HIDUPKATOLIK.com – Perbedaan Ritus Latin dan Timur semakin memperkaya spiritualitas Gereja Katolik yang Kudus, Katolik, dan Apostolik.
Pancaran tegas nan lembut Theotokos (Maria Bunda Allah) memberikan kesejukan pada setiap orang yang datang mengunjungi Komunitas Rumah Byzantin St Dimitry di Tanjung Duren, Jakarta Barat, 10/8. Di rumah itu, nuansa emas yang mendominasi ruang tamu. Emas menjadi warna yang dominan sebab filosofi Gereja Katolik Yunani-Ukraina (GKYU) ingin menegaskan Allah yang tidak pernah berubah, seperti warna dan nilai emas yang tidak pernah berubah.
Tak ayal, setiap orang yang hadir langsung menyapukan mata melihat tulisan ikon yang menghiasi Ikonostasis (ikon yang membatasi antara altar dan panti umat) karya seorang anak berusia 16 tahun bernama Christian Tombiling. Decak kagum timbul karena tiap goretan tulisan ikon Christian memiliki presisi kesamaan dengan ikon yang umumnya terpajang di GKYU. Tidak hanya ikon khas GKYU, ikon hasil inkulturasi budaya Jawa yang menggambarkan sosok Kristus Raja Semesta Alam (Pantokrator) juga terlihat.
Kehadiran umat yang datang dari berbagai paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) ini adalah untuk menuntaskan dahaga akan pengetahuan mengenai spiritualitas Byzantin. Sekitar belasan umat Katolik hadir ingin menggali lebih dalam kekayaan Gereja Katolik Ritus Timur. Salah satunya, Frater Aldo OFM yang sudah lama mengunjungi Komunitas Rumah Byzantin. Ketertarikannya kepada Ritus Timur menghantarkan ia bertandang ke tempat ini.
Guna menjawab rasa penasaran umat sekaligus ingin mengenalkan salah satu kekayaan Gereja Katolik. Komunitas Rumah Byzantin St Dimitry juga mengadakan seminar bertajuk “Spiritualitas Byzantin yang Ortodok dan Katolik” pada hari yang sama.
Seminar dibuka dengan Liturgi Ilahi (Misa). Christian menjelaskan, penyebutan Liturgi Ilahi ingin menampilkan sebuah bakti anak-anak manusia di mana anugerahnya datang dari Allah. Dari pera-yaan Liturgi Ilahi tersebut, peserta dapat merasakan perbedaan mendasar teologi khas Ritus Latin dan Ritus Timur. Pastor Olexander Kenes asal GKYU memimpin Liturgi Ilahi tersebut. Dalam homilinya, Pastor Olexander menceritakan semangat para kudus GKYU yang relikuinya terpajang di meja kecil.
Kemudian, seminar dilanjutkan dengan pemaparan dari simpatisan komunitas yang sudah lama membantu Pastor Olexander, Wolfgang Xaverius Dorojatun Jalma Nuswantara. Jalma menjelaskan ada sekitar 23 perbedaan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Katolik Timur, namun ada empat yang ditekankan yakni, pertama “janggut”, sebagian besar imam Ortodok mempertahankan tradisi untuk tidak mencukur tepi rambut dan janggut. Hal ini berbeda dengan Imam Katolik Roma yang diperbolehkan mencukur.
Perbedaan kedua adalah klausa “Filioque” ‘Putra’ pada teks Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Ortodok menolak penambahan klausa ini karena dianggap merendahkan derajat Roh Kudus sebagai yang bukan hanya keluar dari Bapa saja, melainkan juga dari Putra. Jika ditilik dari sejarah, penambahan klausa “Putra” bertujuan untuk meredam gerakan Arianisme yang menyangsikan keallahan Kristus.
Ketiga, Roti Ekaristi. Katolik Roma menggunakan roti tidak beragi yang disebut hosti, sedangkan Ortodok menggunakan roti beragi yang disebut prosfora (dalam bahasa Yunani berarti persembahan). Keempat, supremasi Uskup Roma. Katolik Roma memiliki paham bahwa Paus sebagai Uskup Roma karena memiliki suksesi Rasul Petrus sebagai kepala para rasul. Maka, Paus juga memiliki supremasi atas Patriarkh yang lain.
Ortodok mengakui adanya suksesi (bukan dari St Petrus tetapi dari Linus). Ortodoks juga mengakui “primasi” Uskup Roma tapi bukan “supremasi”. Primasi Paus diterima sepenuhnya oleh Katolik Timur sebagai yang utama dari semua yang setara. “Perlu diingat perpisahan Ortodok dan Roma berlangsung lebih karena motif politik dan pendamaian ini adalah yang patut kita rayakan sebagai satu keluarga Gereja Katolik,” tandas Jalma.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.34 2019, 25 Agustus 2019