HIDUPKATOLIK.com – Pelayanan Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC di Keuskupan Amboina tak lepas dari ragam persoalan kemanusiaan. Kerendahan hati dan kepasrahan kepada Kristus adalah jalan menyelesaikan segala persoalan.
Gedung Keuskupan Amboina, berada di Jalan Pattimura 26, tepat di pusat Kota Ambon, Maluku. Tempat ini sangat strategis. Di bagian Utara berbatasan dengan Sekolahan Xaverius, di Selatan ada Seminari Xaverianum. Di sebelah barat ada sekolah dan perkantoran, serta di Timur ada Gereja Katedral St Fransiskus Xaverius. Masih ada lagi, tak jauh dari sana terdapat Polda Maluku.
Gedung keuskupan sering diidentikan dengan “gedung putih”. Sementara di kalangan para imam, rumah keuskupan disebut “rumah bapak.” Sebutan “rumah bapak” untuk gedung tiga lantai ini mau menggambarkan bahwa di tempat ini ada seorang bapak yang baik yaitu Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC.
Di antara para imam ada seloroh, “Di rumah bapak ada banyak “susu dan madu”. Mereka yang di rumah bapa, hidupnya pasti “terjamin”.
Seloroh ini bisa saja benar sebab kemegahan gedung ini tidak saja terlihat dalam bentuk fisiknya. Setiap anggota rumah ini, dituntut untuk disiplin hidup. Selain disiplin, Mgr Mandagi juga menekankan semangat kebersamaan. Pagi hari semua wajib mengikuti Misa, pukul 10.00 WIT ada snack, pukul 13.00 WIT makan siang, dan makan malam pukul 19.00 WIT, sebelum istirahat ada1 doa completorium (doa penutup), semua yang tinggal di keuskupan wajib hadir. “Doa dan makan bersama itu aturan wajib di rumah keuskupan. Biarpun berkarya di kantor atau sekolah, tetapi jam makan dan doa harus bersama-sama,” ujar Mgr Mandagi.
Kemanusiaan Anak Allah
Disiplin hidup dan kebersamaan ini tergambar jelas dalam Sinode III Keuskupan Amboina yang dihelat di Wisma Gonsalo Veloso, Ahuru, Ambon, Senin-Minggu, 9-15/9. Sedikitnya 250 imam dan diakon baik dari Tarekat Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC), imam Serikat Sabda Allah (SVD), maupun imam Diosesan Amboina berpartisipasi dalam acara ini. Sukacita dan kegembiraan menjadi suasana dominan dalam sinode.
Sinode III ini berlangsung dalam sorotan tema, “Gereja Katolik Keuskupan Amboina Membarui dan Memurnikan Diri dan Pelayanannya di Maluku dan Maluku Utara Demi Perwujudan Dirinya sebagai Gereja yang Mandiri”.
Pastor Bernard Rahawarin selaku Ketua Steering Commite Sinode III mengatakan, sidang sinode ini adalah memperbaharui diri, sebuah evaluasi untuk maju ke depan. Ia menjelaskan, ada 10 materi yang dibahas, yakni: persekutuan, peribadatan, pelayanan, kesaksian, pewarnaan, keluarga, sekolah-sekolah katolik, rumah sakit dan balai pengobatan Katolik, seminari, dan juga aneka-aneka persoalan termasuk pengelolaan harta benda gereja.
Gawai akbar umat ini juga bertepatan dengan perayaan 25 tahun episkopal Mgr Mandagi. Perayaan ini berlangsung di Gedung Serbaguna Xaverius, Ambon, Rabu, 18/9. 17 uskup Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) hadir. Pesta 25 tahun episkopal ini diawali dengan Perayaan Ekaristi di Gereja Katedral Ambon lalu dilanjutkan dengan acara seremonial.
Mgr Mandagi dalam refleksinya menyebutkan, bahwa seorang manusia selalu ada pertumbuhan. Artinya tidak selalu muda dan akan tua. Dengan usia 70 tahun sekarang dan masa jabatan 25 tahun, angka ini menyadarkan diri sendiri bahwa satu saat akan berakhir juga. “Angka juga memberikan pertanyaan apakah dalam usia 70 dan 25 tahun, saya sungguh menjadi alat Allah sebagai uskup? Apakah saya benar-benar jadi orang berguna bagi keuskupan atau tidak. Tapi bukan saya yang menilai, publiklah yang nilai itu,” ujarnya.
Merefleksikan moto episkopalnya, “Nil Misi Christum” (Tidak ada apapun selain Kristus), Mgr Mandagi mengatakan, dirinya adalah pribadi yang tegas dan konsekuen. Ia tidak mau “macam-macam”, sebab jika sudah mengarahkan hati untuk Kristus, kita percaya saja kepada Dia. Mungkin atas kepercayaan ini, ia dipercayakan beberapa jabatan termasuk Paus Fransiskus menunjuknya sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke.
Selama kepemimpinannya, lanjutnya, perjuangan terhadap nilai kemanusiaan adalah salah satu fokus utamanya. Sebab menurutnya mereka yang anti kemanusiaan, berarti mereka anti Allah. Karena kemanusiaan adalah gambaran Allah. “Kita sama-sama manusia. Jangan membuat aksi tanpa pikiran, ide, gagasan. Tidak ada perdamaian tanpa keadilan. Di mana-mana terjadi ketidakadilan, pasti terjadi konflik,” pesan Mgr Mandagi.
Sejalan dengan ini, Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Antonius Subiyanto Bunjamin OSC mengungkapkan rasa bangga kepada Mgr Mandagi. Menurutnya, Mgr Mandagi merupakan satu dari sekian uskup yang peduli terhadap bangsa dan negara. “Ia adalah uskup yang mau dan mampu menjalankan tugas apa saja yang dibebankan kepadanya. Maka di usia ke-70, Mgr Mandagi diberikan anugerah untuk menjadi Admistrator Apostolik dan ia menerima semuanya dengan senang hati,” jelas Mgr Anton.
Sementara itu, Gubernur Maluku Murad Ismail saat jamuan makan siang di kediaman gubernur, mengharapkan dukungan umat Katolik dalam membantu pemerintah Maluku. Murad mengatakan hal itu kepada para uskup, pastor, suster dan seluruh peserta sidang.
“Sebagai gubernur dan memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar, salah satu tugasnya bagaimana menyejahterakan masyarakat Maluku dan mengurangi angka kemiskinan, serta menjaga sumber daya alam yang berlimpah ,untuk dinikmati
oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. ini bukan perkara yang mudah. Untuk itu saya butuh dukungan dari umat Katolik di Maluku,” kata Murad.
Jalan Panjang
Perayaan 25 tahun episkopal Mgr Mandagi, kiranya tidak saja menjadi gawai umat Katolik, tetapi juga sukacita bagi masyarakat Maluku. Keberadaan Kota Ambon yang sekarang telah memasuki usia ke-444, tidak lepas dari pengaruh Kekristenan melalui seorang misionaris Katolik, Fransiskus Xaverius. Pada 1 Januari 1546, Xaverius menginjakkan kakinya pertama kali di Desa Hative, Ambon untuk memulai tugas kerasulan di wilayah Maluku. Iman di tanah misi Maluku bertumbuh subur dengan adanya baptisan pertama tahun 1534 di Ternate, Maluku Utara, ketika beberapa anggota masyarakat dari desa Mamuia, Kepulauan Halmahera, dibimbing ke pangkuan Gereja Katolik oleh seorang pedagang Portugis bernama Gonzalo Veloso.
Pada tanggal 22 Desember 1902, Kongregasi Ajaran Iman, Propaganda Fide, di Roma, mendirikan “Prefektur Apostolik Belanda New Guinea,” dan Langgur, Maluku Tenggara, ditetapkan sebagai pusat misi. Inilah bagian Gerejani pertama yang otonom di luar Vikariat Batavia.
Tanggal 28 November 1903, misionaris MSC masuk menggantikan misionaris Serikat Yesus. Prefek Apostolik pertama adalah Pastor Mathias Neyens MSC sampai Propaganda Fide meningkatkan misi Katolik di Maluku menjadi sebuah Vikariat Apostolik yang dipimpin Mgr Johannes Aerts MSC.
Setelah kematian Mgr Aerts yang dieksekusi mati oleh tentara Jepang pada 30 Juli 1942, lima tahun kemudian tahun 1947, Pastor Jacobus Grent MSC ditunjuk sebagai pengganti Mgr Aerts. Kemudian tanggal 3 Januari 1961, ditetapkan pemimpin hierarki untuk seluruh Indonesia. Maluku ditetapkan juga sebagai sebuah keuskupan mandiri dengan Mgr Grent MSC sebagai uskup wilayah yang pertama.
Pada tahun 1965, Mgr. Andreas P. C. Sol MSC menggantikan Mgr Grent MSC sebagai Uskup Amboina. Tahun 1981 dilaksanakan Sinode I Keuskupan Amboina yang menghasilkan dua keputusan penting, yakni mendukung kehadiran komunitas basis dan mendirikan sebuah Pusat Pastoral dengan sejumlah komisi yang mengkoordinir pelbagai kegiatan pastoral di keuskupan. Tahun 1983 Pastor Joseph Tethool MSC ditahbiskan menjadi Uskup Auxilier Keuskupan Amboina.
Pada tahun 1994, Mgr. Andreas P. C. Sol MSC digantikan oleh Mgr. Mandagi. Di bawah kepemimpinan Mgr Mandagi jumlah imam diosesan terus bertambah. Mgr Mandagi memainkan peranan sentral dalam mengatasi dan menciptakan rekonsiliasi di Maluku, dengan dibantu Crisis Centre Keuskupan Amboina.
Di bawah kepemimpinan Mgr Mandagi MSC pula, Gereja Keuskupan Amboina berhasil melaksanakan Sinode II Keuskupan Amboina di Ambon pada tanggal 7-18 September 2004. Sinode ini berhasil merumuskan visi, misi, strategi ,dan program prioritas Keuskupan Amboina.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.39 2019, 29 September 2019