HIDUPKATOLIK.com – Ia hadir melawan praktik balas dendam yang tumbuh di Albania. Jalan kasih menjadi pemersatu umatnya. Ia dibunuh karena kasihnya kepada Allah.
Hidup sebagai anak-anak, tinggal di Albania di awal abad ke-19 adalah tragedi. Mereka menjalani hidup dalam derita. Kesempatan bersekolah sirna karena tradisi kekerasan yang mencengkeram kehidupan masyarakat. Budaya balas dendam atau budaya Gjakmarrja, sangat mempengaruhi meraka.
Beberapa anak terpaksa hidup dalam persembunyian. Mereka didera ketakutan akan menjadi korban selanjutnya. Tradisi beradarah Albania yang dipraktikkan di kawasan pegunungan Albania ini ada sejak abad XV. Banyak anak berbicara soal mimpi mereka bersekolah, tetapi cita-cita ini terkubur dalam-dalam.
Pada masa-masa inilah, hidup seorang imam, Pastor Matti Prennushi. Ia adalah satu dari sedikit imam yang berani menentang tradisi kekerasan ini. Pastor Matti dalam karya pastoralnya, berjuang menghapus siklus berdarah ini.
Spiritualitas Kasih
Matti lahir di Shkoder, 2 Oktober 1881. Di masa remaja, ia melanjutkan pendidikan sebagai seminaris di Sekolah Misi yang dikelola para biarawan Fransiskan di Shkoder, Albania. Pola hidup suci sudah dipraktikkan Matti sejak kecil. Tidak heran, ketika menjalani hidup sebagai biarawan, ia sudah terbiasa dengan disiplin hidup semacam ini. Relasi pribadinya dengan Tuhan lewat doa pribadi menjadi keunggulan remaja Fransiskan ini. Ia menepati Injil dalam kesederhanaan hidup dan relasi intim dengan sesama makhluk hidup.
Ada satu kebiasaan yang selalu dibuatnya setiap pagi, Matti selalu memberi makan hewan-hewan di komunitasnya. Ia seakan diberi kharisma untuk berbicara dengan berbagai hewan disekitarnya. Namun begitu, spiritualitas “Allah adalah kasih” tetap menjadi semangat hidup utamanya sebagai seorang calon imam.
Sebagai seorang Fransiskan, ia menjiwai semangat persekutuan dengan Kristus yang miskin dan tersalib. Lagi, Matti adalah calon imam yang hidup dalam persaudaraan dengan semua manusia dan ciptaan.
Setelah menyelesaikan novisiatnya, Frater Matti dikirim ke Austria untuk belajar teologi di Universitas Graz Austria dan selesai tahun 1904. Pada tahun yang sama, Pastor Matti ditahbiskan.
Karya pastoral pertama Pastor Matti adalah bekerja menjadi imam di kampung halamannya. Ia berkarya melayani umat di wilayah pegunungan sebelah Utara Albania. Umat segera jatuh hati pada gembala iman yang sederhana, rendah hati, dan penuh semangat. Ia menjadikan tempat kelahirannya sebagai ladang basah bagi pertumbuhan iman.
Baru beberapa saat bekerja, Pastor Mattia sudah berhadapan dengan tradisi Gjakmarrja, tradisi balas dendam berdarah di antara keluarga. Alhasil,banyak keluarga Katolik yang bertikai.
Tradisi ini berawal dari kanun (aturan), sebuah atuaran sosial pada abad XV. Kanun ini mengatur tata hidup sehari-hari bagi warga Albania. Dalam kanun disebutkan bahwa jika seseorang tewas dibunuh maka keluar korban berhak membalas dendam tak hanya terhadap si pembunuh tetapi semua pria di keluarga besar si pembunuh. Keluarga yang terlibat dalam balas dendam berdarah ini juga harus berusaha mempertahankan hidupnya. Antara dibunuh dan membunuh adalah pilihan yang harus diambil.
Melawan Arus
Pastor Matti tak ingin membiarkan kekerasan ini terus merenggut masa depan anak-anak di Skhodra. Ia berpikir keras untuk menyediakan alternatif lain bagi anak-anak pegunungan untuk bisa bersekolah. Namun, satu-satunya pilihan adalah sebuah sekolah yang berjarak sekitar 90 kilometer dari kampung halaman mereka. Untuk itu, Pastor Matti harus menyediakan bantuan transportasi untuk mereka. Tak jarang bila situasi jalan tidak aman, ia tampil sebagai pengajar. Pelajaran katekese dan pendalaman iman kekatolikan, khususnya kerelaan untuk menghargai kehidupan menjadi akar pelajaran katekesenya.
Tidak mudah melawan budaya kekerasan yang sudah berabad-abad mengakar di hati umat. Tetapi satu hal yang selalu ditanamkan di hati umat adalah sikap menghargai kehidupan bukan sebagai pemberian manusia tetapi rahmat dari Allah. Pastor Matti meyakini, bahwa hidup perlu disyukuri karena berarti bagi Tuhan. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri hidup manusia. Ini semacam wajangan pastoral yang selalu disampaikan kepada umat.
Alhasil, umat yang dulunya bertikai lambat laun saling memaafkan. Bila terjadi pertikaian, Pastor Matti tampil paling depan, menggunakan jubah Fransiskan dan melerai mereka. Ia bahkan sempat mengatakan, “Jika anda membunuh orang lain, bunuhlah saya terlebih dahulu.” Keberaniannya ini membuat ia dianggap sebagai imam yang berani melawan arus.
Misi Terakhir
Atas perjuangan dan pastoral kehadiran yang ditunjukkan Pastor Matti, membuat Gereja di parokinya cepat sekali berkembang. Dalam lima tahun pelayanannya, ia telah membaptis dan menerima beberapa umat Gereja Katolik Ortodoks dan dedominasi lain yang bergabung dengan Gereja Katolik.
Ia terus melayani bahkan ketika pecah Perang Balkan (1912-1913). Perang yang mempertemukan Liga Balkan (Serbia, Bulgaria, Montenegro, dan Yunani) melawan Ottoman Turki ini berakhir dengan kemenangan Liga Balkan. Ottoman Turki yang menyerah dipaksa untuk menandatangani Traety of Londok yang memalukan.
Dalam krisis ini, Albania berada dalam posisi netral. Tetapi diam-diam Albania memiliki agenda sendiri untuk melepaskan diri dari kekuasaan Ottoman Turki dan mendirikan negara Albania Merdeka. Salah satu lembaga yang dianggap paling bertanggungjawab adalah Gereja. Hal ini membuat banyak pemimpin Gereja ditangkap. Salah satunya adalah Pater Matti.
Tahun 1991, ia ditangkap karena kontra melawan Liga tersebut. Ia berhasil dibebaskan setelah upaya negosiasi dari Pastor Gjergj Fishta, seorang Fransiskan berkebangsaan Albania yang disegani pihak Serbia.
Setelah Perang Balkan berakhir, Pastor Matti mendapat tugas baru di distrik Malësi e Madhe. Sayang di tahun kehadirannya, 1928, penduduk Malësi e Madhe bangkit melawan Ahmet Zogu, Perdana Menteri Albania yang memproklamirkan berdirinya Kerajaan Albania dan menyatakan dirinya sebagai Raja Albania dengan nama Zog I. Dimasa ini Pastor Matti pernah ditangkap tentara kerajaan karena dituduh menghasut pemberontakan. Ia berhasil membuktikan dirinya tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan.
Karya pelayanannya berakhir setelah Perang Dunia II. Rezim komunis pro Uni Soviet mengambil alih kekuasaan Albania. Di bawah pemerintahan komunis, Gereja dan biara-biara disegel, aktivitas peribadatan dilarang. Para rohaniwan-rohaniwati ditahan dengan berbagai tuduhan palsu. Sebagian lagi dijebloskan dalam penjara dan dibunuh.
September 1946, saat Pastor Matti menjadi Provinsial Ordo Fransiskan Albania, ditangkap pemerintah Komunis Albania atas tuduhan sebagai mata-mata Vatikan. Ia ditahan beberapa tahun. Sebenarnya pemerintah berharap, para Fransiskan ini dapat menjadi kaki tangan komunis melawan Gereja. Usaha itu tentu saja tidak berhasil, Pastor Matti dan semua anggota Fransiskan di albania menolak semua tawaran pemerintah. Ia pun mendapatkan berbagai model penyiksaan.
Pastor Matti akhirnya ditembak pada 11 Maret 1948. Ia dieksekusi bersama Beato Frano Gijini, Beato Siprianusw Nika, dan 14 imam lainnya, dan beberapa umat awam.
Pastor Mattia dibeatifikasi bersama 38 Martir Albania oleh Paus Fransiskus pada 5 November 2016 lalu. Misa beatifikasi diadakan di Katedral Shkoder, Albania yang dipimpin oleh Prefek Komisi Penggelaran Kudus Vatikan, Kardinal Angelo Amato SDB.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019