HIDUPKATOLIK.com – Saya memahami artinya para anonim Gereja ketika menjadi pastor dua tahun yang lalu. Saya mulai mengenal orang yang ke Gereja natal dan paskah, bertahun-tahun tidak mengaku dosa, bertahun-tahun terpepet oleh pernikahan yang tidak sah, bertahun-tahun tidak pergi ke Gereja, atau hanya dibaptis tanpa menjalankan ajaran Katolik.
Belum lagi, mereka yang karena keadaan tidak bisa datang dan terlibat di Gereja: orang-orang tua, para tahanan, orang-orang miskin, dan para pengungsi. Saya menyebut mereka anonim mengingat kenyataan bahwa di satu sisi keterlibatan mereka dalam Gereja terbatas, sementara di sisi yang lain pelayanan Gereja kepada mereka pun terbatas.
Dalam pengalaman saya, jumlah mereka tidak sedikit. Memang di tempat yang berbeda bisa jadi jumlahnya berbeda, tetapi jumlah mereka bisa mencapai separuh umat atau bahkan lebih. Kita bisa bertanya tentang berapa anak yang terjangkau oleh pendampingan iman anak, berapa orang muda yang terlibat di dalam OMK, dan juga berapa keluarga yang aktif di dalam kehidupan lingkungan. Dalam skala paroki saja kita bisa menghitung berapa jumlah mereka yang tidak tersapa atau tidak mau disapa oleh Gereja. Maka, kita bisa bertanya berapa jumlahnya dalam skala nasional atau internasional.
Dalam situasi ini, Gereja perlu sadar bahwa ia tidak hanya mengelola mereka yang ada di dalam kawanan, tetapi perlu mencari dan menyelamatkan yang hilang. Dalam bahasa Yesus, kita mengenal, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mrk 2: 17).
Paus Fransiskus
Saya kagum melihat optimisme besar yang ditawarkan Paus Fransiskus. Menurut hemat saya, dia adalah pribadi yang sangat paham akan pribadi-pribadi anonim di dalam Gereja. Ia tidak membiarkan dirinya hanya melayani orang-orang yang sudah ada di dalam Gereja, tetapi terus berjuang membuka celah kepada mereka yang tidak punya akses kepada Gereja untuk bisa mengalami kehadiran Gereja. Kehadirannya di penjara-penjara menunjukkan sebuah komitmen untuk menjumpai yang paling terpinggirkan. Dalam bahasa sederhana seakan ia mengatakan, “Kalau kalian tidak bisa mengunjungiku, aku yang mengunjungi kalian.”
Tahun kerahiman yang diadakan pada tahun 2015-2016 adalah sebuah pintu yang terbuka bagi banyak pribadi yang sudah merasa ditinggalkan oleh Gereja dan Tuhan untuk kembali merasakan kehangatan kasih Sang Bapa. Keinginan dan tindakan beliau untuk membuka berbagai masalah skandal dalam Gereja yang sudah bertahun-tahun tidak pernah diungkap menunjukkan keinginan untuk menyapa para korban, sekaligus para pelaku. Para korban mendapatkan keadilan, sementara para pelaku mendapatkan proses pembebasan dari keharusan menutup-nutupi dosa.
Terakhir, ajakan Bapa Suci untuk mengadakan hari orang miskin sedunia merupakan sebuah ajakan yang luar biasa. Di sini begitu jelas Paus mengingatkan bahwa harta utama dari Gereja adalah kaum miskin (St. Laurentius).
Kabar Gembira
Saya merasa Gereja ada pada jalur yang benar: memperbaiki jiwa rohani para pemimpinnya, menantang kemauan untuk menyapa semua, dan mengundang mereka yang anonim kembali ke dalam pangkuan Gereja. Dalam kesadaran ini kita tahu bahwa memang kita berjuang untuk mewartakan Injil, kabar sukacita: kesempatan yang terbuka untuk berdamai kembali dengan Allah dan sesama. Itulah yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus di dalam Ensiklik Evangelii Gaudium. Beliau mengungkapkan, “Iman juga berarti percaya kepada Tuhan, percaya bahwa dia benar-benar mencintai kita, bahwa dia hidup, bahwa dia secara misterius mampu melakukan intervensi, bahwa dia tidak meninggalkan kita dan bahwa dia membawa kebaikan dari kejahatan dengan kekuatan dan kreativitasnya yang tak terbatas”(EG art 278).
Rasanya gairah dan kesediaan Paus Fransiskus ini perlu kita jadikan virus yang menular. Kesadaran baru akan pentingnya menyapa yang ingin tetapi tidak mampu terlibat dalam kesatuan dengan Tuhan dan Gereja-nya menjadikan kita pribadi-pribadi yang setia pada panggilan kita untuk mewarta. Saat ini Bunda Gereja mengundang keterlibatan kita. Maukah anda?
M. Joko Lelono
HIDUP NO.26 2019, 30 Juni 2019