HIDUPKATOLIK.com – Sengketa pemilihan presiden (pilpres) menjadi topik panas yang tak lekang oleh waktu. Sampai suatu saat, seorang filsuf mengatakan agar mahkamah konstitusi bisa melakukan judicial activism. Artinya, hakim memposisikan dirinya sebagai yang memberikan pertimbangan, tidak melulu memutuskan perkara berdasarkan undang-undang. Hal ini yang diungkapkan oleh Pastor Stefanus Hendrianto SJ dalam diskusi karyanya Law and Politics of Constitutional Courts: Indonesia and the Search of Judicial Heroes, di Gedung Pakarti Center, Jakarta Pusat, 25/7.
Dalam buku tersebut, mantan aktivis 98 ini mengupas berbagai karakter kepemimpinan yang bisa diadopsi oleh seorang hakim untuk mengambil keputusan dan memikirkan dampak dari keputusan tersebut bagi masyarakat pada masa mendatang.
Sementara, Ketua Departmen Politik dan Perubahan Centre for Strategis International Studies (CSIS), Vidhyandika Djati Perkasa, memaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan demokrasi di Indonesia, antara lain, biaya politik yang tinggi karena efek pemilu, intoleransi meningkat, dan tak ada penghargaan terhadap hak-hak minoritas.
Ia berharap, hakim dan kuasa yang dimilikinya berperan sentral dalam menjaga konstitusi, kebebasan warga negara, dan marwah demokrasi.
Diskusi ini juga menghadirkan beberapa pembicara lain, seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Pengamat Politik Senior J. Kristiadi, Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar, dan Ahli Hukum Tata Negara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti.
Karina Chrisyantia
HIDUP NO.31 2019, 4 Agustus 2019