HIDUPKATOLIK.com – Salam damai, sahabat saya bernama Melati, dua tahun lalu membantu tantenya karena sakit. Namun awal tahun ini tantenya meninggal. Meskipun demikian, sampai sekarang Melati masih mengurus adik sepupunya. Entah kapan terjadi, Melati jatuh cinta pada pamannya. Begitu pula sebaliknya. Satu minggu yang lalu mereka saling mengungkapkan perasaan dan resmi berpacaran. Mereka berencana menikah secepatnya. Apakah mereka memang boleh menikah? Terima kasih, Pastor.
Florensius, Pontianak
Saudara Florensius yang baik, terima kasih atas perhatianmu kepada sahabat yang akan menikah. Dengan pertanyaanmu ini barangkali menginspirasi juga saudara-saudari yang lain dalam menghadapi pernikahan antara pihak-pihak yang masih mempunyai hubungan darah.
Hubungan darah dalam Kitab Hukum Kanonik dibahas dalam Kanon 1091 § 2 yang mengatakan, dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat keempat. Tingkat kedua adalah antar saudara, tingkat ketiga adalah paman atau bibi dengan keponakannya, tingkat keempat adalah antar sepupu. Kanon ini menyangkut adanya hubungan darah antara dua orang yang akan menikah.
Dalam kasus sahabat Anda, ini menyangkut hubungan antara Melati dan suami tantenya. Yang saya pahami dari pertanyaan Anda, hubungan mereka bukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah (karena tantenyalah yang mempunyai pertalian darah), sehingga tidak ada halangan dalam pernikahan mereka sesudah tantenya meninggal.
Akan tetapi jika yang dimaksud mempunyai hubungan darah dengan Melati adalah paman yang akan menikahinya, maka perkawinan mereka terhalang dan tidak dapat menikah dengan sah. Dalam hal ini, yang terhalang menikah adalah mereka sampai pada hubungan ke samping antarsepupu (disebut terhalang sampai tingkat menyamping. Tentu saja, Melati dan pamannya terhalang untuk menikah).
Hubungan antara orang yang masih punya pertalian darah adalah sesuatu yang mempunyai risiko cacat bawaan. Dikarenakan hubungan darah yang terlalu dekat. Kode genetik manusia dapat mengalami cacat yang semakin besar terkait dengan regenerasi manusia dalam hubungan kekerabatannya. Gereja melarang dengan beberapa alasan, yaitu antara lain karena persoalan sosio budaya yang menganggap pernikahan seperti itu tidak pantas dan tidak layak dilakukan antara orang-orang yang masih bertalian darah.
Persoalan sosio-budaya juga penting dipikirkan, karena semua orang sudah mengenal keduanya yang sebenarnya adalah paman dan keponakan. Tak mudah meninggalkan kenyataan itu, apalagi jika sang paman adalah adik orangtuanya. Kalaupun secara genetik anak-anak yang akan dilahirkan bisa tidak cacat, tapi kita selalu hidup berdampingan dengan banyak orang yang selalu siap untuk memberi evaluasi, memberi penilaian akan hidup kita. Dalam masyarakat yang masih tradisional, hal ini mungkin bisa lebih rumit.
Barangkali karena sahabat Anda itu sebelumnya belum pernah tinggal serumah dengan tante dan pamannya. Atau mereka bertemu sesudah dewasa, lalu timbul ketertarikan. Kenyataannya, relasi mereka terlalu dalam dan kurang mampu membatasi jarak, sehingga menimbulkan ketertarikan yang tak direncanakan, makin mendalam dan tergerus nafsu.
Sulit memutuskan suatu hubungan percintaan, apalagi jika kedua pihak sudah tinggal berdekatan (atau malah serumah). Jika masih bisa, sebaiknya memberi jarak yang tak memungkinkan keduanya bersentuhan atau berkontak. Kalau memang mau memulai suatu rumah tangga, memikirkan berkali-kali suatu masa depan adalah sikap bijaksana. Saya percaya mereka masih bisa diberi pengertian, jika ada mediator (orang ketiga) yang menjelaskan tentang hal ini. Tentu saja dengan hati-hati dan penuh persaudaraan.
Terakhir, saya ingin bertanya, “Bagaimana reaksi orangtua Melati terkait persoalan relasi anaknya? Apakah ada keberatan atau justru dukungan?” Ini akan sangat menentukan terjadi atau tidak perkawinan mereka. Pandangan orangtua dan keluarga dekat sangat mempengaruhi keputusan mereka. Semoga yang terbaik yang terjadi pada sahabat Anda. Tuhan memberkati.
Pastor Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019