HIDUPKATOLIK.com – Dalam surat pastoral yang baru dirilis oleh Kardinal Charles Bo, ia merefleksikan kasih Tuhan untuk masyarakat dan bangsa-bangsa Asia. Kondisi kemisikinan Myanmar menjadi sorotan utama.
Seorang petani perempuan berusia 32 tahun tengah menyiangi tanaman kacang tanah miliknya. Ia telah menjalankan pertanian keluarganya selama lima tahun terakhir di zona kering Myanmar dengan menggunakan sistem tanaman tunggal tradisional. Zona Kering adalah salah satu daerah miskin sumber daya alam dengan iklim paling sensitif di Myanmar. Keadaan alam yang demikian membuat wilayah ini mengalami kelangkaan air dan degradasi tanah akibat erosi parah. Belum lagi, zona ini menampung sebesar 18 juta populasi yang merupakan 34% dari total populasi Myanmar. Hal ini menjadikannya sebagai wilayah terpadat ketiga di negara tersebut.
Kondisi demikian membuat ibu ini kebingungan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup keluarganya. Ia harus bersaing dengan petani kecil kacang lainnya untuk menjual hasil pertaniannya. Kisah Daw Win May yang mendapat sorotan lembaga Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) ini hanyalah salah satu kisah miris dari Myanmar yang terjerat kelaparan dan kemisikinan.
Wajah kelaparan, kehausan, kesakitan, bahkan ketelanjangan memang menjadi pemandangan umum yang terjadi Myanmar sampai hari ini. Tak hanya itu saja, kekerasan, teror, dan intoleransi di Myanmar pun tak hilang dari pembicaraan dunia. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) terus meningkat dan menyayat hati manusia. Gereja Katolik tak tinggal diam melihat krisis kemanusiaan yang terjadi di sana. Uskup Agung Yangon, Myanmar, Kardinal Charles Bo, menulis sebuah surat yang berisikan permohonan bantuan kepada seluruh masyarakat Myanmar agar dapat bekerja bersama untuk mengakhiri pelanggaran HAM dalam bentuk apapun, mengakhiri kekerasan dan terror seperti dilansir vaticannews.va, 17/8. Ketua Federasi Konferensi Waligereja Asia ini juga memohon semua masyarakat di Myanmar agar semua pria, wanita, maupun anak-anak dari setiap ras dan agama yang lahir di Myanmar harus diakui sebagai warga negara Myanmar, dan dianggap sebagai saudara dalam kemanusiaan.
Kardinal Charles Bo mengatakan bahwa dalam hati dan jiwa setiap orang di Myanmar, baik dari semua ras dan agama yang ada di sana, mereka semua merindukan adanya perdamaian yang nyata. Ia juga menekankan bahwa peranan militer sangat penting dalam melindungi hak hidup di Myanmar. Kardinal Charles Bo mengingatkan bahwa semua manusia diciptakan menurut gambaran Allah, maka semua manusia dengan ras dan agama apapun berhak dilindungi oleh militer negara. Tak hanya perlindungan, setiap orang juga seharusnya memiliki akses bantuan kemanusiaan, termaksud dalam hal makanan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan.
Melihat peningkatan yang terjadi terhadap rasa intoleransi manusia, Kardinal Charles Bo berharap agar masyarakat Myanmar, atau bahkan seluruh dunia, dapat menghargai hak dan kebebasan seseorang untuk memeluk suatu agama dan keyakinannya. Kardinal Charles Bo juga meminta para pembela martabat manusia untuk bisa mempromosikan HAM bagi semua orang.
Kardinal Charles Bo mengatakan, “surat ini dibentuk oleh cinta, dipenuhi hasrat akan keadilan dan diilhami oleh belas kasihan. Myanmar sangat membutuhkan ketiganya – cinta, keadilan, dan belas kasihan.” Ia juga mengatakan bahwa Gereja Katolik Myanmar siap menjadi tempat untuk semua orang, serta siap menjadi pusat rekonsiliasi untuk membela Hak Asasi Manusia di dimanapun, baik dari segala agama, dan segala etnis, tanpa terkecuali. Gereja Katolik juga akan merobohkan penghalang dan menghancurkan segala kebencian dengan cinta.
Yola Salvia
HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019