HIDUPKATOLIK.com – “OE…oe…oe…”
Bayi mungilku telah lahir ke dunia ini. Bayi lelaki kecil yang tampan. Ia mirip sekali denganku. Hanya sepasang mata cantiknya itu turunan dari sang ibu. Syukurlah ia lahir normal dan tiada cacat sama sekali. Suara tangisnya yang melengking memenuhi ruang bersalin dan membuat riuh jiwaku. Menangislah putraku, menangislah, sebab ada waktunya seorang lelaki tidak diperkenankan dunia untuk menangis. Aku melihat keringat istriku telah menganak sungai. Aku mengelus dan mencium kening istriku yang telah berjuang mati-matian demi hidupnya dan buah hati kami. Perjuangan itu adalah awal dari cerita kami yang telah sah menjadi orangtua.
“Maria, terima kasih. Aku mencintaimu.” Cintaku terlelap sebab ia sudah lelah bertarung untuk sesuatu yang paling berharga.
***
Hari-hari kami semakin romantis sejak kehadiran sang buah hati. Kami telah menjadi keluarga kecil yang diberkati Tuhan. Setiap hari, aku, sebagai tulang punggung keluarga, meminta kepada Sang Kuasa untuk selalu menjaga kebahagiaan kami. Aku berharap sekali kebahagiaan ini akan abadi selamanya.
Hari ini genap dua minggu kami menikmati kebahagiaan yang aku minta kepada Tuhan, dan aku dan belahan jiwakuku masih harus membeli perlengkapan bayi. Mengenai nama Sang mungil, aku berencana untuk menyemaikannya ketika ia sudah dibaptis. Hanya menunggu sepuluh hari lagi. Istriku tidak keberatan sama sekali karena kami punya banyak waktu untuk memikirkan nama yang cocok bagi jagoan kami.
Kadang-kadang aku dan istriku asik bergurau dan tinggal dalam kemesraan karena membicarakan banyak hal, seperti nama apa yang cocok untuk buah hati kami, seperti apa rupanya dewasa nanti, dimana ia akan mengenyam pendidikan, dan lain lain. Dalam keseharian, aku selalu terburu-buru pulang dari kantor karena merindukan kebersamaan dengan keluarga kecilku. Aku mencintai mereka lebih dari apapun. Tak akan kubiarkan siapapun menyakiti mereka, sebab mereka adalah bagian terpenting dalam hidupku.
Suatu ketika, dengan berat hati aku memberitahu pada Maria bahwa aku harus lembur kerja. Banyak sekali tugas pendataan distribusi barang produksi yang diserahkan kepadaku. Hal ini karena general manager perusahaan telah mengenalku sebagai karyawan yang telaten dan bertanggungjawab. Kalau tugas ini selesai sesuai tempo yang ditentukan, maka aku akan naik daun menjadi pemimpin seluruh pendistribusian produk perusahaan. Lebih tepatnya, asisten kepercayaannya. Ini kesempatan langka bagiku dan aku harus memanfaatkannya dengan baik. Syukurlah Maria bisa mengerti. Ia benar-benar pasangan hidup yang sempurna.
Setelah bayi kecil kami yang Dia anugerahkan kepadaku, Dia juga akan memberikan rahmat-Nya dalam pekerjaanku. Tuhan telah mendengar doaku. Doa untuk kebahagiaan sejati yang didambakan si hati.
***
Teleponku berdering. Ada panggilan dari istri tercinta. Aku tahu, pasti dia akan menanyakan apakah aku sudah santap makan siang buatannya dan apa pendapatku tentang masakannya. Setiap hari ia selalu melakukan hal yang sama pada jam yang sama. Hal ini membuatku begitu menikmati pekerjaanku. Maria memang istri yang penuh perhatian. Dengan girang, aku terima panggilan itu,
“Ya sayang, aku tebak, pasti…”
“Mas…bayi kita…,” potongnya dengan tekanan suara histeris seraya menangis.
Aku kaget. Perasaanku bercampur aduk antara gelisah, khawatir, dan takut. Jiwaku guyar seketika.
“Ada apa sayang? Kenapa bayi kita?” Keadaan hatiku semakin tidak karuan. Jantungku berdetak jauh dari normal.
“Bayi kita, tinggi sekali suhu tubuhnya. Wajahnya pucat. Aku sudah bawa ke rumah sakit. Mas.. aku takut… Aku takut sekali…,” jelas Maria dan semakin membuat jiwaku berantakan.
“Baik sayang. Aku segera ke sana,” jawabku tegas.
Aku bergegas pergi meninggalkan semua pekerjaanku. Aku tak peduli lagi pada tawaran itu. Yang ada dibenakku sekarang hanyalah buah hatiku. Aku tak mau kehilangan kebahagiaan yang baru saja kutemukan. Sekarang aku hanya berharap dapat melaju melebihi kecepatan angin dan segera tiba di rumah sakit.
***
Aku berlari menembus ruang dan waktu. Aku tak peduli tatapan semua orang yang memandangku aneh. Kemejaku menjadi lusuh seperti keadaan hatiku yang karut marut. Kulihat isteriku sedang menunggu di luar ruangan IGD. Aku memeluknya erat dan memberinya kekuatan yang juga aku perlukan.
“Bagaimana keadaan bayi kami, Dok?” Tanyaku ingin tahu yang bercampur aduk dengan rasa takut. Dokter menghela nafas. Ada yang tidak beres dari ekspresinya dan itu membuat pikiranku benar-benar kacau.
“Maaf, Pak. Keadaan bayi bapak dan ibu sedang sangat tidak baik. Ia menderita gejala DBD dan trombositnya rendah sekali. Daya tahan tubuhnya juga sangat lemah. Hal ini akan menyebabkan trombosit pada tubuhnya sulit untuk berkembang. Kami akan mengusahakan yang terbaik. Kita serahkan semuanya pada Sang Pemilik Hidup,” jelas dokter.
Kenyataan yang pahit. Duniaku rasanya runtuh. Aku memeluk isteriku yang menangis begitu haru dan tak punya daya untuk berbuat sesuatu. Begitu cepat malapetaka ini menimpa keluarga kecilku. Tidakkah Tuhan tahu bahwa bayi kami masih sangat kecil. Ia masih belum bisa melakukan apa-apa, apalagi bertahan dari penyakit ini. Mengapa Dia tega menghendaki ini semua? Di mana belaskasih-Nya yang sering diceritakan dalam Injil? Aku tidak terima, namun aku sadar aku tidak bisa melakukan apa-apa, sebab aku hanyalah seorang manusia dengan kebutaan akan keinginan hatinya. Apa salahku Tuhan? Aku butuh jawaban…
Sudah dua hari jagoan kecil kami berbaring lemah. Tidak ada perkembangan yang memberikan setitik harapan bahwa ia akan sembuh. Aku dan Maria masih larut dalam kesedihan tak berdasar. Hanya menatap buah hati kami saja begitu menyayat hati. Maria menjadi sembap matanya karena begitu sering menangis sementara aku hanya bisa memberikan pelukan hangat untuk menghibur sang kekasihku .
***
Aku memasuki sebuah ruangan kecil di rumah sakit itu. Sebuah ruang doa kecil yang begitu dijaga kerapian dan kebersihannya. Aku tidak tahu mengapa kakiku melangkah ke tempat suci ini.
Aku duduk di bangku keempat dari depan dan menatap kosong Sang Tersalib. Aku diselimuti oleh keheningan yang lembut dan membuatku begitu betah untuk menghabiskan sedikit waktu untuk berada di dalamnya. Tiba-tiba air mataku mengalir lagi. Aku tidak malu lagi seandainya ada yang melihat. Kesedihan ini begitu mendalam karena aku belum siap kehilangan kebahagiaanku.
Aku masih memandang kosong kepada salib itu. Aku membayangkan bagaimana Sang Pencipta merasakan hal yang paling buruk ketika Putera-Nya yang tunggal itu disiksa, dihina, dan harus mati di kayu salib hina. Aku membayangkan bagaimana sakitnya ketika Bunda Maria menyaksikan penderitaan Yesus Kristus secara langsung dihadapannya. Penderitaan yang seharusnya tidak Ia terima.
Aku sadar yang kualami sekarang bukanlah apa-apa, bahkan tidak sebanding dengan apa yang dialami oleh Allah dan Bunda Maria. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa perasaan ini sakit sekali untuk mengakuinya. Aku menarik nafas panjang beberapa kali dan mencoba untuk kuat.
“Baik Tuhan. Aku menyerah. Aku ikhlas. Aku persembahkan bayiku kepada-Mu. Ambillah dia, sebab dia hanya titipan bagi kami. Aku tidak punya hak untuk hidupnya. Ambillah dia Tuhan… Ambilah dia..,” bisikku lirih untuk menjaga keheningan dalam ruangan itu. Lalu aku pergi dan menganggap semua ini akan berakhir. Aku sudah pasrah untuk hidup puteraku. Aku rela melepas kepergiannya untuk selama-lamanya. Semoga Maria juga mampu melakukannya.
***
Sebuah mukjizat. Malam itu trombosit puteraku kembali meningkat drastis. Keadaannya mulai membaik sebab ia mampu menangis. Dokter sama sekali tidak tahu mengapa trombosit buah hati kami dapat berkembang lebih cepat. Kata dokter, kejadian ini tidak pernah terjadi selama ia menjadi dokter. Aku tidak menyangka Tuhan akan berbuat demikian. Tuhan tidak mengambil puteraku, padahal aku sempat berpikir bahwa semuanya akan berakhir. Aku bersyukur sekali untuk segala yang terjadi. Aku tidak punya kata-kata untuk menggambarkan kebahagiaanku. Jagoan kecilku sudah sembuh. Aku memeluk isteriku dan mengatakan kepadanya,
“Sayang, aku sudah punya nama untuk buah hati kita,” kataku lembut penuh kepercayaan. Dia memandangku heran.
“Deo Pratama, yang berarti, putera pertama yang kupersembahkan kepada Tuhan,” sambungku dengan yakin. Ia tersenyum dan aku memeluknya lagi. Terima kasih Tuhan.
Fr. Nicodemus Sihaloho
HIDUP NO.26 2019, 30 Juni 2019