HIDUPKATOLIK.com – Delapan tahun sudah Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan nelayan dan LSM atas UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Meski demikian, masih ada saja celah bagi beberapa pihak untuk tetap mengupayakan privatisasi, misalnya dengan mengadakan kawasan konservasi laut daerah melalui peraturan daerah.
Privatisasi dan komodifikasi sumber daya laut untuk kepentingan komersial telah menggusur keberadaan masyarakat pesisir dan nelayan. Ketua Forum Masyarakat Adat Pesisir Seluruh Indonesia, Bona Beding mengatakan sosialisasi ke masyarakat di level akar rumput tentang keputusan ini belum sampai dengan baik. “Akses laut memungkinkan orang menjalin komunikasi kebudayaan. Laut dibatasi aturan geografis juga geokultural. Orang bisa menjalin hubungan dan membangun suatu peradaban kebudayaan di tempat lain yang kemudian memunculkan hubungan ekonomi, sosial, budaya,” kata pria asal Lamalera, Lembata ini pada Jum at, 5/7.
Sejak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsistusi hingga saat ini menanggapi Perda Zonasi Laut, Bona mengakui sangat sulit mencari dukungan dari pihak agama manapun. “Termasuk Gereja Katolik juga melupakan pastoral dan misi untuk laut. Laut menjadi sesuatu yang asing,” katanya.
Bona berharap, Gereja tidak hanya berfokus pada altar dan mimbar saja lalu melupakan medan pastoralnya. Menurutnya, penting bagi semua keuskupan untuk menginventarisasi semua kebudayaan yang basisnya adalah elemen-elemen bahari termasuk masyarakat adat laut. “Gereja harus betul-betul terlibat di sana.”
Hermina Wulohering
HIDUP NO.28 2019, 14 Juli 2019