HIDUPKATOLIK.com – Kentalnya nuansa kemajemukan yang diselubungi kekhasan Budaya Betawi membuat paroki ini dijuluki sebagai ‘pohon keluarga’ atau sering disebut ‘segitiga emas’.
Sejumlah pria memakai pakaian koko (sadariah) dan celana komprang ukuran tanggung dipadu dengan sarung yang digulung dan dikaitkan pada pinggang. Sabuk warna hijau serta peci bewarna merah turut menjadi pelengkap aksesoris. Para pria berbusana adat Betawi itu sedang mengusung relikui Santo Servatius. Santo ini adalah seorang misionaris Katolik dari Asia yang turut serta dalam kegiatan misi Katolik di Eropa Barat dan dipilih menjadi pelindung Paroki Kampung Sawah, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).
Relikui sang santo diarak sepanjang empat kilometer dengan hening mulai dari gereja dan kembali ke gereja. Kegiatan tahunan ini dilaksanakan setiap tanggal 30 September. Diketahui, tradisi ini telah ada sejak tahun 1996.
Kebudayaan suku Betawi yang telah didaulat menjadi ikon budaya Jakarta telah mewarnai kegiatan pastoral paroki ini. Baju adat betawi tidak hanya dikenakan pada saat perarakan relikui, melainkan juga dikenakan saat penerimaan komuni pertama. Hal ini menjadi pemandangan unik tersendiri apabila biasanya busana putih ala Barat banyak menghiasi perayaan komuni pertama, tetapi tidak di sini.
Menguatnya budaya Betawi masuk dalam liturgi Katolik tidak lepas dari peran Pastor Rudolphus Kurris SJ. Pastor asal Belanda ini menyadari pewartaan kabar gembira akan sukses bila dilakukan dengan memasukkan unsur budaya. Terbukti hal ini banyak mendatangkan perdamaian. Sebagai contoh, jika ada persoalan berskala besar, umat paroki ini melakukan dan terus menghidupkan “ngeriung bareng”- semacam tradisi untuk berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat agama, suku, bahasa, lalu bersama-sama mencari solusi tentang persoalan yang sedang dihadapi di wilayah itu.
Pastor Paroki St Servatius Kampung Sawah, Yohanes Wartaya Winangun SJ menambahkan penggunaan bahasa Betawi dalam Misa juga menjadi salah satu kekhasan. Tak jarang, pelayan liturgi juga ikut menggunakan pakaian adat. “Jadi hal ini sebagai bukti bahwa Gereja Katolik tidak hanya dalam teori tapi wujud nyata dalam praktik,” katanya.
Imam yang akrab disapa Pastor Wartaya ini menjelaskan sedikitnya ada tiga hal yang menjadi perhatian paroki yang dipimpinnya. Pertama, terus mengembangkan budaya Betawi sehingga iman kepada Yesus semakin mendalam. Pemahaman budaya ini akan membantu umat mengalami kasih Allah dalam kehidupan. Kedua, mengenai kebhinekaan. Umat paroki Kampung Sawah sarat kemajemukan, tidak hanya terbatas pada etnis Betawi, namun etnis Jawa, Flores, Batak, Tionghoa dan lainnya. Ketiga, memelihara keru kunan umat beragama.
Dengan kondisi yang sarat keberagaman itu, Pastor Wartaya menyebutkan paroki ini dikenal dengan ‘pohon keluarga’ atau sering disebut ‘segitiga emas’ yang terdiri dari Gereja Katolik-Gereja Pasundan dan Masjid Agung Al-Jauhari/YASFI. Setiap kali ada kegiatan yang dipusatkan di paroki, unsur non Katolik selalu diundang dan bekerja sama. Maklum, jarak antara gereja dengan masjid juga Gereja Pasun dan hanya berjarak 300 meter.
Maka dengan situasi demikian, Pastor Wartaya menerjemahkan fokus pelayanan pastoralnya dalam tiga hal utama. Pertama, pengembangan rohani dalam nuansa Betawi untuk menyumbang pendalaman iman , harapan dan kasih. Kedua, penguatan sumber daya manusia (SDM) meliputi pembekalan para calon dewan pastoral paroki, ketua lingkungan, prodiakon dan seluruh umat Allah. Ketiga, menyukseskan Tahun Berhikmat yang diserukan KAJ. Sesuai dengan anjuran KAJ itulah, paroki ini merancang seluruh kegiatan tingkat paroki untuk mengaktualisasikan tema yang merupakan penjabaran sila keempat Pancasila. Inilah dinamika umat paroki Kampung Sawah makin Katolik dalam nuansa budaya Betawi.
Konradus R Mangu
HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019