HIDUPKATOLIK.com – Problematika kebangsaan di era post-truth politics menemukan tantangannya yang pelik. Mulai dari oligarki politik, hegemoni ekonomi, kemiskinan, bercampur aduk dengan persoalan intoleransi dan radikalisme. Menyambut 74 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), buku ini adalah persembahan kolaborasi intelektual Indonesia dengan generasi milenial. Mereka berbagi kegelisahan sekaligus harapan.
Menjamin keberlangsungan NKRI dengan menjaga konstitusi dan merawat demokrasi memerlukan kerja bersama semua pihak. Terutama pada era sekarang, perjuangan kita menjaga negara dan merawat bangsa menghadapi tantangan yang tidak ringan, terlebih di zaman yang diwarnai “politik pasca-kebenaran”, di mana sinisme dan nyinyir publik telah menjadikan politik semakin jauh dari tujuan kebaikan bersama.
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan narasi besar yang membingkai berbagai keberagaman bangsa ini. Melalui Pancasila, rajutan dari bermacam agama, keyakinan, ras, suku, etnis dan golongan dapat terjalin dengan baik hingga saat ini. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana masa depan Indonesia, bila para pendiri bangsa ini dulu tidak mendapati kesepakatan mengenai ideologi negara melalui Pancasila.
Secara sederhana, Pancasila adalah tekad bangsa Indonesia untuk saling menerima dan bersama-sama membangun negara yang dimiliki bersama, yaitu Indonesia. Tantangan dasar bagi bangsa Indonesia terletak dalam kebhinekaan,bagaimana ratusan budaya, etnik, suku dan sekian penganut agama-agama yang berbeda bisa membentuk satu bangsa, bukan hanya dalam arti bersatu karena dalam batas-batas satu negara, melainkan karena dalam hati mereka merasa sebagai bangsa Indonesia.
Satya Arinanto menegaskan Pancasila merupakan “petunjuk arah semua aktivitas hidup dan kehidupan dalam segala bidang”. Hal itu memiliki makna “semua sikap dan tindak-tanduk setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila,” nampak seakan persoalan kebangsaan dapat diselesaikan semuanya dengan Pancasila. Hampir seluruh penulis dalam buku ini menyuarakan kegelisahan terhadap realitas yang muncul dalam kehidupan ruang sosial.
Peran masyarakat sipil terutama kaum muda dalam menggulati persoalan radikalisme yang mewujud baik melalui organisasi kemasyarakatan diulas secara tajam oleh Bahtiar, Arteria Dahlan dan Kristian Erdianto. Sedangkan radikalisme di arena perguruan tinggi dikupas secara provokatif oleh Sulistyowati Irianto, dan dalam media sosial yang dinilai berkontribusi pada terbentuknya keterbelahan bangsa sebagaimana didiskusikan Fathudin Kalimas, Nafik Muthohirin dan Margareta Astaman. Siprianus Edi Hardum dalam tulisannya mengingatkan salah satu hal yang menjadi unsur yang kerapkali diabaikan dalam pembahasan radikalisme adalah fakta sosial mengenai kesenjangan sosial, kemiskinan dan pengangguran.
Tulisan buku ini merefleksikan kegelisahan tentang masa depan Indonesia, meski penulis tetap mengumandangkan optimisme dan harapan akan Pancasila yang relevan sebagai jalan keluar dalam merajut persaudaraan dan harmoni di negeri ini. Agnes Sri Poebarsari menguraikan secara subtil tentang nasionalisme Soekarno, bertolak dari pengalaman keberagaman menuju persatuan nasional. Sedangkan Hendrawan Supratikno sharing pengalaman keberagaman sejak di dalam keluarga dan menimba ilmu pengetahuan di kampus. Pengalaman yang sarat makna untuk berkontribusi menjadi lebih Indonesia.
Ancaman sentimen sektarianisme yang mewarnai politik massa dewasa ini digambarkan sebagai situasi yang mencemaskan dalam bahasan J. Kristiadi, Ari Nurcahyo dan Wibi Andrino, yang dalam perkembangannya menjadi penguat dari bangkitnya populisme dan menyeruaknya praktik hoaks dalam era post-truth. Salah satu yang menjadi penyebab mengapa Pancasila seakan kehilangan relevansinya adalah konteks kesejarahan bangsa yang sempat menempatkan Pancasila sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dan cenderung menjadi ideologi tertutup. Bagaimana masa depan Pancasila? Buku ini mencoba menjawab pertanyaan ini.
Judul : Ancaman Radikalisme dalam Negara Pancasila
Editor : Benny Sabdo
Penerbit : PT Kanisius
Tahun : 2019
Tebal : 244 halaman
Benny Sabdo
HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019