HIDUPKATOLIK.COM– HUBUNGAN agama dan politik selalu heboh. Ajaran agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas. Adapun politik menekankan aturan main yang mengarah pada perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara. Kedua aspek ini pada praktiknya menyatu tetapi kadang disalahgunakan oleh sebagian orang.
Dalam sejarah Kekristenan, pemisahan antara hak Gereja dan negara sangat kental. Masyarakat Kristiani di Barat membuat pemisahan jelas antara agama dan negara. Agama itu urusan pribadi. Negara tidak boleh intervensi. Negara melindungi dan mengatur seseorang sebagai warga negara, bukan penggembala umat yang beriman.
Sayang pada praktiknya banyak warga Indonesia baik kelompok maupun pribadi yang mencoba memasukan agama dalam ranah politik. Banyak tokoh politik yang hadir berlatarbelakang agama dan akhirnya tidak ada lagi ruang pemisah nilai-nilai politik dan agama. Hal ini melahirkan banyak sisi negatif. Jika terlalu menitikberatkan nilai-nilai agama maka seseorang bisa pada tindakan radikalisme dan tindakan-tindakan intolerasi.
“Maka paling penting bila agama masuk ranah politik, orang Indonesia dituntut untuk melibatkan diri dalam demokrasi yang bermartabat sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila.”
Demikian inti pidato kunci Uskup Adrianus Sunarko OFM sebagai keynote speaker dalam acara pembukaan Pertemuan Nasional Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) XI di Wisma Kinasih, Depok, Jawa Barat, Jumat-Minggu, 30-31/8.
Bukan Silent People
Pertemuan Nasional FMKI XI tahun 2019 ini mengambil tema, “Mengawal NKRI: Reaktualisasi Peran Umat Katolik di Era 4.0”
Pertemuan ini diawali dengan Misa syukur oleh Uskup Bogor Mgr Paskalis Bruno Syukur OFM didampingi Kepala Paroki Cibinong Romo Agustinus Suyatno dan beberapa romo lainnya.
Mgr Paskalis dalam kotbahnya mengajak anggota FMKI agar terus membumikan narasi-narasi positif terkait Pancasila. Ia juga berpesan bahwa infrastruktur bangsa hendaknya digunakan dalam kerangka pewartaan Sabda Allah dan tidak untuk radikalisme atau kepentingan kelompok lain.
Sementara itu, Ketua Panitia Daniel Radjali dalam sambutannya mengatakan bahwa sedikitnya 124 peserta yang terdiri dari anggota FMKI seluruh Indonesia baik di provinsi, kabupaten, dan ormas-ormas Katolik, para pastor, dan undangan yang hadir dalam Pertemuan Nasional ini.
Senada dengan Daniel, Sekretaris Nasional FMKI Veronica Wiwiek Sulistyo dalam sambutannya menekankan bagaimana peran FMKI harus terlibat dalam merawat Pancasila yang akhir-akhir ini dirongrong oleh ideologi-ideologi lain.
Veronica juga mengatakan akhir -akhir ini banyak kelompok mulai terpapar radikalisme bahkan ASN dan BUMN juga terpapar. Intoleransi dan pengabaian Pancasila juga makin melebar. “Maka saat ini bukan lagi kita harus menjadi silent people, sebaliknya FMKI harus berdiri menyuarakan pesan damai yang tertuang dalam semangat Pancasila,” ungkapnya.
Ladang dan Tanah Kita
Kegiatan ini dibuka oleh Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Paulus Christian Siswantoko mewakili Ketua Komisi Kerawam KWI Mgr Vincentius Potokota.
Dalam sambutannya Romo Koko, sapaanya, mengatakan tema ini menarik karena bangsa kita sedang tertatih – tatih mengedepankan Pancasila. Romo Koko menegaskan bahwa paham radikalisme makin merajalela dari Paud sampai Perguruan Tinggi. Tidak saja itu, disharmonisasi sosial mudah pecah, misal, kasus di Papua beberapa Minggu terakhir ini.
“Sudah saatnya kita melihat sebagai orang Katolik yang perlu kita buat terhadap bangsa kita. Tentu dengan menjadi garam dan terang di Indonesia. Kita siap diutus di ladang dan tanah yang sama yaitu Indonesian supaya nilai-nilai keindonesiaan kita makin muncul dalam kehidupan bersama” pungkasnya.
Pertemuan yang berlangsung dari tanggal 30 Agustus – 1 September 2019 ini akan dibahas secara mendalam situasi dan peta politik , arah pendidikan, dan budaya serta pemanfaatan teknologi informasi.
Yusti H. Wuarmanuk (Depok, Jawa Barat)