HIDUPKATOLIK.com – Masyarakat Lamalera meyakini, laut merupakan entitas suci. Sebab, Ibu Laut dan nenek moyang bermukim di sana. Mereka senantiasa memberikan anugerah kehidupan.
Pagi yang cerah. Langit begitu biru sebab lefo (kampung) Lamalera terkenal dengan panas teriknya. Laut Lamalera sedikit bergelora pagi itu. Tak terlihat seorang nelayan pun yang beraktivitas di laut hari itu, awal Mei, setahun silam. Tena (perahu) terparkir di rumah penduduk. Saya sendirian menyusuri pantai nan bersih dan sepi.
Di tengah pantai tampak sebuah meja persembahan. Meja itu untuk Misa Arwah yang digelar nanti malam. Lalu, besok pagi umat merayakan Misa Lefa–perayaan pembukaan untuk musim bekerja di laut bagi para nelayan). Di pesisir pantai lain, saya melihat beberapa tua adat yang dipimpin oleh kepala suku dari tiga suku induk yakni suku Lika Telo (Blikololong, Lefotuke, dan Bataona).
Mereka sedang bersiap menuju lokasi ritual batu paus Lamalera yang terletak di bukit Fukalere. Mereka menggunakan sarong (sarung) khas Lamalera dengan berbaju singlet dan mengenakan ikat kepala dari daun lontar.
Ie Gerek
Fukalere, selain bermukim fato koteklema (batu paus), juga menjadi tempat tinggal tanah alep atau tuan tanah (suku Lango Fujo). Suku Lango Fujo disebut sebagai tuan tanah karena masyarakat Lamalera mengakui, mereka adalah pendatang dari Pulau Sulawesi seperti yang tertera di beberapa syair adat Lamalera.
Di Fukalere, mereka akan melakukan Ie Gerek yakni ritual “memanggil paus” yang bertujuan untuk memohon kepada Yang Maha Tinggi atau Ina Lefa (Ibu Laut) dan leluhur di laut untuk memberikan berkah melimpah untuk lefo Lamalera. Ritus ini sekaligus memberitahu bahwa masyarakat lefo Lamalera sudah kehabisan makanan. Mereka memohon pertolongan kepada Ina Lefa dan leluhur di laut.
Syair adat yang biasa didengungkan pada ritus Ie Gerek adalah “Levo ia malu mara/Dai ma pau levo/Kide knuke, nara kajak faka ia tobo pole/Dai ma pau levo.” Artinya : Kampung atau masyarakat di sini sudah benar-benar lapar dan haus/Datanglah untuk memberi mereka makan, para yatim piatu dan fakir miskin sedang duduk menangis/Datang dan beri mereka makan.
Permohonan itu diucapkan oleh kepala suku Lango Fujo. Ritus ini juga bertujuan untuk memberitahu kepada Ina Lefa dan nenek moyang di laut bahwa masyarakat Lamalera besok akan mengambil rezeki yang telah disiapkan bagi mereka. Bagi masyarakat Lamalera sendiri, paus tidak pernah dianggap sebagai makhluk buruan. Paus adalah pemberian makan bagi lefo oleh leluhur mereka yang berdiam di laut.
Ritual ini berlangsung dengan melakukan seremoni adat di fato koteklema oleh para tua adat dan Lango Fujo. Upacara adat berlangsung mulai dari batu paus hingga berakhir di pesisir pantai Lamalera.
Misa Arwah
Siang hari, situasi pesisir masih belum terlalu ramai. Di tengah pantai baru terlihat beberapa orang. Mereka tak lama lagi bakal merampungkan hiasan meja sebagai altar untuk Perayaan Ekaristi nanti malam. Ada beragam jenis bunga di seputar altar itu. Tapi, yang paling mencolok adalah hiasan dari tulang ikan paus.
Perayaan nanti malam disebut Misa Arwah. Intensi khusus untuk Misa tersebut adalah untuk mengenang nenek moyang dan kerabat yang meninggal di laut, salah satunya wafat saat menangkap paus. Sudah puluhan orang yang meninggal karena alasan itu.
Masyarakat Lamalera meyakini, kecelakaan di laut selalu berhubungan dengan kehidupan sosial di darat. Mereka percaya, orang-orang yang meninggal di laut tidak hanya menanggung kesalahannya, tapi juga memikul dosa publik masyarakat Lamalera. Dengan demikian, mereka yang wafat di laut adalah pejuang. Mereka akan selalu membantu kehidupan masyarakat Lamalera. Karena itu, jasa mereka senantiasa dikenang. Arwah mereka terus didoakan.
Misa dipimpin oleh imam. Pastor bersama umat mendoakan semua jiwa-jiwa orang Lamalera yang meninggal di laut, khususnya ketika melaksanakan tradisi Lefa Nuang atau berburu ikan paus. Tradisi menghormati arwah yang meninggal di laut sudah sangat lama. Bahkan, sebelum agama Katolik masuk ke lefo pada 1886. Sejak agama Katolik masuk, tradisi masyarakat lokal berpadu dan berlangsung harmonis hingga sekarang.
Ketika agama Katolik masuk ke Lamalera, tradisi itu kemudian dimaknai bahwa mereka yang meninggal di laut telah bersatu dengan Sang Empunya alam semesta dan kehidupan. Dia adalah Lera Fule Tanah Eke, demikian masyarakat Lamalera menyebut wujud tertinggi.
Pada saat Misa, masyarakat Lamalera berharap, Lera Fule Tanah Eke mengampuni seluruh dosa atau kesalahan para leluhur Lamalera. Serta memberikan mereka tempat yang layak bersama-Nya. Selain itu, Misa Arwah juga bertujuan untuk menghormati leluhur yang rela menyediakan “makanan” bagi masyarakat Lamalera dengan memberikan hasil tangkapan paus yang cukup selama setahun.
Prosesi Misa Arwah berakhir dengan mengapungkan lilin menyala dan menabur bunga ke tengah laut. Semua keluarga akan membingkai lilin dan bunga masing-masing agar dapat diarungkan ke laut. Malam yang penuh keheningan ini seakan membawa nuansa sedih untuk mengenang semua orang yang telah meninggal di laut.
Penyalaan lilin merupakan tradisi Katolik yang kini sudah digunakan masyarakat Lamalera di setiap upacara atau ritus adat. Lilin memberi makna cahaya yang selalu menerangi leluhur dan kampung Lamalera untuk berjalan dalam terang atau kebenaran.
Misa Lefa
Hari baru telah berganti. Sekitar pukul 07.00 waktu setempat, masyarakat Lamalera telah berkumpul di pantai untuk merayakan Misa Lefa. Perayaan ini menjadi puncak prosesi. Semua suku akan mempersiapkan persembahan kepada yang Empunya hidup yang sudah diberi “nilai” dan ajaran Katolik yakni Tuhan sendiri.