HIDUPKATOLIK.com – Tugas KKI/KKM setiap keuskupan adalah merangkul mereka yang tersingkir dan miskin baik melalui gerakan karitatif maupun pemberdayaan.
Suara gempuran senjata api memekakkan telinga Eropa bahkan dunia. Di awal abad ke-20 Perang Dunia I (PD I) menjadi perhelatan kemampuan militer negara-negara Eropa. Salah satu senjata yang berkembang adalah senapan laras panjang Maxim yang mampu menghilangkan nyawa 21.000 pasukan Inggris hanya dalam satu hari pada pertempuran Somme.
Dampak memilukan PD I telah memakan korban sebanyak 15 juta tentara dan warga sipil. Gereja Katolik tidak tinggal diam. Belum lagi menjamurnya kolonialisme di berbagai negara Asia dan Afrika semakin menambah kepedulian Gereja.
Sebelum masa itu, abad ke-19 juga menjadi abad luar biasa bagi gerakan misionaris di Eropa. Berbagai organisasi didirikan untuk mendorong umat Katolik Eropa agar antusias dan mendukung misionaris spiritual dan finansial di luar negeri.
Mendukung Misi
Guna mendukung karya misionaris, dibentuklah Karya Misi Kepausan atau juga disebut Serikat Misi Kepausan. Karya Kepausan adalah sebuah lembaga yang membantu tugas Paus yang secara struktural berada di bawah Kongregasi Suci untuk Penginjilan (Evangelisasi) Bangsa-bangsa. Prefek Kongregasi Suci untuk Penginjilan Bangsa-bangsa saat ini adalah Kardinal Fernando Filoni; sedangkan Presiden untuk Karya Kepausan saat ini adalah Mgr Protase Rugambwa.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Presiden Karya Kepausan dibantu oleh empat Sekretaris Jenderal yang membawahi empat Serikat Kepausan yang ada di bawah tanggungjawabnya masing-masing, yakni: Serikat Kepausan untuk Pengembangan
Iman, Serikat Kepausan St Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan, Serikat Kepausan Anak/Remaja Misioner, dan Serikat Kepausan Persekutuan Misioner untuk Imam, Religius dan Awam.
Secara umum tujuan keempat serikat ini untuk membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab misioner dalam hati setiap umat Katolik yang telah dibaptis. Sehingga, harapannya seluruh umat Allah memiliki kepekaan dan tanggungjawab terhadap tugas karya perutusan Gereja secara universal.
Di setiap negara atau gabungan beberapa negara, terdapat Biro Nasional Karya Kepausan yang menjalankan fungsinya untuk pengembangan karya misi Gereja universal. Setiap Biro Nasional Karya Kepausan dipimpin oleh seorang Direktur Nasional.
Di Indonesia
Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia (KKI), Pastor Markus Nur Widipranoto mengisahkan berdasarkan beberapa catatan, Karya Kepausan yang sudah berusia seabad itu hadir di Indonesia setelah PD I. Pada saat itu, Indonesia masih dibawah kekuasaan pemerintah Belanda, maka secara otomatis Biro Nasional Karya Kepausaan berada dibawah Belanda.
Kondisi geografis nusantara yang terkenal luas dan didominasi oleh lautan membuat Karya Kepausan di Indonesia tidak berjalan mulus bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Selain itu, Gereja Indonesia terbilang muda dengan populasi umat hanya sebesar 3%. Hal ini membuat semangat untuk peduli terhadap Gereja di luar Indonesia masih minim karena masih membenahi diri. Belum lagi secara otoritas, Karya Kepausan di Indonesia belum mendapat dukungan resmi dari Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) kini Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Menghadapi pertanyaan mengenai kejelasan kedudukan MAWI dan Karya Kepausan Indonesia, maka pada tanggal 22 November hingga 4 Desember 1971 dalam sidang para uskup diputuskan KKI bukan bagian dari Sekretariat Jenderal KWI dengan pertimbangan karena otonomi Karya Kepausan besar dan keuangannya tidak masuk dalam keuangan KWI.
Sumber keuangan Karya Kepausan ialah sumbangan umat untuk karya yang mana penggunaannya ditentukan oleh Pusat karya Kepausan Internasional, namun alur kerjanya disesuaikan dengan jalan kerja di setiap negara. Hal ini sesuai dengan Statuta Karya Kepausan Bab I No 6 yang berbunyi, “Karya Kepausan ada di dalam keuskupan (episkopal) tetapi ia adalah milik Gereja universal.”
Namun kesepakatan ini perlahan berubah ketika ad experimentum Komisi Karya Misioner (KKM) KWI terbentuk pada tahun 1978 yang setahun kemudian diresmikan sebagai komisi tetap KWI. Tujuan pembentukannya ialah mempelajari masalah pemerataan tenaga rohaniwan dam Gereja Indonesia. Hal ini kemudian diperluas dengan memberikan motivasi dan penjiwaan misioner dalam kerjasama dengan Karya Kepausan Indonesia. Demi memberikan kejelasan fungsi antara KKM dan KKI maka berdasarkan keputusan sidang No 6 Tahun 1986 menugaskan KKM KWI dan KKI untuk merumuskan hubungan dan pembagian tugas antar keduanya.
Kemudian KKM KWI dan KKI sepakat melihat semangat misioner umat Katolik ternyata hidup berkembang dalam keuskupan-keuskupan di Indonesia dan perlu dipupuk, didukung, dan ditingkatkan. Keduanya juga menerima penjabaran tugas direktur diosesan (Dirdios) KKI sesuai dengan Statuta Karya Kepausan dan Tata Kerja KKM KWI. Selain itu, Biro Nasional KKI dan KKM KWI dapat membantu para Dirdios KKI dengan pengadaan sarana penunjang animasi misioner melalui teks liturgi untuk paroki atau stasi, bahan refleksi melalui brosur dan majalah misi.
“Maka bisa dikatakan KKI tidak serta-merta termasuk di dalam KWI tetapi sebagai semacam mitra kerja karena menjadi lembaga internasional perwakilan Kongregasi penginjilan bangsa-bangsa di Indonesia dalam kaitan dengan karya misi dan untuk mempererat kerjasama itu, maka Direktur Nasional KKI menjadi ex officio Sekretaris Eksekutif KKM KWI,” ujar Pastor yang akrab disapa Pastor Nur Widi ini.
Merawat Amanat Agung
Pastor Diosesan asal Keuskupan Agung Semarang (KAS) ini mengingatkan, makna panggilan bermisi ad intra dan ad extra. Misi ad intra dan ad extra tidak serta merta merujuk pada geografis tetapi pada status iman. Ia melanjutkan, misi ad extra adalah pewartaan injil yang ditujukkan kepada mereka yang belum mengenal Yesus Kristus. Sementara misi ad intra adalah perwataan Injil yang ditujukkan kepada mereka yang sudah mengimani Kristus. Keduanya harus dilakukan secara seimbang.
Sekretaris KKM KWI ini mengakui, gerakan misi ad extra agak melemah dewasa ini. Hal ini disebabkan karena kondisi semua orang sudah memiliki agama, setiap individu di jamin kebebasan beragama, dan karena hidup ditengah masyarakat majemuk maka tumbuh penghormatan untuk tidak saling memaksakan keyakinan. Walaupun demikian, misi ad extra itu terus ada sebab amanat tersebut tidak dapat terkurangi walaupun geraknya berkurang.
Dengan diadakannya Kongres Misi Luar Biasa pada 1 hingga 4 Agustus 2019 kemarin, KKI/KKM KWI berharap pertemuan itu dapat mengembalikan lagi kesadaran dan mendorong umat Katolik untuk mewartakan Injil kepada mereka yang belum mengenal Kristus.
Pastor Nur Widi menyatakan, kesaksian hidup dimulai dengan memiliki hubungan erat dengan Kristus sehingga memiliki kesalehan hidup plus. Dalam konteks kesalehan majemuk berarti menawarkan suatu budaya kontras dan alternatif dimana kasih menjadi garda terdepan dalam berinteraksi. “Ketika orang hanya berbuat baik kepada kelompoknya kita tidak, kita membongkar sekat itu. Ketika ada kearifan lokal yang sektarian kita tidak, tapi lebih terbuka,” ujarnya.
Dengan demikian, tugas KKI/KKM setiap keuskupan adalah merangkul mereka yang tersingkir dan miskin baik melalui gerakan karitatif maupun pemberdayaan. Untuk itu, anak muda harus didorong menjadi pelaku utama gerakan amal kasih dan kesalehan plus seperti permintaan Paus Fransiskus dalam Surat Apostoliknya untuk anak muda, ‘Christus Vivit’.
“Saya yakin banyak anak muda Katolik yang haus akan kekayaan iman Katolik tetapi belum mampu menemukan sarana yang tepat. Maka, Kongres ini juga merang kul tema industri 4.0 agar sarana baru berupa media sosial ditingkatkan penggunaannya untuk semakin banyak merangkul anak muda yang mau bergerak ke pinggiran mewartakan kabar gembira,” tandas Pastor Nur Widi.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.32 2019, 18 Agustus 2019