HIDUPKATOLIK.com – Saat ini kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang didasarkan atas zonasi menuai protes di mana-mana. Menurut kebijakan zonasi itu, anak anak diterima masuk di sekolah dekat (zona) rumahnya. Sementara orangtua yang anaknya berprestasi ingin sekolah di sekolah favorit yang bermutu, padahal sekolah itu ada jauh dari rumahnya. Menanggapi protes masyarakat, Presiden Jokowi (21/6) meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk mengevaluasi kebijakan sistem zonasi tersebut. Dilakukan penambahan kuota untuk siswa berprestasi dari luar zonasi, yang semula 5% diperbolehkan hingga 15% sesuai kapasitas daya tampung sekolah.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah ngotot menerapkan PPDB berbasis zonasi ini? Tujuannya sangat ideal dan demi menjamin pemerataan penggunaan Dana Anggaran Pendidikan di suatu wilayah. Misalnya disuatu kabupaten dibagi atas 5 zona. Maka anggaran pendidikan untuk kabupaten itu, dibagi lima sama rata untuk setiap zona. Dengan demikian terjadi pemerataan dan keadilan. Karena selama ini, bisa jadi hanya sekolah di zona (wilayah) tertentu yang menyerap seluruh anggaran pendidikan kabupaten tersebut, sementara zona lain kurang diperhatikan. Dengan kebijakan zonasi ini, mau tidak mau penggunaan Dana Anggaran Pendidikan dibagi sama untuk semua zona.
Seharusnya untuk mewujudkan tujuan zonasi itu, langkah prioritas pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan mutu setiap sekolah melalui peningkatan mutu guru, melalui pelatihan-pelatihan yang berjenjang dan berkesinambungan. Sehingga semua pendidik dan tenaga pendidikan berkualitas, proses belajar-mengajar bermutu dan kepemimpinan kepala sekolah juga terus ditingkatkan. Sarana dan fasilitas pendidikan juga terus dilengkapi dan dimutakhirkan agar sesuai tuntutan zaman. Tentu dalam peningkatan mutu ini, para pendidik dan kepala sekolah swasta juga turut diperhatikan, sehingga di setiap wilayah (zona) tersedia sekolah bermutu dan menjadi sekolah pilihan masyarakat.
Bila kondisi mutu ini sudah merata di semua zona, maka aturan zonasi tadi bisa diberlakukan oleh pemerintah, seperti dilakukan di sekolah-sekolah di Jepang yang juga melaksanakan aturan zonasi ini. Dengan menggunakan Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) Nasional, setiap kepala sekolah bisa mengirimkan surat undangan ke setiap peserta didik yang ada di wilayahnya untuk mendaftarkan dirinya di sekolah dekat rumahnya (sesuai aturan zonasi). Pemerintah yang juga menguasai data kependudukan dapat melakukan perencanaan di wilayah (zona) mana perlu dibangun unit sekolah-sekolah baru, sambil memperhatikan peranan sekolah-sekolah swasta yang juga berkarya membantu peningkatan mutu pendidikan di wilayah tersebut.
Namun menjadi masalah dalam masyarakat, karena langkah-langkah di atas tidak diperhatikan oleh pemerintah, dan langsung memaksa anak didik untuk ikut aturan zonasi untuk memilih sekolah sesuai zona tempat tinggalnya. Maka pelaksanaan peraturan zonasi ini tanpa perbaikan mutu pendidikan, hasilnya tetap sama, mutu pendidikan kita tetap berjalan di tempat. Jadi langkah yang perlu dilakukan oleh perintah, terutama pemerintah daerah adalah meningkatkan mutu sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya.
Sejalan dengan zonasi siswa, pemerintah melalui kementrian pendidikan mecanangkan untuk membuat aturan tentang zonasi guru. Dan sekali lagi, ini juga bukan solusi prioritas untuk pemerataan mutu pendidikan.
Bagi pengelola Lembaga Sekolah Katolik (LPK) apa hikmah yang bisa kita petik – menyaksikan dan menghadapi regulasi pemerintah yang terus berubah? Kita perlu membaharui diri, membuat sekolah kita menjadi sekolah pilihan utama masyarakat. Bagaimana caranya? Tingkatkan mutu pendidik, tenaga pendidik dan kepemimpinan Kepala Sekolah. Hal ini, harus menjadi prioritas, dari sekarang.
Fidelis Waruwu
HIDUP NO.27 2019, 7 Juli 2019