing. Kabar itupun lekas menyebar luas.
Diuji Medis
Agar tak terjebak dalam kabar bohong, akhirnya seorang imam mengusulkan supaya luka-luka yang diderita Marguerite diperiksa secara medis. Dokter Alex Pegaitaz dipilih untuk memeriksa luka-luka Marguerite. Tanggal pemeriksaan bertepatan dengan Jumat Agung, 11 April 1873.
Sebelum pukul tiga sore, Dokter Pegaitaz sudah tiba di rumah Marguerite. Ia didampingi beberapa imam. Mendadak, Marguerite menjerit kesakitan. Luka-luka di tangan, dada, dan kakinya mulai memerah. Dokter Pegaitaz menunjukkan luka-luka itu. Setelah beberapa saat, jeritan sakit Marguerite mereda. Saat itu tepat pukul tiga sore.
Marguerite terbaring tak bergerak. Matanya terpejam. Bibirnya menyungging senyum tipis. Ia nampak seperti orang yang sudah tak bernyawa. Dokter Pegaitaz segera memeriksa kondisi Marguerite.
Sang dokter menusukkan alat tajam di jari-jari kakinya, namun Marguerite tak bereaksi. Dokter Pegaitaz membuka kelopak mata Marguerite; meletakkan lilin menyala tepat di bawah hidungnya. Semua sia-sia. Marguerite tetap diam. Lantas, Dokter Pegaitaz mengangkat lengannya dan jatuh dengan lemas. Pun sang dokter mendudukkannya di tempat tidur, ia kembali jatuh berbaring. Marguerite benar-benar seperti orang yang sudah meninggal.
Setengah jam berlalu. Perlahan Marguerite bangun. “Aku baik-baik saja. Aku sangat baik,” ucapnya dengan wajah berbinar dipenuhi sukacita.
Dengan raut muka penuh keheranan, Dokter Pegaitaz berkata, “Ini sungguh membingungkan. Saya sungguh heran. Ini sungguh di luar jangkauan ilmu medis. Saya tak bisa menjelaskan secara medis!”
Hidup Doa
Nama lengkap perempuan itu Marguerite Bays. Ia lahir saat Gereja merayakan Pesta Kelahiran St Perawan Maria, 8 September 1815, di La Pierraz, sebuah dusun di Chavannes-les-Forts, Fribourg; bagian negara Swiss yang berbahasa Perancis.
Marguerite, anak kedua dari Pierre-Antoine Bays dan Josephine Morel Bays. Ayahnya seorang tukang sepatu dan memiliki lahan pertanian. Marguerite memiliki lima saudara; Jean, Mariette, Joseph, Blaise, dan Seraphine. Ia dibaptis kala berusia delapan tahun. Tiga tahun kemudian, ia menerima hosti suci untuk pertama kali.
Ia bersekolah di Chavannes-les-Forts. Menginjak usia remaja, Marguerite belajar menjahit. Dari keterampilan itu, ia menjadi penjahit yang menawarkan jasa dari rumah ke rumah.
Marguerite menghabiskan seluruh hidupnya di dusun kecil La Pierraz. Sebenarnya, tak ada yang luar biasa yang bisa diceritakan dari sosok Marguerite. Tapi, ia memiliki kebiasaan berdoa secara pribadi. Di kamar, ia meletakkan patung Bunda Maria di meja, ditemani beberapa tandan bunga mawar dan aster.
Ketika pagi menjelang, ia sudah bertekun dalam doa di hadapan patung Bunda Maria. Setelah itu, ia akan membantu memerah susu sapi dan kerja tangan di kebun. Lantas, ia bergegas ke gereja yang hanya berjarak 20 menit dari rumahnya. Semua itu ia jalani setiap hari.
Hati, pikiran, dan tindakan Marguerite senantiasa terpanggil untuk dekat dengan Tuhan. Ia juga selalu menghindari pertengkaran, gosip, dan fitnah. Ketika ia menjumpai pertengkaran, ia segera mendoakan orang-orang itu agar bertobat.
Ia juga terbiasa mengajak rekan-rekan turut serta berdoa. Bahkan, bersama teman-temannya, ia pernah berjalan sejauh 125 mil atau sekira 200 kilometer, dari La Pierraz menuju Notre-Dame des Ermites, tempat ziarah di Einsiedeln. Ia berjalan sembari mendaraskan Rosario selama kurang lebih tiga hari.
Tak hanya bertekun dalam kesalehan rohani, Marguerite juga menebarkan kesalehan sosial. Ia kerap melayani para petani miskin. Ia memberi susu dan roti, serta mencucikan pakaian mereka. Karena pelayanannya ini, ia akrab dengan Ordo Fransiskan Sekuler.
Jalan Kudus
Prapaskah 1879. Usia Marguerite sudah berkepala enam. Kepala, tenggorokan, dan dadanya kerap merasa sakit. Setiap dua hari, ia hanya menyantap panade atau sup roti dengan campuran susu ditemani secangkir teh. Tubuhnya kurus kering. Meski dalam sakit, ia tetap merayakan Ekaristi. Pun hidup doanya tak surut.
Jumat, 27 Juni 1879, Hari Raya Hati Kudus Yesus. Menjelang pukul tiga sore, Marguerite mencium salib dan tangannya menggenggam gambar Bunda Maria. “Aku rela menghembuskan napas terakhirku ke dalam luka Hati Kudus-Mu.” Ia pun wafat.
Teladan kesalehan Marguerite segera menyebar ke seluruh, bahkan ke luar Swiss. Banyak peziarah mulai berdatangan ke tempat-tempat di mana ia pernah berkarya.
Setelah satu abad lebih setelah kematiannya, 29 Oktober 1995, Paus Yohanes Paulus II membeatifikasi Marguerite. Dan pada 15 Januari 2019, Paus Fransiskus menyetujui proses kanonisasi Marguerite. Proses itu dipicu oleh mukjizat yang dialami seorang gadis yang mengalami kecelakaan maut pada 1998. Luka-luka yang dialami gadis tersebut tiba-tiba sembuh berkat doa melalui perantaraan Marguerite. Setelah melewati aneka penyelidikan medis, kesembuhan itu dinyatakan Gereja sebagai sebuah mukjizat.
Rencana, Paus Fransiskus akan memimpin upacara kanonisasi Marguerite di Basilika St Petrus Vatikan, Minggu, 13 Oktober 2019. Gereja mendedikasi tanggal kematiannya, 27 Juni, untuk memperingatiteladan kesalehan sang gadis dari La Pierraz.
Y.Prayogo
HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019