HIDUPKATOLIK.com – Pengalaman perjumpaan dengan kemiskinan dan ketakadilan, membuatnya bangkit melawan. Ia pun banting setir menjadi pengacara.
Kemiskinan telah berurat akar di kawasan Amerika Selatan. Kemiskinan pula yang melahirkan perjuangan dan komitmen; yang menjadi bagian tak lepas dari sejarah kawasan ini. Sudah banyak pejuang keadilan menghasilkan aneka ragam pergerakan melawan ketakadilan. Pablo Fajardo, salah satunya.
Kecintaan kepada tanah dan rakyat, membuat ia beralih profesi; dari seorang petani menjadi pengacara. Ia menggencarkan perlawanan dan membela 30.000 penduduk hutan hujan Amazon. Perjuangan Pablo melawan raksasa minyak Texaco-Chevron yang diduga menjadi biang polusi pun berbuah. Pada 2013, perusahaan multinasional itu dijatuhi hukuman membayar USD 9,5 miliar sebagai kompensasi atas kerusakan sosial dan lingkungan.
Amazon Tercemar
Pablo lahir dan tumbuh di sebuah desa di pantai Ekuador. Orangtuanya petani yang hidup dalam kemiskinan akut. Situasi ini membuat sembilan saudara laki-lakinya dan orangtuanya hijrah ke kawasan Amazon. Bagi Pablo kecil, Amazon adalah dunia yang sama sekali baru. “Amazon penuh dengan roh, bisikan, bau dan rasa, penuh dengan panas, air, serangga, dan hewan. Singkatnya, penuh kehidupan,” ujarnya. “Sementara, Amazon yang lain adalah Amazon yang tercemar!”
Hidup lekat dengan alam di kawasan Amazon, memberikan aneka pengajaran bagi pribadi Pablo. “Saya banyak belajar dari masyarakat adat di sini tentang melindungi dan mewariskan alam ke generasi seterusnya. Mereka memiliki banyak ilmu tentang nilai kemanusiaan,” ujarnya.
Saat berusia 14 tahun, Pablo bekerja pertama kali di sebuah perusahaan yang menanam pohon palem Afrika. Seperti kebanyakan orang, Pablo bekerja keras, namun menghasilkan sedikit uang. “Saya mulai mengerti, ada banyak ketidakadilan dan eksploitasi,” katanya. Di sela waktu, ia aktif membantu di paroki yang dikelola para imam Kapusin.
Bersama para imam Kapusin dan umat paroki itu, Pablo mulai menggalang kekuatan perlawanan terhadap ketakadilan. Dua tahun setelah menetap di kawasan Amazon, ia membentuk komite untuk membela hak asasi manusia. “Karena ada banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat, perempuan, petani, dan orang kulit hitam. Mereka tidak punya siapa-siapa untuk meminta bantuan,” papar Pablo seperti dikutip dari vaticannews.va, pertengahan Juni lalu.
Pablo diangkat sebagai ketua komite tersebut. Usianya kala itu masih 16 tahun. Ia masuk keluar desa untuk mengumpulkan aneka bukti pelanggaran hak asasi manusia. Kala ia mendampingi korban, pihak yang berwenang selalu menyarankan agar korban didampingi pengacara. “Tapi faktanya, tak ada satu pun pengacara yang mau mendampingi kami,” protesnya saat itu.
Lantaran kesal dengan situasi itu, suatu hari Pablo berkata, “Saya akan menjadi pengacara!” Tapi tak ada biaya untuk belajar sampai menjadi pengacara. Niatan baik senantiasa mendapat jalan lurus. Para imam Kapusin yang dekat dengan Pablo membantu mencarikan dana. Alhasil, Pablo bisa kuliah, lulus pada 2004, dan menjadi pengacara dari Universidad Tecnica Particular de Loja. Namun, jalan terjal justru tengah mengintip nun jauh di sana.
Setelah terjun dalam dunia hukum, Pablo mulai meniti jalur terjal nan berliku. Berkali-kali ia mendapatkan ancaman. Bahkan ia pernah dianiaya. Pada 2004, saudara lelakinya disiksa hingga tewas. Keluarga mesti mengungsi, lantaran rasa aman mereka terusik. Selama beberapa bulan, Pablo mesti hidup berpindah-pindah demi keamanan. “Setiap malam, saya berterima kasih kepada Tuhan karena masih diberi hidup satu hari lagi. Pagi hari saya berdoa lagi, agar Tuhan melindungi saya.”
Lawan!
Sejak 2003, ketika persidangan gugatan terhadap Chevron dimulai di Ekuador, masyarakat keluar, turun ke jalanan setiap hari untuk berdemonstrasi. Sebagai simbol perlawanan, para lansia tak pernah mengenakan sepatu. Bagi masyarakat lokal di sini, sepatu telah memutuskan ikatan antara manusia dan bumi.
Dalam gugatan tersebut, penduduk asli dengan pengacara mereka, membawa bukti polusi tanah dan air dengan limbah beracun, dan residu dari ekstraksi minyak mentah, terutama di sekitar ladang minyak Lago Agrio yang telah beroperasi sejak 1964. Limbah itu telah merusak ekosistem air, hutan, dan tentu masyarakat adat.
Pablo menjelaskan, kasus Texaco-Chevron menunjukkan minimnya pengetahuan yang mendalam dan kurangnya rasa hormat terhadap masyarakat adat. Saat bersamaan, kasus ini juga mengangkat kegigihan perjuangan rakyat untuk hak-hak mereka. “Yang penting, kami bersatu melawan ketidakadilan. Enam kelompok masyarakat adat dengan berbagai bahasa, tradisi, adat-istiadat, dan wilayah bergabung untuk berjuang bersama.”
Seperti pada umumnya masyarakat adat, mereka juga tertinggal perihal pendidikan. Seperti ayah Pablo yang tak mampu membaca dan menulis. Mereka lebih mengandal kata-kata daripada teks tertulis. “Kertas bisa dicabik-cabik, tetapi tidak dengan kata-kata.” Itulah petuah leluhur mereka.
Namun, sekarang berubah. Setelah kasus ini bergulir, semua harus tertulis, terdokumentasikan, ditandatangani, dan dicap resmi. Tanpa dokumen resmi, kata-kata tak memiliki nilai, apalagi dalam kasus hukum menghadapi perusahaan kelas kakap. Di sinilah peran Pablo. Ia menjadi jembatan kata-kata masyarakat adat di ruang sidang.
Demi Bumi
Kasus bergulir amat lambat. Ada aneka kepentingan yang berkelindan dalam kasus ini. Putusan atas kasus ini baru dibacakan pada 14 Februari 2011. Pengadilan Sucumbios, Ekuador memerintahkan Chevron Corporation (sebelumnya Texaco) untuk membayar USD18, 1 miliar untuk memulihkan polusi air, tanah, dan ekosistem yang luas. Putusan itu kemudian dikonfirmasi Mahkamah Agung Ekuador pada 2013, meskipun jumlahnya dikurangi menjadi USD9,5 miliar.
Menurut Pablo, kehidupan generasi mendatang amat tergantung pada apa yang terjadi di Amazon. “Mungkin banyak orang di Amerika Serikat atau di Eropa, atau di mana pun tidak menyadari apa arti Amazon bagi dunia, untuk planet ini. Jikalau kawasan ini dirusak, kehidupan generasi mendatang dipertaruhkan,” tegas Pablo. “Semoga saja seluruh dunia mendengarkan kami,” pungkasnya.
Pablo Fajardo
Lahir : 1972
Pendidikan : Universidad Tecnica Particular de Loja
Penghargaan :
– CNN Hero’s Award 2007
– Goldman Environmental Prize 2008 (bersama Luis Yanza)
– Tampil dalam fi lm dokumenter “Crude”, 2009
Y. Prayogo
HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019