HIDUPKATOLIK.com – Menurutnya, penulisan sejarah Jakarta kadang hanya berdasar keyakinan yang tidak berdasar data sejarah.
Setiap 22 Juni, Kota Jakarta merayakan ulang tahunnya. Hingga tahun ini, orang percaya, bahwa Ibu Kota Indonesia ini telah berusia 492 tahun. Ini berarti, menurut keyakinan banyak orang, delapan tahun lagi, kota ini akan berusia setengah millennium.
Namun, Pastor Adolf J. Heuken memiliki pendapat lain. Tanggal 22 Juni yang diyakini sebagai hari lahir Jakarta itu hanyalah sebuah dongeng. Tanggal itu bukanlah fakta sejarah. Sebab menurutnya, tidak ada bukti sejarah tertulis, kapan kota yang dulu dinamai Sunda Kelapa ini muncul pertama kali.
“Saya beri satu juta, kalau ada yang bisa membawa kepada saya dokumen tentang hari kelahiran Jakarta ini,” ungkap Pastor Heuken suatu kali. Salah satu yang ia tahu, nama Jakarta disebut tahun 1760 di Portugal, saat ada tentara Portugis yang melapor ke negara asalnya, bahwa ada sebuah kota bernama Jakarta.
Bertanya Sejarah
Begitulah Pastor Heuken, ahli Sejarah Jakarta ini tidak pernah puas bertanya tentang data-data sejarah kota yang dicintainya itu. “Saya selalu suka Jakarta, bukan bagus, bukan indah, tetapi menarik, dari segi sejarah,” ujarnya.
Jakarta kota yang ruwet, apalagi sejarahnya. Begitu Heuken menilai Jakarta yang telah menjadi tempat tinggalnya selama lebih dari setengah abad. Jakarta selalu terpatri di hatinya hingga tutup usia pada 25 Juli 2019 lalu. Hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk mencatat sejarah kota ini. Ia mencatat setiap inci kota ini dengan hikmat.
Contoh lain, Pastor Heuken menemukan fakta lain terkait Gereja Sion (Portugeesche Buitenkerk) yang berada di sudut Jalan Pangeran Jayakarta, Mangga Dua, Jakarta Pusat. Orang Jakarta berpikir itu gereja Protestan. Ia heran, sebab Portugis tak pernah mendirikan gereja Protestan. Pertama karena mereka dipengaruhi tradisi Katolik yang kuat, dan kedua Portugis tidak pernah menguasai Jakarta.
Dari sebuah literatur klasik, Pastor Heuken menemukan, gereja Sion ternyata dibangun Belanda sebagai tempat ibadah bagi tawanan Portugis yang dipindahkan oleh Belanda dari bagian timur Nusantara ke Batavia. Kepada para tawanan itu, Belanda menjanjikan pengampunan dengan syarat mereka bersedia memeluk Protestan. Para tawanan pun setuju, dan jadilah mereka memeluk Protestan maka dibangunlah gereja Sion itu.
“Sejarah itu fakta, ada atau tidak, di sini coba baca buku resmi Jakarta, yang satu jiplak dari yang lain, akhirnya semua menjiplak. Akhirnya semua percaya, namun semua berdasarkan ketidaktahuan,” ujar Pastor Heuken mengeluhkan penulisan sejarah Jakarta. Ia meyakini, tanpa memahami sejarah, seseorang tidak akan memahami bagaimana kota itu akhirnya menjadi apa yang dilihat saat ini.
Kamus Berjalan
Dengan kepergiannya, banyak orang kehilangan. Sejarawan Indonesia Anhar Gonggong mengatakan, karya Pastor Heuken banyak diminati khalayak. Penikmat sejarah menjulukinya “kamus berjalan” Kota Jakarta. Sebutan ini menjadi sedikit istimewa karena saat itu sejarawan sangat sulit. Sama sekali sejarah belum terlalu menarik bagi warga Indonesia.
Banyak anak bangsa lebih tertarik mengabdikan diri sebagai TNI/Polri atau menjadi Pegawai Negeri Sipil. Menjadi sejarawan adalah pilihan orang-orang khusus yang mau belajar bersabar. Butuh waktu lama untuk meyakinkan pembaca soal hasil tulisan kita.
Kendati begitu, kata Anhar, Pastor Heuken seorang yang tidak cepat puas dengan sebuah karya. Bila dirinya puas maka cukup membatasi diri dengan sejarah Jakarta. Tetapi Pastor Heuken melampaui ilmu sejarah dengan menampilkan karya-karya lain dibidang teologi, filsafat, dan ensiklopedia. “Ia sudah menulis hampir 12 atau lebih buku tentang Jakarta. Di samping itu masih banyak lagi karya-karya di bidang pengetahuan yang lain,” katanya.
Mantan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo pernah mengungkapkan kekagumannya kepada Jakarta karena karya Heuken. Fauzi menyebut pastor Hueken sebagai “Jakarta freunde” ‘sahabat orang Jakarta’. “Ia pantas mendapat julukan itu bukan semata karena karya-karyanya tetapi kesetiannya mempertahankan imamat sambil mengenalkan sejarah kepada warga Jakarta,” ungkap Fauzi.
Gubernur Anies Baswedan ketika ditemui di Balai Kota Jakarta, Senin, 29/7, menyebut, Pastor Heuken telah membuka jendela dunia untuk mempelajar sejarah Jakarta. “Karya-karyanya akan melebihi semua Gubernur Jakarta. Ia legend di hati semua warga Jakarta,” ungkap Anies.
Anis mengakui semua yang terjadi adalah karya Ilahi. Tuhan mengutus Pastor Heuken agar banyak orang merasakan karya-karya Tuhan di Jakarta. Termasuk di dalam itu, pemerintah juga dibantu untuk menjadi pemerintah yang bekerja ulet, setia, dan memiliki semangat pengorbanan.
Eksistensi Manusia
Ketika ditanya alasan belajar sejarah, Pastor Heuken menyebutkan belajar tentang masa lalu, kita belajar tentang cara Tuhan memberikan contekan di masa depan. Belajar terbaik, katanya, adalah membiarkan diri mengalami pengalaman lalu dan memberi pengalaman baru atas pengalaman itu.
Karena itu, Pastor Heuken, sangat menikmati keasyikan ini. Ritme kerjanya, pada usia senja, selalu sama dan tidak berubah. Ia mulai bekerja pada pukul 08.00 pagi. Ia makan siang pada pukul 12.00 dan pukul 14.00, dirinya beristirahat. Ia melanjutkan pekerjaannya kembali pada pukul 17.00 dan istirahat malam pada pukul 22.30.
Semua hari-harinya dijalani dalam ritme ini. Ia menyebut tidak pernah bosan membaca, menulis, dan berpikir. Sambil membaca, tangan kananya bisa mencatat sesuatu. Lagi-lagi, Heuken seorang yang tidak ingin pikirannya berhenti bekerja. Rutinitas yang membosankan ini bahkan dilakoninya saat duduk di kursi roda. Ia setia menekuni huruf-huruf di atas kertas putih. Selalu meja kerjanya dalam situasi berantakan dengan buku bacaan yang tebal-tebal dalam keadaan terbuka.
Bisa saja keinginan menyulam wajah Jakarta yang menarik berangkat dari obsesi keuletannya. Pribadi yang tekun membuatnya terus bersuara agar setiap orang harus bekerja tuntas. Sejarah membentuknya menjadi pribadi yang menghargai proses mencari eksistensi manusia.
Pastor Heuken menolak keserakaan manusia yang dianggap hanya menikmati tanpa merawat. Baginya peradaban manusia mencapai puncak bila tunduk pada harmonisasi dengan lingkungan hidup. Itulah kenapa hatinya sedih bila terjadi kerusakan alam di kota Jakarta. “Kali Ciliwung yang pernah membela Kota Jakarta bahkan pernah dilayari kapal-kapal besar, kini tinggal nostalgia,” ungkapnya terenyuh.
Dalam perayaan terakhir ulang tahunnya, Pastor Heuken berujar, mengikuti Kristus dalam Serikat Yesus selalu soal dua hal, yaitu hidup dan perutusan. Di satu sisi, serikat itu rapuh, karena terbentuk dari para pendosa yang diampuni. Di sisi lain, setiap orang hidup sebagai peziarah yang siap diutus dalam situasi kecemasan apapun.
Sebagai seorang Jesuit, pertobatan radikal adalah jalan hidup untuk bisa melayani bahkan di saat hidup dalam kecemasan. Cinta Kristus menjadi satu-satunya alasan Heuken terobesesi dan terpanggil mempelajari sejarah. Kemiskinan Injil yang diakui sebagai kaul serikatnya tidak saja dalam bentuk miskin secara materi tetapi bisa juga miskin pengetahuan akan Allah.
Yusti H. Wuarmanuk/Antonius E. Sugiyanto
Laporan: Hermina Wulohering
HIDUP NO.32 2019, 11 Agustus 2019