HIDUPKATOLIK.com – Belajar tidak mengenal usia dan tidak ada salahnya memulai sejak dini. Roses adalah satu dari sekian wadah bagi remaja yang mau berproses dengan sebayanya.
Awalnya, Blasius Inigo Satria sedikit malu saat ikut-ikutan mendaftar menjadi anggota Roses di Paroki Maria Bunda Karmel (MBK), Tomang, Jakarta Barat. Namun, itu cerita lama, sekarang Inigo telah berubah menjadi pribadi yang aktif sampai tidak kenal kata malu lagi.
Berbeda dengan kawannya, Cindy Saptaputri, biasanya dipanggil Cindy. Siswi SMP Laurentius ini justru memiliki jiwa kepemimpinan dan suka berorganisasi. Saat ia mau naik ke kelas 6 SD, ia memutuskan untuk daftar menjadi anggota Roses. “Yang jelas sejak ikut Roses, aku jadi lebih berani. Lebih speak up khususnya di sekolah. Misalnya, ditanya guru siapa yang mau maju, aku tanpa ragu maju kedepan kelas,” ujar kelahiran tahun 2005 ini.
Dari Cilacap
Roses adalah suatu gerakan dan tempat untuk para remaja Katolik yang berumur 12-15 tahun mengembangkan kepribadiannya dengan teman sebaya. Gerakan ini digagas oleh Pastor G. Basir Karimanto OMI, yang saat itu bertugas di Cilacap, Jawa Tengah. Pastor Karimanto ingin membentuk wadah bagi remaja, sebagai tempat pembinaan iman dan kepribadian remaja sejak dini.
Sejak itu, Roses hadir untuk membina dan membentuk kepribadian remaja. Sasaran utama pembinaan dalam Roses adalah memberi dasar yang kuat, dalam mengembangkan kecintaan remaja pada Kristus.
Setiap tahun, Roses mengadakan acara puncak berupa Weekend Roses (WER). Acara ini dilaksanakan pertama kali pada tahun 1989 di Cilacap dan Purwokerto. Di Jakarta, kegiatan ini diprakarsai oleh Paroki St Mathias Cinere, Paroki Maria Bunda Karmel Tomang, dan Paroki Maria Kusuma Karmel Meruya.
Dengan semboyan yakni “we shall offer our lives to all mankind like a blooming roses”, Roses mengajak remaja mempersembahkan sesuatu yang paling indah dalam pribadi mereka masing-masing kepada sesama. Cindy mengatakan, dalam berproses di Roses, orang muda Katolik diharapkan juga membawa dampak yang baik untuk sekitarnya.
Belajar Berorganisasi
Di Paroki Tomang, Roses MBK berada di bawah naungan dari Seksi Kepemudaan. Tentunya, Roses memiliki susunan kepengurusannya sendiri dengan julukan unik. Tahun ini Cindy yang terpilih sebagai “bulu” atau ‘bu lurah’. Fungsi “bulu” ini menjadi semacam koordinator yang bertugas mengawal tim untuk menyiapkan WER di tahun berikutnya. Dalam setiap kegiatan, Roses MBK juga memiliki pendamping serta penasehat yang disebut “papi mami”, disingkat “pimi”.
Cindy menambahkan, Roses juga mempunyai koordinator paroki sebagai jembatan komunikasi antara Roses dan Seksi Kepemudaan serta paroki. Koordinator paroki ini dipegang oleh orang yang sudah pernah menjadi “palu” dan “bulu”. “Dulu Inigo jadi palu di tahun 2018 kemudian sekarang dia jadi koordinator paroki. Selalu begitu perputarannya,” terang Cindy. Untuk anggota baru juga juga mendapatkan julukan, yakni Aros (anak roses).
Dengan sendirinya, anggota Roses dapat belajar tentang organisasi ketika menjadi bagian dari tim yang menyiapkan acara WER. Pada umumnya, WER berlangsung selama tiga hari dua malam. Biasanya ditutup dengan Ekaristi. “Tidak bisa dibilang retret karena kami banyak main games,” jelas Cindy.
WER adalah ajang bagi tim untuk belajar bagaimana membuat suatu acara juga sebagai pengenalan bagi orang muda di paroki yang tertarik ikut di Roses. Cindy menjelaskan, biasanya WER dilaksanakan sekitar bulan Juni atau Juli. Hal ini untuk menyesuaikan dengan hari libur sekolah. Beberapa bulan sebelumnya, mereka telah membuka pendaftaran di depan gereja bagi siapa saja yang ingin bergabung.
Kegiatan di Roses tidak berhenti sampai di WER saja. Setelah WER, ada follow up sebulan sekali dan mini weekend setiap bulan Desember. Tujuan follow up itu lebih mendekatkan para aros dengan temantemannya, sedangkan mini weekend, lebih untuk pembentukan tim yang nantinya akan menyiapkan WER.
Berkesempatan menjadi palu bulu adalah kesempatan yang berharga bagi Cindy juga Inigo. “Awal-awal kami harus mengompakan tim, karena mereka ikut Roses kebanyakan karena diajak oleh teman. Jadi kadang mereka terbuka dengan orang tertentu. Atau bahkan mereka membuat geng. Sedangkan kami dilatih untuk terbuka satu sama lain,” ujarnya.
Cindy juga belajar memahami karakter teman sekitarnya apalagi dalam bekerjasama. Ia mengalami, tidak semua orang bisa diajak kerja sama. Hal ini juga karena umur anggota yang menjadi “bulu masih terbilang muda. “Jadi aku belajar strateginya untuk approach mereka, yang lebih tua diatas aku, biar kompak,” ujarnya.
Pengalaman Cindy dirasakan juga oleh Inigo. Menurutnya, saat ia menjadi palu tahun lalu, selain belajar tentang tanggung jawab, ia belajar cara berelasi dan berkoordinasi dengan orang lain. “Di tim kadang ada yang berantem, ada yang baper-baperan, nanti jadi ngancem tidak mau ikut WER. Dari situ, aku belajar bagaimana berhadapan dengan dinamika seperti itu. Belajar menemukan solusi,” paparnya.
Tidak hanya bertugas menyiapkan WER, tim juga bertugas menjaga anggota baru agar merasa nyaman di Roses. Tak bisa dipungkiri, kadang masih ada anggota yang cenderung berkelompok, entah karena satu sekolah atau satu paroki. Karakter mereka juga beda-beda, ada yang rame orangnya atau yang pendiam. Hal ini tentu mendatangkan tantangan tersendiri untuk menyatukan mereka. “Nah jika anggota yang tidak nyaman seperti ini biasanya mereka keluar. Akhirnya kami juga sebagai tim support mereka untuk berbaur” jelas Inigo.
Asah Kreatifitas
Bagi Inigo dan Cindy, berproses di Roses, dapat menemukan banyak hal, mulai bisa memperluas pergaulan, berbaur dengan sesama dengan tidak memandang gender dan belajar berbicara depan orang banyak. Tapi, beberapa tahun terakhir mereka mencoba membuat perubahan, inovasi, salah satunya, mengusung tema-tema setiap acara WER.
Inigo mencontohkan, tema WER ke-18 mengusung tema makanan. “Jadi kami merefleksikan bagaimana sebuah makanan dibuat dari berbagai macam bumbu tapi jadi enak dimakan.” Hal ini sama seperti anggota di Roses, yang berbeda kepribadian tapi bisa kompak. Ia melanjutkan, tahun ini Roses juga membuat tema planet. Ketika planet mengorbit matahahari, anggota Roses mengorbit ke Tuhan.
Cindy mengakui, saat follow up kegiatannya kadang membosankan. Ini bisa juga yang menjadi pemicu orang tidak ingin datang dalam kegiatan Roses lagi. Ke depan, Inigo dan Cindy berencana tidak hanya memberi inovasi terhadap WER tetapi juga pada acara yang lain. Seperti semboyannya, mereka berharap wadah ini akan selalu berkembang, “like a blooming roses”.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.31 2019, 4 Agustus 2019