HIDUPKATOLIK.com – Melihat situasi memprihatinkan yang terjadi di Papua baru-baru ini, sejumlah lembaga dan perorangan menyampaikan keprihatinan mendalam atas terjadinya serangkaian aksi kekerasan dan jatuhnya korban masyarakat dan aparat di Papua. Lembaga itu antara lain Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
Hari Senin (9/9), mereka mengadakan pertemuan untuk mencari solusi dalam menciptakan kembali Indonesia yang adil dan beradab dengan komitmen kebangsaan bersama. Dalam pertemuan itu, mereka menyampaikan bahwa Papua adalah kita dan kita adalah manusia-manusia yang memiliki harkat serta martabat.
Dalam pernyataan sikapnya, mereka menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi kepada jajaran pemerintah serta seluruh kalangan masyarakat di Papua, khususnya tokoh agama dan tokoh adat yang dengan sungguh-sungguh berusaha menjaga situasi sosial agar tidak mengarah pada kerusuhan yang memperkeruh suasana dan mengganggu keamanan serta ketertiban.
Dalam pertemuan itu, mereka mengingatkan bahwa “peristiwa yang terjadi di Surabaya, Malang serta beberapa titik lainnya, yang berdampak pada gejolak di Tanah Papua telah menodai upaya Pemerintah yang telah berusaha meningkatkan layanan kesejahteraan dasar bagi masyarakat Papua. Ini harus menjadi pelajaran bersama bahwa segala bentuk aksi kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi kepada siapa pun tidak dapat dibenarkan. Segala upaya pengabaian atau upaya memperlambat penyelesaian masalah hanya menjadi sumber permasalahan baru di masyarakat.”
[khaskempek.com]Dalam pernyataannya, mereka juga menyampaikan lima sikap.
Pertama, mendorong pemerintah untuk menciptakan perdamaian yang abadi di Papua. Perdamaian harus diletakkan sebagai puncak dan tujuan dalam membangun kehidupan berbangsa dalam bingkai kebinekaan.
Kedua, mendorong pemerintah agar mengedepankan dialog dan pendekatan kemanusiaan dalam menciptakan perdamaian di Papua dan sejauh mungkin menghindari pendekatan militeristik yang justru cenderung membuat keadaan semakin buruk.
Ketiga, meminta kepada segenap tokoh bangsa, pemuka agama, tokoh adat, dan segenap elemen bangsa untuk membantu bahu-membahu merajut dialog guna merekatkan bangunan kebersamaan antar masyarakat.
Keempat, meminta kepada pemerintah untuk menunaikan kewajiban-kewajiban yang belum dipenuhi berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus, yang antara lain pembentukan komisi HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang berkedudukan di Papua. Kelembagaan ini penting untuk digunakan semua pihak dalam menyelesaikan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Selain itu, pemerintah juga perlu mengutamakan pendekatan musyawarah dalam menanggapi aspiras-aspirasi masyarakat yang berkembang.
Kelima, meminta segenap pihak dan seluruh komponen bangsa untuk menahan diri dari mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat memperkeruh keadaan (di segala ruang publik, termasuk di media sosial) dan mari kita ciptakan suasana yang sejuk, tenang dan damai. Kepada aparat penegak hukum, kami juga mengingatkan agar lebih proporsional dalam merespon komentar-komentar warga masyarakat yang beredar terutama di media sosial.
Hadir dan turut menandatangani pernyataan sikap tersebut, KH. Said Aqil Siroj (Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Pendeta Gomar Gultom (Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Pastor Agustinus Heri Wibowo (Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia), Pastor Franz Magnis-Suseno (STF Driyarkara Jakarta), Ronald Rischardt (Biro Papua PGI), Antie Sulaiman (Universitas Kristen Indonesia), Alissa QM. Wahid (Sekretaris Nasional Gusdurian), dan Usman Hamid (Amnesty Internasional).
Yola SAL