web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Charles Beraf : Anggota Forum Masyarakat Adat Pesisir Dari Laut Ibu, ke Altar Tuhan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Laut adalah jalan yang menghubungkan kita satu dengan yang lain, laut adalah kisah kita yang tak berujung, laut adalah metafora tentang kita yang paling kuat, lautan ada di dalam kita (Epeli Hauofa, 1948).

Lamalera, sebuah komunitas nelayan di pesisir pantai selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, sudah sejak lama terkenal dengan tradisi ola nuâ (tradisi mengolah laut). Menurut catatan sejarah, tradisi ola nuâ dibawa leluhur Lamalera bersamaan dengan eksodus mereka dari Luwuk, Sulawesi, abad ke-14. Hingga saat ini tradisi itu dihidupi dan dimaknai orang Lamalera sebagai warisan yang amat luhur dan bernilai.

Sebagai warisan yang luhur dan bernilai, ola nuâ telah mengental dengan dan dalam seluruh dimensi hidup orang Lamalera. Karena itu, ola nuâ turut pula menjelaskan serta mendefinisikan eksistensi orang Lamalera, termasuk di dalamnya cara pandang tentang laut, dan cara hidup mereka berkenaan dengan laut.

Berbeda dari kebanyakan masyarakat pesisir lain, orang Lamalera memandang laut sebagai “Ibu” yang melahirkan, membesarkan, melindungi, dan selalu memberi mereka hidup. Hal ini bisa ditelaah dalam syair Lamalera berikut ini: sedo basa hari lolo/jaji pulo boi lema ropong/hode one sare/memu tao yone dike, ‘Oh ibunda lautan/engkau mengandung, melahirkan/memelihara dan menyimpan segala-galanya ‘tuk kami’.

Personifikasi atas laut sebagai sedo basa hari lolo ini dihayati atau lebih tepatnya diimani dalam seluruh pengalaman hidup, tidak hanya dalam hubungannya dengan laut itu sendiri, tetapi lebih dari itu tercermin dalam relasi dengan semesta dan Wujud Tertinggi. Serupa laut yang merangkul seluruh kehidupan, iman dan penghayatan itu membersitkan suatu imperatif etis bagi orang Lamalera untuk juga memandang dan memperlakukan apa dan siapa pun sebagai bagian dari dirinya.

Ikatan Relasional
Laut, karena itu, dipahami sebagai entitas yang selalu mempunyai ikatan relasional dengan darat (hubungan kosmik). Laut sekaligus memiliki implikasi sosial (interaksi sosial), kultural (adat istiadat), dan bahkan religius, yakni berkenaan dengan hubungan mereka dengan Wujud Tertinggi.

Relasi antara laut dan darat, serta implikasi yang ditimbulkan olehnya, menegaskan di satu sisi aspek totalitas. Dalam arti ini, laut tidak bisa dimengerti sebagai lautan sich, tetapi sebagai entitas yang terkait dengan aspek hidup yang lain. Di sisi lain, laut menggambarkan cara hidup orang Lamalera, yang tidak bisa tidak terdefinisikan oleh peran dan tanggung jawabnya dalam pelbagai aspek kehidupan.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Hubungan orang Lamalera dengan laut menjelaskan sekaligus menegaskan hubungan yang terbangun di darat dan sebaliknya, apa yang terjadi di darat selalu menghubungkan mereka dengan apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi di laut. Laut tak bisa dipisahkan dari darat, demikian sebaliknya, darat tak bisa dilepaskan dari laut. Darat dan laut adalah dua ruang hidup yang melebur dalam seluruh kehidupan mereka.

Dalam konteks ini, laut bagi orang Lamalera bukan sekadar perkara teritori, tetapi berkenaan dengan weltanschauung atau world-view atau bisa dikatakan locus, melaluinya keselamatan dapat dikenal dan dialami. Sebagai weltanschauung laut menunjuk pada seluruh eksistensi orang Lamalera di tengah dunia, sekaligus yang mengarahkan perhatian mereka kepada tujuan yang hendak dicapai.

Dua hal ini, yakni eksistensi dan tujuan hidup bisa terbaca misalnya dalam hal bagaimana orang Lamalera mengartikan ikan paus yang diperoleh dengan sebutan knato, yang berarti kiriman dari Tuhan, dan aktivitas melaut dengan sebutan “mengambil”. Pergi melaut sama artinya dengan pergi mengambil knato. Tindakan ini menuntut dari pihak mereka selain perjuangan mati-hidup di tengah laut, juga kepasrahan total kepada Tuhan.

Contoh lain yang juga bisa menjelaskan hal itu adalah posisi seorang lamafa (pemimpin laut/perahu), dalam hubungannya dengan perempuan, yang terkait erat dengan laut yang dipandang sebagai ibu. Perempuan seperti juga laut, dihormati sebagai yang memelihara, yang memberi hidup, pengayom. Maka sebagai bentuk penghormatan, seorang lamafa wajib menjalani hidup ugahari dan selibater selama musim melaut, yakni dari bulan Mei hingga Oktober.

Ia tidak boleh bertengkar dengan ibunya atau istrinya. Kalau ada persoalan dengan istri atau ibunya, maka ia harus minta maaf sebelum melaut. Seperti ibu, ia harus menyerahkan dan mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk para janda, kaum perempuan, dan anak-anak terlantar, seluruh kampung, bahkan seluruh pulau. Nadar itu termaktub dalam nyanyian laut berikut ini: “Wahai kalian para ikan, berenanglah kian menuju kemari dan menghampari lautan kami, membentang di hadapan perahu dan di bawah layar memenuhi seluruh lautan. Kami kan membawamu kembali menuju kampung. Para janda, kaum perempuan dan anak-anak terlantar telah menunggumu.”

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Sedemikian kaum perempuan mendapat tempat dan penghargaan, hingga dalam hal pembagian knato, seorang lamafa selalu diberi bagian khusus yang diperuntukkan bagi ibunya. Bagian itu adalah bagian jantung dan hati ikan, terutama ikan paus atau sperm whale. Jantung dan hati itu hanya untuk ibunya. Ia, lamafa, istri, dan anak-anaknya tidak boleh memakan ikan bagian untuk ibunya itu dalam bentuk apapun, termasuk bagian ikan yang itu sudah dibarter dalam bentuk apapun. Bila itu terjadi (sengaja dimakan atau tidak) lamafa akan menjadi korbannya, misalnya mengalami gangguan kejiwaan, atau ketika menangkap ikan tidak akan pernah menuai hasil.

Dua Dimensi
Dua contoh tersebut sudah sangat cukup menegaskan bahwa laut sebagai weltanschauung selain memiliki dimensi sosial (eksistensi), juga dimensi spasial, yakni berhubungan dengan tujuan dan iman orang Lamalera akan hal lain di luar kendali dan kontrol mereka. Dua dimensi ini tak terpisahkan satu dari yang lain, tetapi saling terkait dan mengandaikan serupa iman yang menuntut penghayatan, ortodoksi yang menyata dalam ortopraksis atau laut yang selalu bersentuhan dengan darat.

Selain laut sebagai entitas yang luhur dan bernilai, juga tena (perahu) dan lango belé (rumah besar/rumah suku) memiliki tempat istimewa dalam tradisi ola nuâ. Lango belé adalah rumah komunitas, rumah dalamnya nilai-nilai, ajaran dan aturan yang diwariskan leluhur tentang laut diajarkan dan atau diterimakan kepada semua anggota
suku tanpa kecuali (tua muda, besar kecil, perempuan dan laki).

Segala persoalan menyangkut laut dibicarakan dan didiskusikan bersama di rumah ini untuk menemukan jalan bersama atau perspektif yang satu dan sama. Bahkan rumah ini juga menjadi tempat semua anggota suku bisa saling meneguhkan dan menguatkan agar dalam urusan melaut, tidak ada anggota suku yang terbuang, melainkan bersatu padu dan melihat hal melaut sebagai tanggung jawab kolektif.

Hal serupa ditampakkan pula dalam tindakan dan cara pandang tentang perahu, tena yang menghubungkan orang Lamalera dengan laut. Perahu adalah simbol ekumene, perjumpaan antara laut dan darat. Perahulah yang menghubungkan atau lebih tepat menjembatani orang Lamalera dan Ibu laut. Namun berbeda dari perahu kebanyakan, tena orang Lamalera adalah juga representasi kolektivitas yang sudah terbangun sejak dari lango belé.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Konstruksi perahu mengikuti organ tubuh manusia, yang dengan ini menjelaskan bahwa perahu adalah simbol tubuh kolektif orang Lamalera meski tiap tiap orang berperan dan berada pada posisi yang berbeda. Misalnya, bagian depan perahu yang disebut mnula, bagian yang bisa disanding-hubungkan dengan kepala pada manusia. Bagian ini secara sangat signifikan menunjukkan keberadaan aktual tena: sedang melaut atau sedang berdiam dalam bangsalnya.

Pada manula, ada blobos –semacam destar kehormatan atau kewibawaan tena. Ketika sedang tidak melaut, blobos dikenakan pada mnula, sebaliknya ketika sedang melaut, blobos dibuka sebagai tanda kesediaan, kerendahan hati dan keterbukaan untuk berjumpa dengan ibu laut, sedo ba sa hari lolo.

Berubah, Tetap Setia
Sejak perjumpaannya dengan Katolisisme, yang masuk ke Lamalera pada 1886, tradisi ola nuâ mengalami banyak perubahan, tidak dalam arti lunturnya warisan itu, tetapi sebaliknya keberadaan tradisi itu semakin dipertegas dengan bobot religius yang diusung oleh Gereja Katolik. Musim melaut misalnya, dibuka dan ditutup secara rutin dengan Perayaan Ekaristi di pantai Lamalera. Saat itu pastor akan memberkati pelbagai perlengkapan melaut, termasuk memberkati air yang selalu dibawa oleh setiap perahu ketika melaut.

Namun lebih jauh dari itu, perjumpaan dengan Katolisisme justru semakin meyakinkan orang Lamalera bahwa nilai-nilai yang diajarkan Gereja Katolik, seperti pengorbanan, kekudusan hidup, komunio adalah nilai-nilai yang sudah tertanam dalam tradisi ola nuâ. Itu sebabnya hingga saat ini orang Lamalera tetap setia dan bahkan amat kental baik dengan tradisi mereka maupun dengan agama Katolik – hal yang kerap kali di banyak tempat dipertentangkan.

Dengan demikian, perkara laut misalnya, bukan hal yang tabu bagi Gereja Katolik untuk terlibat, sebaliknya Gereja Katolik menjadi bagian integral dari eksistensi hidup orang Lamalera. Seperti di laut, orang Lamalera berjuang, bahkan mempertaruhkan hidup demi kemaslahatan hidup banyak orang, begitu pun di altar gereja, Putra Allah, Yesus pun berekaristi, berkorban, memecahkan diri demi keselamatan banyak orang. Melalui tradisi ola nuâ, Gereja berakar, dan melalui Katolisisme, orang Lamalera semakin diyakinkan akan nilai dan ajaran yang diwariskan leluhur.

HIDUP NO.28 2019, 14 Juli 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles