HIDUPKATOLIK.com – Kian kita sadari bersama, bumi sebagai rumah bersama, ditimpa krisis yang tak kunjung habis. Krisis itu disebut krisis ekologi, yakni kehancuran semesta yang mengancam masa depan kehidupan manusia, ciptaan dan lingkungan hidup. Krisis ekologi itu telah menimbulkan kerugian yang signifikan bagi masa depan kehidupan umat manusia berserta bumi sebagai rumah bersama segala makhluk. Menurut Paus Fransiskus, krisis ekologi terjadi karena kejahatan manusia. Kejahatan itu diperhitungkan sebagai dosa! Karenanya, harus ada pertobatan, namanya pertobatan ekologis (Fransiskus, 2015).
Dalam pengamatan saya, satu penyebab dan akar permasalahan utama krisis ekologi adalah sikap tuna adab (untuk tidak mengatakan “tidak beradab”) ekologis. Sikap tuna adab itu ditandai oleh sikap serakah, tak peduli dan sewenang-wenang terhadap bumi sebagai rumah bersama. Atas nama keserakahan industri, manusia telah mengeksploitasi bumi tanpa kendali demi kemakmuran segelintir orang.
Disadari atau tidak, sikap tuna adab ekologis itu membuat manusia terlilit oleh spiral penghancuran diri sendiri sebagai manusia serta penghancuran alam semesta dan sesama. Pada gilirannya, krisis ekologi itu menjadi masalah pula dari sisi keadilan sosial.
Berhadapan dengan sikap tuna adab ekologis itu, kita ditantang untuk mengembangkan peradaban ekologis, demi merawat dan menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup di bumi, rumah kita bersama. Peradaban ekologis dimulai dengan pertobatan ekologis. Pertobatan ekologis harus berbuah dalam praksis peradaban kasih ekologis yang membahagiakan umat manusia, terutama mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMD).
Di tengah arus krisis ekologis yang tragis, praksis peradaban kasih ekologis ekumenis-interreligius menjadi rahmat bagi masyarakat, bagi manusia dan semesta alam. Apa pun agama dan kepercayaannya, manusia secara aktif-partisipatif harus menanggapi krisis ekologi melalui praksis strategis secara terus-menerus dan berkelanjutan demi hadirnya langit dan bumi baru sebagai rumah bersama yang harmonis, damai dan sejahtera.
Dalam konteks itulah, sekarang ini dan untuk masa depan keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup, perlulah digagas pentingnya paradigma tentang praksis peradaban kasih ekologis ekumenis-interreligius dalam perspektif ekoteologi tanpa memandang denominasi agama dan kepercayaan seseorang. Meski pada awalnya, perspektif ini muncul di kalangan para ekoteolog Kristiani namun gagasan itu mulai dikembangkan oleh berbagai agama secara inklusif.
Secara sederhana, perspektif ekoteologi hendak melihat, menggerakkan dan menghadirkan sikap beradab terhadap semesta demi keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup dengan cara-cara yang ramah, simpatik dan konstruktif. Moga-moga dengan demikian, upaya itu memberikan kesadaran baru kepada para pihak yang selama ini dikuasai sikap tuna adab ekologiss dan berubah untuk dengan legawa mewujudkan peradaban kasih ekologis bagi masa depan kelestarian bumi sebagai rumah kita bersama.
Dalam pola gagasan seperti ini, semoga di era pemerintahan baru nanti, Jokowi-Ma’ruf berani memberi ruang pula bagi terwujudnya peradaban kasih ekologis ekumenis-interreligius bagi masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agama dan kepercayaannya. Jangan rusak Bumi hanya demi pembangunan infrastruktur yang mengabaikan KLMTD.
Pastor Aloys Budi Purnomo
HIDUP NO.33 2019, 18 Agustus 2019