HIDUPKATOLIK.com – Tata hias ruang sakral bisa mengajak insan mengarahkan hati menuju persatuan dengan Sang Misteri.
Liturgi Gereja Katolik dikenal sebagai tata ibadat yang hikmat. Liturgi sebagai ungkapan syukur kepada Allah ini ditata sedemikian rupa sehingga penuh keindahan dan keagungan. Di balik tata liturgi, ada landasan teologis dan biblis.
Di samping unsur-unsur pokok ini, ada pula aspek pendukung yang dapat menambah suasana hikmat dalam liturgi. Salah satu yang menonjol adalah dekorasi liturgis yang mewujudkan rupa-rupa citra surgawi, diantaranya hiasan bunga yang sesuai dengan misteri liturgi yang dirayakan.
Terkait hal ini, HIDUP mewawancarai Dosen Liturgi di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Jawa Barat sekaligus Direktur Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia, Pastor Christophorus H. Suryanugraha OSC.
Adakah pegangan resmi Gereja untuk dekorasi altar?
Sesungguhnya Gereja sendiri tidak mengeluarkan suatu dokumen atau pedoman khusus tentang dekorasi liturgi. Tentang “menghias” memang disebut dalam salah satu buku liturgi resmi “Pedoman Umum Misale Romawi” (PUMR) no 305.
Pada dasarnya, dekorasi merupakan salah satu ekspresi karya manusia. Lebih tepatnya, dekorasi dimasukkan dalam wilayah kebudayaan, khususnya bidang kesenian, keindahan, keelokan, kecantikan, estetika, dan lainnya. Berdasarkan hal ini, titik berangkat perbincangan bisa dari bab tujuh Konstitusi Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium (SC), artikel 122-130, tentang “Kesenian Religius dan Perlengkapan Ibadat”.
Masih ada dokumen lain misalnya; Konstitusi Pastoral Gaudium et Spess no 62 yang menyinggung “Kesenian Masa Kini”. Atau juga bisa dilihat dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1993) yang menyinggung “kebenaran, keindahan, dan kesenian sakral” pada bagian VI nomor 2500-2503.
Bila dalam dekorasi altar salah satu yang penting adalah keindahannya, apakah dengan demikian sama dengan kesenian liturgis?
Kesenian liturgis dimaksudkan untuk mengungkapkan keindahan Allah yang tak terperikan dalam karya manusia melalui cara tertentu. Dengan kesenian, manusia dibantu untuk memuliakan Allah melalui perayaan liturgi.
Tujuan “kesenian liturgis” itu searah dengan tujuan liturgi itu sendiri, yakni glorifikasi (pemuliaan bagi Allah) dan santifikasi (pengudusan bagi manusia). Dekorasi yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan tujuan liturgi. Dekorasi bukan sekadar membuat suasana berbeda, namun terutama adalah demi “suksesnya doa”.
Dekorasi memberi atau menambah dimensi keindahan secara visual. Keindahan itu bergugus ganda: sebagai ungkapan diri umat yang dipersembahkan bagi Allah, dan sebagai anugerah dari Allah bagi seluruh peraya yang mengalaminya.
Apa istilah yang tepat untuk perangkai bunga dalam perayaan liturgi? Apakah istilah ini tepat?
Istilah “perangkai bunga” mungkin belum tepat untuk melukiskan pentingnya peranan mereka dalam liturgi. Istilah ini bisa saja dimengerti sebatas arti teknis-praktis. Asal mampu merangkai bunga, biasanya disebut perangkai bunga. Bisa jadi karyanya ini tak terasa artistik, tak indah, kurang berseni. Seorang perangkai bunga sewajarnya dapat berkembang menjadi artis-floral (seniman-seniwati floral), bukan sekadar puas menjadi perangkai bunga saja. Seorang florist biasanya juga berbakat seorang artist. Artinya, ahli merangkai bunga dan biasanya berjiwa seni.
Kalau begitu, bagaimana seorang artist-floral bisa ikut memuliakan Allah?
Ada beberapa konteks untuk menggali spiritualitas para artist-floral. Dalam konteks liturgi, mereka perlu menyadari bahwa karyanya merupakan ungkapan doa, bukan sekadar bagian dari dekorasi liturgis. Ketika berkarya, ia mencurahkan pengalaman spiritualnya, keyakinannya, bahkan harapannya. Ia sedang dalam tugas menyediakan jalan bagi pertemuan antara Allah dengan manusia. Bunga-bunga yang dirangkai adalah bentuk pujian, persembahan, dan ucapan syukur kepada Allah.
Adakah patokan yang harus diperhatikan dalam menciptakan dekorasi liturgis yang ramah?
Dekorasi dibutuhkan untuk menciptakan suasana ramah dan efektif yang menunjang partisipasi umat dalam perayaan liturgi. Dekorasi yang ramah dapat dilukiskan untuk mengundang umat memasuki ruang terhias dengan sukacita, nyaman, dan aman. Karena itu unsur-unsur dekorasi jangan menjadi penghalang bagi partisipasi itu.
Fokus dekorasi pun jangan timpang, tetapi harus proporsional. Dekorasi juga dibuat untuk tidak mengubah maksud sejati dari ruang liturgi. Misal, dekorasi tempat liturgi jangan membangkitkan imajinasi akan sebuah gedung pertunjukan, panggung gembira, tempat perhelatan seminar, atau bak pasar kembang.
Contoh kasus yang paling nyata adalah liturgi perkawinan di Gereja. Belasan atau puluhan juta digelontorkan untuk membeli jenis-jenis bunga yang mahal dan semerbak, demi terciptanya “suasana ramai”. Namun, semua itu tanpa memperhatikan arti penting yaitu partisipasi.
Sebenarnya, bagaimana fungsi rangkaian bunga dalam tata ruang liturgis?
Secara umum, perabot utama dalam gereja, khususnya untuk perayaan Ekaristi adalah altar, mimbar, kursi imam. Unsur lain yang berkaitan adalah tabernakel, meja kredens, kursi pelayan altar, tempat lilin, dan sebagainya. Rangkaian bunga dapat dibuat untuk ditempatkan di sekitar unsur-unsur itu.
Prinsipnya rangkaian bunga dan unsur dekoratif lainnya jangan sampai mengaburkan keberadaan dan makna unsur-unsur itu. Misal, bunga yang berjibun menghiasi altar, dapat melenyapkan penampilan altar sebagai meja perjamuan. Hal ini juga berlaku bagi dekorasi ruang liturgis non-gereja. Terhadap situasi ini pertimbangan artistik dan fungsional tentunya harus diperhatikan agar tidak mengganggu kelancaran liturgi.
Apa saja prisip estetika liturgis agar dapat mewujudkan ungkapan iman ini?
Bicara soal prinsip estetika, ada lima hal. Pertama, kesederhanaan yang luhur. Konsep liturgis seharusnya tampil bersahaja atau sederhana, namun tetap menarik perhatian dan memikat hati umat agar mengalami perjumpaan dengan Allah. Keistimewaan yang kita rasakan itu tampak dalam kesederhanaan yang disajikan dan ditangkap oleh indera manusia.
Kedua, kelaziman. Dekorasi liturgis harus dapat dikenali oleh umat, setidaknya akrab bagi penglihatan dan pemahaman umat. Misal, altar itu jangan sampai dihiasi bunga yang mendominasi. Ketiga, keindahan. Kalau tidak indah, jangan digunakan dalam liturgi. Memang harus begitu karena yang kita jumpai dalam liturgi adalah Sang Keindahan Sejati, Allah sendiri.
Keempat, kualitas dan kepantasan. Karya seni dan dekorasi liturgis harus pantas dalam dua cara. Harus dapat memikul bobot misteri, menerbitkan kekaguman, mengundang rasa hormat, dan menimbulkan penasaran. Kemudian, dekorasi liturgis harus tegas melayani (bukan mengganggu) aksi ritual. Jadi dibutuhkan kualitas yang bagus dari suatu karya seni tetapi juga transparansi agar semua umat dapat melihat misteri Ilahi.
Kelima, keaslian. Di sini otensitas sangat dibutuhkan. Sebagai contoh dalam proses merangkai bunga, bunga-bunga yang dipilih adalah asli, alami, dengan bentuk dan warna tertentu. Untuk menghargai keasliannya, jangan kemudian bunga alami diganti dengan warna lain seperti hasil semprotan pewarna buatan. Contoh lain adalah standar bunga untuk rangkaian bunga yang terbuat dari besi atau kayu ditutupi kain tipis atau berwarna. Lebih baik disiapkan penopang yang indah daripada ditutup-tutupi.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.29 2019, 21 Juli 2019