HIDUPKATOLIK.COM– UNJUK RASA memprotes insiden kekerasan dan pengusiran mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya pada 16-17 Agustus 2019 terus digalahkan di hampir seantero Papua.
Hal ini membuat sejumlah jalan baik di Manokwari, Fakfak, Sorong, Merauke, dan daerah-daerah lain diblokade masa dan aktivitas masyarakat lumpuh total. Arus lalu lintas juga tidak berjalan lancar. Dalam blokade ini, banyak warga menebang pohon dan membakar ban di jalan raya.
Aki sini mulai berujung pada tindakan pengusiran beberapa warga non pribumi di Papua. Toko-tokoh para pendatang dipaksa tutup dengan berbagai alasan. Sejauh ini aparat kepolisian baik di Papua maupun Papua Barat dan pemerintah sudah berjuang untuk menetralkan situasi ini.
Pertama, Bukan lagi dugaan, tetapi kenyataannya ada tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua. Dengan tindakan rasisme, martabat manusia direndahkan dan tidak dihargai. Padahal manusia, siapa saja, tanpa membedakan kulit, ras, agama, gender, status, dan sebagainya adalah “Gambaran Allah”.
Semua manusia mempunyai martabat sama, “martabat mulia” yang harus dihargai, dihormati, dan dilindungi. Dengan demikian, tindakan rasisme seorang atau kelompok orang, yang memandang rasnya, ras sukunya lebih mulia daripada ras orang lain, dan daripada ras suku lain, adalah melawan “kemanusiaan”, dan melawan ajaran agama apa pun, yang mengajarkan cinta kepada siapa saja. Tindakan rasisme adalah tindakan biadab, tindakan tak berperikemanusiaan, tindakan amoral.
Semua orang, bukan hanya orang Papua, harus melawan tindakan rasisme. Tindakan rasisme sungguh adalah tindakan melawan hukum, melawan hukum di Indonesia, yang berisi hormat pada setiap manusia tanpa memandang latar belakangnya.
Karena itu, aparat kepolisian Republik Indonesia harus segera menangkap orang-orang yang melaksanakan tindakan rasisme. Alasan apa pun tidak dapat membenarkan tindakan rasisme. Sesudah ditangkap, para rasis itu ditahan dan dibawa ke pengadilan dan dihukum. Baiklah hukuman bagi mereka yang melaksanakan tindakan rasisme adalah hukuman berat sebab rasisme adalah perbuatan melawan kemanusiaan.
Kedua, Memang pantaslah atas tindakan rasisme itu, orang Papua bereaksi keras dan mengadakan demonstrasi di seluruh wilayah Papua, termasuk di Merauke. Pantaslah orang Papua merasa kecewa dan tersinggung terhadap tindakan rasisme itu dan meminta orang yang melakanakan tindakan itu ditangkap, ditahan, dan diadili menurut hukum dengan hukuman seberat-beratnya. Terkait dengan tindakan rasisme itu, orang Papua tidak boleh diam.
Namun, diharapkan tindakan rasisme sebagai kekerasan kemanusiaan, jangan dilawan dengan kekerasan seperti membakar gedung-gedung pemerintahan, hancurkan sarana-sarana umum, dan sebagainya.
Perlawanan dengan tindakan kekerasan: membakar, menghancurkan fasilitas pemerintahan dan fasilitas umum, balas dendam terhadap orang yang bukan Papua, yang berdiam di Papua, tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah.
ketiga, Orang Papua adalah orang beradab, bukan orang biadab. Orang Papua bermartabat, bukan tidak bermartabat, seperti mereka yang melakasanakan tindakan rasisme.
Tindakan rasisme itu harus memperkuat solidaritas antara orang Papua, solidaritas antara orang Papua dan di luar Papua. Solidaritas adalah tanda kita manusia bermartabat. Kekerasan adalah tanda bahwa kita manusia tidak bermartabat.
Meskipun ada rasa marah dari orang Papua atas tindakan rasisme, namun Papua adalah Tanah Damai, tanah bermartabat, tanah berperikemanusiaan. Banggalah orang Papua. Anda lebih berperikemanusiaan daripada seorang atau sekelompok orang yang melaksanakan tindakan rasisme.
Dihimbau kepada pemerintah di Papua, jagalah martabat orang Papua, belalah martabat orang Papua dengan cara “clean government” (pemerintahan yang bersih) yang tidak diwarnai dengan korupsi, dengan cara menjaga alam Papua yang indah, yang kaya. Janganlah alam Papua dirusakkan hanyalah karena rakus akan uang.
Papua adalah bagian dari Indonesia. Baiklah pemerintah pusat memberikan perhatian, seperti memberi perhatian pada daerah-daerah lain di Indonesia. Hadapilah orang Papua dengan cinta, bukan dengan tindakan rasisme atau tindakan kekerasan apapun.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Yovita Helen (Komsos Keuskupan Agung Merauke)