HIDUPKATOLIK.com – Menghiasi ruang perayaan liturgi bukanlah kegiatan yang sembarangan karena merupakan tindakan bermartabat terhadap realitas Ilahi.
Mona Windoe mengalami perasaan dilematis. Hatinya tak bisa menahan kesedihan. Di depan matanya, ia menyaksikan pembongkaran dekorasi altar Paroki Keluarga Kudus Rawamangun, Jakarta Timur. Ia hampir kehi langan kata-kata. Di depan matanya, bunga -bunga segar berwarna-warni diang kut ke dalam truk untuk dibuang. Seketika bunga-bunga itu pun rusak dan patah.
Padahal, rangkaian bunga itu baru saja dipakai oleh pengantin dalam Misa Perkawinan pada Sabtu pagi. Usut punya usut, pasangan pengantin lain yang juga menikah pada hari itu, tidak mau menggunakan bunga-bunga bekas dari Misa Pernikahan sebelumnya. Padahal, bunga-bunga itu baru saja dirangkai di malam hari sebelumnya.
Alangkah sesaknya hati Mona, saat mengetahui kenyataan ini. Ia tidak menyangka, bunga yang masih segar itu terbuang sia-sia. Namun, hal yang terjadi di parokinya itu, ternyata terjadi juga di banyak paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Padahal untuk biaya dekorasi altar, itu tidak murah. Biaya pengadaan bunga untuk pernikahan itu ada yang mencapai harga puluhan juta. “Sayang sekali biaya mahal tersebut dihabiskan hanya dalam tempo dua jam saja,” ujarnya.
Hal ini menjadi bukti, bahwa kesadaran umat terhadap situasi ini masih sangat minim. Ada imam yang memang punya perhatian terhadap situasi ini, tetapi ada yang membiarkan saja. Situasi ini diperparah dengan anggapan, bahwa pernikahan itu sekali seumur hidup, jadi harus semegah-megahnya. Harus berikan yang terbaik untuk Tuhan.
Sebagai aktivis lingkungan hidup, Mona menilai, dekorasi megah dan mewah bukan legalitas sebuah perkawinan. “Sejatinya janji sehidup semati untuk setia dalam untung dan malang yang diwujudkan lewat forma dan materi, itulah yang utama. Bukan bunga, bukan pakaian pengantin, atau atribut lainnya.”
Luhur tapi Sederhana
Pengalaman Mona juga sejalan dengan pemikiran yang disampaikan Pastor Riston P Situmorang OSC saat berbicara dalam Colloquium Liturgicum VIII. Pertemuan ini diprakarsai oleh Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia (ILSKI) dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan di Graha ILSKI, Pratista, Bandung, Jawa Barat akhir Juni lalu.
Berbicara dalam konteks hukum liturgi, Pastor Riston mengatakan, prinsip liturgi adalah Nobila Simplicitate (luhur tetapi tetap sederhana). Ungkapan ini juga terdapat dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) dalam menyinggung hiasan dalam ruang liturgis. Maksud ungkapan ini adalah dekorasi jangan malah mengganggu prasyarat fungsional-liturgis.
Menurutnya, banyak orang salah kaprah soal dekorasi liturgis. Dalam konteks ruang liturgis, biasanya altar menjadi perhatian utama (PUMR no.299). Karena dianggap sebagai “pusat perhatian”.
Dari sinilah, muncul pengartian, bahwa altar harus diberi tambahan agar istimewa. Namun, yang kerap terjadi, fungsi altar tertutupi oleh hiasan yang berlebihan. Padahal, hiasan dalam rupa rangkaian bunga diharapkan dapat membantu umat merasakan hadirnya Tuhan dan tidak menghilangkan makna dan fungsi objeknya. Di sisi lain, kegiatan merangkai bunga bukan “yang penting tancap” tetapi harus memahami prinsip, unsur dan teknik.