HIDUPKATOLIK.com – Pendidikan dan aneka Latihan Rohani yang dijalankannya membuat Pastor Adolf Heuken SJ menjadi orang Katolik yang saleh, sekaligus rasional-kritis.
Être Prussien est un honneur, mais pas Plaisir, ‘Menjadi orang Prussia (Jerman) itu merupakan kehormatan, tapi bukan kenikmatan’. Begitulah tuturan orang Perancis mengomentari musuh bebuyutan mereka yang tangguh, Prussia sekitar dua abad silam.
Dipengaruhi secara kuat oleh etika Protestan-Kalvinis, orang Prussia dikenal di seantero jagad Barat sebagai orang yang suka kerja habis-habisan, memiliki disiplin besi, taat-kewajiban ala militer, namun tetap saleh. Kombinasi semua karakter ini membuat orang Prussia tampak serius, keras dan dingin.
Yesuit Adolf Heuken (1929-2019) bukanlah orang Jerman-Prussia, melainkan orang Jerman-Westfalia. Ini salah satu “suku” Jerman yang berbeda dari orang Prussia. Mereka memiliki keyakinan Katolik yang kokoh sekali. Para penggembira kehidupan serta memiliki sikap bersahabat yang hangat. Namun fakta historis, bahwa Westfalia dikuasai dan ditatakelolai oleh Prussia, bahkan Münster –kota kelahiran Pastor Heuken yang ia banggakan.
Münster, pernah dijadikan ibu kota provinsi itu oleh Raja Prussia, sejak 1816 hingga akhir Perang Dunia II (1945). Tak bisa mengelak, mau tidak mau ikut membentuk karakter orang Westfalia dan cara hidup mereka. Maka terciptalah entah bagaimana karakter campuran Prussia-Westfalia yang asketis dan ceria sekaligus, pekerja keras namun tetap bisa rileks, keras-tegas namun tetap hangat.
Pastor Heuken adalah salah satu dari orang Westfalia macam itu. Tambahan lagi : pendidikannya yang lama dan aneka Latihan Rohani yang dijalankannya dengan tekun sebagai Yesuit, membuatnya menjadi orang Katolik yang saleh, namun sekaligus rasional-kritis.
Tak Cukup Sekian
Begitulah gambar mozaik mengenai pribadi Pastor Heuken yang saya kenal sejak saat ia menjadi dosen kami pada mata kuliah Teologi Moral di STF Driyarkara (1985-1989), lalu lewat cerita para rekan Pastor Heuken di Jerman (200-2005) saat saya berada di Frankfurt (2000-2005), hingga hari-hari terakhir Pastor Heuken, saat ia sudah menjadi teman ngobrol yang asyik.
Saya cukup sering mengunjungi dia di rumahnya Jl. Moh. Yamin 37 Menteng. Ini rumah tinggal multifungsi, kadang sebagai kantor, gudang buku, bahkan ada sebuah kolam renang mini, tempat Pastor Heuken berolahraga. Setiap kunjungannya, selalu presis mulai jam 10:30 pagi. Tema obrolannya macam-macam. Terkadang soal Gereja Indonesia dan Gereja Jerman, lain kali soal keadaan sosial-politik dan arsitektur bangunan. Namun, kunjungan ini sering juga diisi obrolan tentang kisah sejarah tempo doeloe, yang lagi-lagi memiliki aneka topiknya juga, termasuk yang belum dikenali khalayak umum, seperti misalnya soal Pastor J. Beek dan Kasebulnya, soal skandal Gereja, dan perkembangan imam diosesan.
Khusus menyangkut hal yang disebut terakhir ini (tentang sejarah) saya sendiri jadi ketularan minatnya. Begitu misalnya, buku sejarah Mission Breakthrough : Narasi Kecil Imam Diosesan di Indonesia yang saya tulis 2014, disemangati olehnya. Bagi Heuken, buku sejarah tentang imam diosesan perlu dibuat agar mereka semakin dikenal, sehingga dicintai dan diminati.
“Wajarlah, bahwa keuskupan semakin digembalakan oleh uskup bersama dengan imam-imam diosesannya, sementara para tarekat bekerja pada bidang yang sesuai dengan kharisma dan panggilannya”, katanya.
Hal yang sama dia lakukan, saat kami berdiskusi tentang sejarah Gereja Katolik pada Zaman Jepang. Kendati bahan-bahan untuk penulisan tema ini menurut Heuken amat sedikit, tambahan lagi “masa ini dianggap remeh” oleh sementara sejarahwan Gereja (mungkin lantaran sumber yang langka itu), dia memberikan semangat agar saya menulis tentang fase sejarah Gereja yang belum terkuak secara lugas dan komprehensif itu.
Maka jadilah buku Surviving “The Dai Nippon”: Sejarah Gereja Katolik Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) yang saya publikasikan pertama kali Agustus 2017, namun mengalami cetak ulang Februari 2018. Kedua buku sejarah dengan tema baru yang tidak pernah dibahas secara sistematis dan koheren sebelumnya ini, nyatanya telah memperkaya khazanah pengetahuan tentang Sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Hal ini terjadi berkat dorongan Pastor Heuken.
Sekarang sang inspirator itu telah pergi dengan meninggalkan buku-buku yang telah ia karang, terjemahkan atau sadur. Jika buku-buku itu diurutkan, semuanya mengisi satu almari dengan tiga rak, artinya 450 sentimeter. Jika angka itu dikalikan dengan 4.000 (satu oplag hingga 2009), maka semua buku yang telah tercetak dan terjual itu, menjadi deretan sepanjang 18 kilometer.
Warisan intelektual Pastor Heuken ini telah dan masih memberikan inspirasi bagi mereka yang membacanya hingga kini. Adolf, lieber Freund, danke sehr für alles, auf Wiedersehen! ‘Adolf, sahabat, terima kasih banyak untuk semuanya, selamat tinggal!’.
Pastor Franz Magnis Suseno SJ, Dosen STF Driyakara Jakarta
Guru Bijaksana
“Kita masih memerlukan kebijaksanannya dan perhatiannya kepada orang-orang Indonesia, khususnya Jakarta. Lewat karya-karyanya, Pastor Heuken mampu mengenalkan sejarah kota Jakarta kepada semua orang. Ia pantas dikenang sebagai guru yang bijaksana, tekun, dan setia.”
Pastor Y. Heru Hendarto SJ, Rektor Kolese Kanisius Jakarta
Sosok Sederhana
“Orang yang tidak tampil tetapi pekerjaannya luar biasa, dan ia tekuni puluhan tahun, sebagai seorang penerjemah, penulis, yang karya-karyanya itu luar biasa bermakna. Dia meninggalkan ragam karya seperti kamus, buku-buku tentang Jakarta, santo-santa, dan masih banyak lagi.
Di bagian akhir masa perjalanan hidupnya, ia selalu berkata, ‘Kepala saya masih bisa bekerja, dan saya akan bekerja, juga dengan tangan saya. Walaupun saya pincang, saya ga bisa jalan’.
Yang lucu, ketika saya berkunjung, tempat tidur dan kamar yang ia sukai selama lima tahun terakhir, meski kecil, namun ia enjoy. Ia sosok yang sangat sederhana. Ia menikmati hidup sebagai seorang Yesuit, dan berkarya tidak pernah kenal lelah, sampai Tuhan berkenan memanggilnya.”
Budi Lim, Arsitek
Profesor Arsitek
“Pastor Heuken itu seperti profesor berjalan buat saya. Karena selama ini saya sebagai arsitek yang senang sejarah. Kan tidak mungkin kita senang bangunan tua, mau restorasi atau konservasi tanpa tahu sejarah. Ia satu-satunya sejarahwan murni. Saya belum ketemu gantinya yang betul-betul berdasarkan data yang akurat. Ia bisa menceritakan dan memberikan imajinasi yang tepat untuk kita, tentang bagaimana proses bangunan itu dibuat, penggunaannya dan lain-lain. Di samping sejarahwan, ia juga seorang yang rajin dan disiplin. Membaca dan menulis itu kerjanya.
Ira dan Lia, Tetangga Pastor Heuken
Tetangga Idaman
“Sejak kami bertetangga, awalnya ada keraguan apakah Pastor Heuken bisa menerima kami atau tidak. Tetapi justru sebaliknya, dia seorang yang sangat baik hati. Dia menjadi tetangga idaman kami dan selalu terbuka bagi kami tetapi juga di kawasan Menteng dan Cikini, tempat dia tinggal.
Sudah puluhan tahun kami hidup bersama dan selama itu juga dia tidak pernah menyakiti kami juga tetangga yang lain. Hal ini membuat seorang anak laki-laki kami tertarik mengalami pendidikan di SMA Kanisius. Kami sedih karena dia pergi tanpa pamitan seperti awal kami bertetangga. Tetapi dia sudah pergi membawa cinta kami.”
Yusti H. Wuarmanuk/Marchella A. Vieba
HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019