HIDUPKATOLIK.com – Cosmas sudah kembali kepada Yang Maha Kuasa. Yang ditersisa hanyalah keutamaannya untuk kita teladani.
Darah Batak mengalir deras di urat nadi Cosmas Batubara. Ia lahir di Purbasaribu, Simalungun, Sumatera Utara, 19 September 1938. Lekat di benak Wiranto Hadiwidjana, keponakan R.A. Cypriana Pudyati Hadiwidjana –istri Cosmas–, kejadian tahun 1966. Cosmas meminang tantenya. “Dari dulu, soal bertutur kata, beliau tidak kalah santun dari priayi Yogya,” puji Wiranto.
Menurut Wiranto, om-nya itu tak pernah marah walau tak setuju. Hal ini juga dirasakan oleh Dody Haryoko, pihak keluarga Pudy dari Tangerang, “Beberapa kali menemani Pak Cosmas rapat dengan beberapa tokoh. Saya perhatikan, beliau tidak reaktif. Lebih tenang. Sehingga beliau bisa memberikan solusi yang damai,” kata Dody.
Emosi Cosmas tak pernah meledak-ledak. Gaya bicaranya kalem meski berbeda pandangan dengan lawan bicaranya. Ini diakui oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Jend. TNI (Purn.) A. M. Hendropriyono, saat ditemui di rumah Cosmas, Jumat, 9/8. “Berbicaranya tetap santun, walaupun orang Batak,” ungkapnya.
Ciri Khas
Tak pernah naik pitam menjadi ciri khas Cosmas. Teladan anggota pembina Yayasan PPM Manajemen Jakarta itu amat melekat dalam ingatan orang-orang dekat, seperti Sekretaris Sidang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Osbin Samosir.
Osbin mengenal Cosmas tahun 2000 di Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara (IKKSU) se-Jabodetabek. Menurut Osbin, ada beberapa hal yang melatarbelakangi salah satu pendiri IKKSU itu tak pernah marah. Pertama, ayah Cosmas meninggal saat ia berumur delapan tahun.
Ia tumbuh dalam pengawasan sang ibu. Saat itu ibunda Cosmas menjual gorengan untuk menyambung hidup keluarga. “Bisa jadi karena didikkan dari ibunya. Dan di antara suku Batak, suku yang paling halus adalah Simalungun. Pak Cosmas lahir dan tumbuh di Kabupaten Simalungun. Jadi memungkinkan kesantunan tersebut mendominasi Pak Cosmas,” jelasnya.
Selama berelasi dengan Cosmas, Osbin juga tak pernah mendapatkan perlakuan kasar. “Kalau dulu saya buat kesalahan, tidak ada kata kasar. Beliau menggunakan nada rendah dan lebih sering memberi nasihat. ‘Osbin tidak begitu, seharusnya kau seperti ini’,” tutur Osbin meniru cara berbicara Rektor Universitas Podomoro itu.
Bagi Osbin, pengendalian diri Cosmas bisa menjadi pedoman model kepemimpinan saat ini. “Leadership itu tidak harus dengan marah-marah. Tapi, leadership itu menghargai orang. Mengayomi dengan tutur kata yang sopan dan santun.”
Mengenai pola kepemimpinan Cosmas, mantan Ketua DPR Akbar Tanjung, meyakini hal serupa. “Waktu memimpin aksi mahasiswa tahun 66, beliau menghadapi situasi yang berat. Dari situ, nampak betul kewibaan dan pembawaannya yang tenang,” ujar Akbar.
Keutamaan seperti itu, lanjut Akbar, yang membuat aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ini diterima dan dihormati oleh beragam organisasi mahasiswa lain, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Sang Inspirator
Sejak hari pertama, karangan bunga terus berdatangan dan menghias sekitar rumah duka. Para tamu pun membludak. Kepergian Cosmas meninggalkan duka bagi keluarga, saudara, kawan, dan kenalan.
Ketua Vox Point Indonesia, Yohanes Handoyo Budhisedjati, mengungkapkan, berpulang Cosmas telah membuatnya kehilangan salah satu inspirator. “Beliau selalu menyemangati kami yang aktif di organisasi. ‘Kalau ada masalah, pasti ada jalan keluarnya’,” tutur Handoyo, meniru pesan Cosmas kepadanya.
Di mata Pembimas Katolik Kementrian Agama Provinsi DKI Jakarata, Salman Habeahan, Cosmas merupakan seorang pemimpin yang mengispirasi. Hal ini disambung oleh Pastor F.X. Mudji Sutrisno SJ. Bagi Pastor Mudji, Cosmas bukan hanya seorang figur untuk awal Orde Baru, melainkan memberi inspirasi bagi generasi muda. “Politik harus dijalani dengan refleksi intelektual. Dan inilah moralitas politik yang harus dijaga untuk Indonesia yang majemuk, menghargai kemanusiaan, dan toleransi. Seperti apa yang dicita-citakan Mgr Soegijapranata: 100% Katolik, 100% Indonesia.”
Kepergian Cosmas, bagi mantan Dirjen Bimas Katolik, Eusabius Binsasi, justru menandai awal pertanyaan, bagaimana melanjutkan perjuangan Cosmas? Bagaimana generasi muda harus bekerja keras untuk menjadi warga gereja yang sungguh mencintai gerejanya dan masyarakat Indonesia yang mencintai bangsanya?
Di tengah hiruk pikuk para tamu datang silih berganti, putri Presiden Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek, melayat ke rumah mantan rekan kerja sang ayah. Ia menyalami Pudy dan berdoa sejenak di samping jenazah Cosmas. Bola matanya basah. “Saya jadi ingat dulu, Bapak (Soeharto) dibantu oleh Pak Cosmas di pemerintahan. Pak Cosmas tak pernah berkhianat. Beliau jujur. Bukan hanya saya, tapi bangsa Indonesia juga merasa kehilangan beliau,” katanya, lirih.
Kejujuran Cosmas juga diacungi jempol oleh mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden RI, Emil Salim. “Saya tidak pernah mengenal dia sebagai koruptor. Dia bersih. Dan dia pejuang hingga berhenti dari pemerintahan tetap melakukan tugas-tugasnya dalam keadaan yang berintergritas. Patut jadi contoh.”
Prosesi pemakaman Cosmas berlangsung tiga hari. Sebelum dipeti ditutup Ketua Presidium PP PMKRI, Juventus Prima Yoris Kago dan anggotanya menurunkan baret merah-bol kuning begitu sampai dihadapan jenasah Cosmas. “Kami merasa kehilangan sekali. Seperti banyak orang tahu, beliau adalah sosok yang luar biasa bagi PMKRI sendiri,” ujarnya.
Bagi Juventus dedikasi seniornya itu sangat membekas untuk kondisi PMKRI saat ini.
“Sampai akhir hanyatnya, beliau tetap konsen terhadap kaderiasai anak muda. Itu hal yang luar biasa,” tutup Juventus.
Prosesi pemakaman Cosmas berlangsung selama tiga hari. Setelah disemayamkan di rumah duka, jenazah Cosmas dibawa ke Kementrian Ketenagakerjaan, Jakarta Selatan, Sabtu, 10/8. Cosmas lalu dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Prosesi pemakaman berlangsung secara militer. Bertindak sebagai inspektur upacara adalah Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita.
Nasihat Sederhana
Saat Cosmas masih di rumah duka, Enggar pun melayat. Ia ingat pesan Cosmas ketika didapuk sebagai menteri. “Beliau pernah bilang, ‘Enggar, saat kamu menjadi menteri, orang segan untuk bersalaman (denganmu). Kamu yang harus memulai memberi tangan untuk salaman’,” ujarnya.
Sebelum liang kubur Cosmas ditimbun tanah, keluarga menabur bunga dan mengucap salam perpisahan. Dari antara mereka, sang istri mendekat ke pusara sang suami. “Selamat jalan, ya,” pesan Pudy kepada sang suami yang telah lebih dari 50 tahun bersamanya.
Karina Chrisyantia
Laporan : Yola Salvia
HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019