web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Cerita di Balik Bangunan Tua

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Jakarta hancur karena tidak ada penghargaan akan martabat manusia. Pertobatan pribadi dan komunal adalah jalan rekonsiliasi bagi manusia sebagai subjek sejarah.

Sebuah rumah “terjepit” di antara gedung-gedung berlantai mengkilap dengan pagar tinggi. Terlihat dari luar, rumah di Jalan Mohammad Yamin 37 Menteng, Jakarta ini, biasa-biasa saja. Halamannya tidak terlalu luas, tetapi ditanami beragam bunga. Pohon Kamboja dengan aneka bunga tertata rapih di sudut rumah itu. Sebatang pohon sawo menjulang menambah rindang pekarangan rumah itu.

Bangunan ini mulai berdiri tahun 1934, dan selalu dipertahankan keasliannya. Sang penghuni, Pastor Adolf J. Heuken SJ, menyebut bangunan ini termasuk cagar budaya golongan B-tidak boleh dibongkar kecuali bagian dalamnya.

Rumah Menteng, masih asli. Kusen dan pintu kayunya tebal berkelir cokelat tua. Ada kesan arsitekturnya berkarakter fungsionalis, mengambil sedikit adaptasi bangunan Eropa di iklim tropis. Atapnya membumbung ke langit dengan jendela-jendela kecil yang terbuka.

Memasuki ruang tamu, semua mata akan dibuat heran dengan sesaknya rak buku. Setiap rak terselip ratusan buku dengan bermacam genre. Semua berjejer rapih dalam berbagai bahasa. Ada yang berbahasa Jerman, Inggris, Perancis, Italia, juga Indonesia. Beberapa kertas buku-buku itu telah menguning, termakan usia.

Kota Taman
Tahun 2017, HIDUP berkesempatan ke rumah bersejarah itu. Sang pemilik, menyambut dengan ramah. Jalannya pelan dengan bantuan tongkat. Kendati begitu, matanya tajam, ada jiwa muda. Ia tegas menjabat tangan, lalu mempersilahkan masuk ke ruang kerjanya. Sebelum tiba di ruang kerjanya, orang-orang akan melewati tempat tidurnya yang berukuran queen. Hanya ada satu meja dan sebuah kursi kayu di sudut ruang itu. Semuanya serba sederhana.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Ruang kerja Heuken sepih. Padahal rumah itu berada di jalan utama Menteng, sebelah kiri kali Gresik. Hampir tidak ada suara kendaraan yang lalu lalang. Padahal kemacetan sering terjadi di situ. Semua asli. Heuken senang bekerja di sini. Tidak ada musik, hanya suara alam. Dalam keheningan ini, jiwanya tercurah lewat ratusan karya.

Menteng, selalu menarik di hati Heuken. Awal menempati rumah Menteng tahun 1969, Heuken penasaran mengapa kawasan ini berisi rumah-rumah bergaya Eropa. Rasa penasarannya itu dituangkan dalam karyanya berjudul, Menteng, Kota Taman
Pertama di Indonesia.

Tapi buku ini bukan karya perdananya. Sebelumnya terbit buku berjudul, Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta dan Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta I-III. Semua itu semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahunya tentang Jakarta.

Pada perayaan 90 tahun kelahirannya, 17 Juli lalu, Pastor Heuken mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan bangunan-bangunan kuno masih terkesan minim. Banyak orang berpikir tidak relevan lagi mempertahankan bangunan kuno. “Banyak orang merasa bangunan kuno itu tidak punya arti. Mereka main bongkar saja,” sebutnya.

Salah Paham
Sejarah bercerita, bangunan-bangunan kuno di Jakarta banyak dipengaruhi kebudayaan Timur Tengah, Tiongkok, dan Eropa. Sayangnya banyak program pemugaran pemerintah justru merombak keaslian bangunan-bangunan. Pastor Heuken tidak diam. Ia tegas menyuarakan hal ini. Banyak orang yang tinggal di Jakarta tetapi tidak paham sejarah Jakarta. Perhitungan teknik banyak yang paham, tetapi nilai historis kerap ditinggalkan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Data lain yang diperoleh Pastor Heuken misalnya sejarah tentang Stadhius (Balai Kota) yang dianggap sebagai pusat pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Menurut Heuken tidak mungkin karena VOC pasti tinggal di benteng bukan Stadhuis.

Pastor Hueken terenyuh, saat melihat Jakarta berangsur-angsur menuju kehancuran, maka perlu pertobatan yaitu pribadi dan komunal. Pertobatan pribadi, menurutnya, merupakan dimensi yang harus ada kalau hidup dibaktikan kepada perutusan. Pertobatan pribadi memungkinkan kemerdekaan manusia. Kemerdekaan bukan untuk mengeksploitasi peradaban manusia, tetapi menyadari bahwa inilah kemerdekaan adalah rahmat pemberian Tuhan.

Rekam jejak sejarah tak lupa ia tuangkan dalam tulisan tentang gereja-gereja tua di Jakarta. Sejak kedatangan Pastor Heuken di Jakarta, ia mengingat masih ada empat gereja tua di kota ini. Tetapi, kini sebagian besar sudah hancur, yang tertinggal hanya gereja Sion. Di kemudian hari, ia mengetahu ada Gereja Anglikan, Gereja Tugu, Gereja Bundar Immanuel. Ini contoh gereja yang memiliki sejarah yang jelas.

Pada 25 Juli lalu, Pastor Hueken dipanggil Tuhan. Meski kini ia telah tiada, namun semangat dan warisannya akan tetap abadi. Boleh jadi, pemerhati sejarah Jakarta itu kini pergi, namun ia tentu berharap, akan muncul lebih banyak orang yang ingin menggali lebih dalam tentang Jakarta.

Pastor Adolf J Heuken SJ

Lahir : Coesfeld, Jerman, 17 Juli 1929
Tahbisan Imamat : Frankfurt, 31 Juli 1961

Pendidikan :
– Novisiat Serikat Yesus (1950-1952)
– Yuniorat di Rottmannshohe (1952)
– Kuliah Filsafat di Johann Berchmans-Kolleg, Pullach, Munchen, (1953-1956)
– Kuliah Teologi di ST Georgen, Frankfurt (1958-1962)

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Jejak Karya :
– Tiba di Girisonta, Semarang, Jawa Tengah (1963)
– Biro Publikasi Pusat Nasional Kongregasi Maria, Jakarta (1964-1969)
– Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta (1964-1984)
– Dosen Akademi Kateketik Jakarta (1967-1968)
– Penerbit Kongregasi Maria/Cipta Loka Caraka (1967)
– Dosen Moral Seminari Tinggi St Paulus Yogyakarta (1968-1971)
– Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (1968-1984)
– Anggota Tim Pertimbangan Penasihat Bangunan Bersejarah dan Pemugaran DKI Jakarta di masa Gubernur Fauzi Bowo

Penghargaan :
– Bundesverdienstkreuz am Bande dari Pemerintahan Jerman (2008)
– Penghargaal 50 Years of Dedications (2013)

Publikasi, antara lain :
– Sedjarah Gereja Katolik di Indonesia, Jakarta (1971)
– Kamus Politik Pembangunan, Yogyakarta (1973)
– Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta, I-III, Jakarta (1999)
– Historical Sites of Jakarta, Jakarta dan Singapura (2000)
– Menteng “Kota Taman” Pertama di Indonesia, Jakarta (2001)
– The Earliest Portuguese Sources for The History of Jakarta, Jakarta (2002)
– Seri Gedung-Gedung Ibadat yang Tua di Jakarta : Gereja, Masjid, Klenteng,
Jakarta (2003) 200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta, Jakarta (2007)
– Ensiklopedi Gereja, Jilid ke-9 Tahun 2006
– 150 Tahun Serikat Yesus Berkarya di Indonesia, Jakarta (2009)
– Kamus Indonesia-Jerman, Jakarta (2012)
– Atlas Sejarah Jakarta, Jakarta (2014)
– Sejarah Jakarta dalam Lukisan dan Foto, Jakarta (2017)

Yusti H. Wuarmanuk/Antonius E. Sugiyanto
Laporan : Hermina Wulohering

HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles