HIDUPKATOLIK.com – Penyebaran benih-benih paham radikal ke masyarakat dengan sasaran pertama perguruan tinggi bukan berita baru. Kurangnya dinamika dalam menggali kekritisan di kampus merupakan salah satu penyebabnya. Hal ini disampaikan oleh pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Puspitasari usai bedah buku Ancaman Radikalisme dalam Negara Pancasila, di Ikatan Sarjana Katolik Center, Jakarta Pusat, Jumat, 16/8.
“Situasi diskusi yang dibawa ke kampus hanya terkait dengan ilmunya tanpa melihat korelasi dengan kepentingan atau kebutuhannya di masyarakat. Pengembangan keilmuan tanpa melihat relevansinya kepada masyarakat, sehingga gairah diskusi dan gairah kritis itu hilang,” ungkapnya. Normalisasi kampus, menurutnya, mengikis daya kritis mahasiswa sehingga melancarkan masuknya kajian-kajian yang sifatnya nir atau tidak ada kekritisan sama sekali, seperti kelompok religius. “Cuma berdoa, tidak ada spirit kekritisan. Hanya doktrin dari satu ke sisi lain,” ujarnya.
Dalam menghadapi radikalisme dan intoleransi di lingkungan kampus, Puspitasari mengatakan perlu ada kesadaran mahasiswa bahwa situasi tidak boleh dibiarkan dan bahwa mahasiswa harus bersikap dan bersuara, tapi bukan di lingkungan yang sama dengannya. “Suaramu tidak akan kedengaran. Maka harus bergabung dengan elemen-elemen dalam masyarakat supaya kemudian muncul kerja jaringan,” ujarnya.
Puspitasari juga menyebutkan organisasi mahasiswa Katolik tidak bisa mengandalkan diri sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan organisasi lain di luar Gereja. “Dulu sebelum ‘98 orang-orang muda berkumpul, karena dipersatukan oleh satu persamaan musuh yaitu orde baru. Kita juga punya musuh yang sama saat ini, yaitu radikalisme dan intoleransi. Musuh bersama ini tidak bisa kita hadapi jika kita tidak gerak bersama,” imbuhnya.
Hermina Wulohering
HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019