web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Di Balik Jubah Imam Diosesan

2.4/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Di dalam tingkatan kepemimpinan dan juga pelayanannya, Gereja Katolik sangat mengandalkan imam-imamnya. Merekalah yang mewarisi imamat jabatan Kristus, yang melayani Perayaan Ekaristi dan Sakramen-sakramen.

Namun, rupanya di dalam panggilan menjadi imam itu, ada macam-macamnya juga. Secara garis besar, di dalam panggilan menjadi imam ada dua jalur yang bisa ditempuh. Jalur pertama adalah menjadi imam religius yang menyatukan diri dengan dari kongregasi atau ordo tertentu. Jalur yang kedua adalah menjadi imam diosesan, imam yang menginkardinasikan atau menyatukan dirinya dengan keuskupan tertentu.

Sementara imam religius menyatakan ketaatan kepada pemimpinnya yaitu provinsial, imam diosesan menyatakan ketaatannya kepada uskup di keuskupannya dan para penggantinya. Rasanya inilah yang melatari pemilihan judul buku tentang imam diosesan yang ditulis oleh Pastor Yohanes Gunawan, “Uskup Tanpa Imam Diosesan seperti Macan Ompong.”

Imam religius memiliki kontrak tertentu dengan keuskupan yang bisa pergi ketika dibutuhkan di tempat lain, tetapi imam diosesan siap sedia tetap tinggal di keuskupan untuk membantu uskup melaksanakan karya pastoralnya. Kalau pun ia bertugas di luar keuskupannya, itu karena tugas yang diberikan oleh uskupnya.

Pelayanan iman Gereja di seluruh dunia ini selalu terjadi di dalam wilayah yang disebut keuskupan. Maka, seorang uskup yang memiliki cukup imam diosesan memiliki rekan-rekan yang siap sedia untuk bersama-sama dengan dia menjalankan pelayanan kepada imam.

Di dalam buku ini dijelaskan, “Kata ‘diosesan’ berasal dari kata Yunani yang berarti ‘menata rumah.’ Seorang imam diosesan adalah imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia tinggal dekat dengan umat dan membantu uskup setempat untuk menata rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari umat” (Hal 5).

Buku ini mengisahkan tentang seluk beluk imam diosesan dilihat dari ajaran-ajaran Gereja, bagaimana pendidikannya, persaudaraan antar imam diosesan dan juga peran serta imam diosesan di dalam kehidupan menggereja serta kelompok-kelompok umat yang mendukung hidupnya komunitas imam diosesan.

Titik tekannya adalah bagaimana seorang imam diosesan memiliki kedekatan relasi dengan uskup dan keuskupan. Salah satu bagian yang menarik adalah pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan oleh Paus kepada imam-imam diosesan.

Beliau mengatakan pentingnya setiap imam diosesan mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif yang membantunya untuk terus setia di dalam panggilannya sebagai imam diosesan, “Bagaimana relasi saya dengan uskup saya? Bagaimana bisa memiliki sense terhadap keuskupan, meskipun uskup mengarahkan ke sana, tetapi saya berjalan ke arah sebaliknya? Apakah saya masih menghadiri pertemuan imam? Apakah saya mudah ditemui oleh umat? Jika Anda bekerja di tiga bidang ini, Anda akan menjadi orang kudus” (hal 10).

Di sinilah lalu tampak jati diri seorang imam diosesan sebagai imamnya uskup yang membantu uskup menjalankan penggembalaan di tengah umat.

Buku ini sangat baik membantu para imam diosesan untuk menemukan kembali pijar-pijar spiritualitas di dalam pergulatan sebagai seorang imam. Selain itu, buku ini bisa membantu kaum muda untuk melihat kemungkinan hidup imam diosesan sebagai salah satu alternatif jalan hidup.

Bagi umat, buku ini membantu memahami kehidupan seorang imam diosesan agar sejauh mungkin mendukung hidup dan karya imam diosesan.

Memang, sebagian besar contoh-contoh yang menjadi dasar penulisan buku ini mengacu kepada para imam diosesan Keuskupan Agung Semarang (KAS), mengingat penulisnya adalah seorang imam diosesan KAS, tetapi isi dan kajiannya bersifat universal dan memberi wacana pembicaraan yang mendalam tentang kehidupan seorang imam diosesan.

Amat sedikit literatur berbahasa Indonesia yang berbicara tentang hidup dan spiritualitas imam diosesan. Buku ini menjadi salah satu yang paling maju mengupas dan membantu memaknai kehidupan imam-imam diosesan.

Judul : Uskup Tanpa Imam Diosesan, Seperti Macan Ompong
Penulis : Y. Gunawan, Pr
Penerbit : Kanisius, 2019
Tebal : 255 + xxxii halaman

Pastor Martinus Joko Lelono

HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles