HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin, adik saya seorang Katolik sejak kecil. Tapi ia mendapat jodoh seorang Kristen. Pasangannya minta mereka menikah di Gereja Kristen Jawa (GKJ). Akhirnya mereka sepakat menikah di GKJ dengan dihadiri oleh romo dari Gereja Katolik. Akan tetapi, pada hari H-1, imam tak jadi datang, sehingga upacara dilakukan secara Protestan. Kami pasrah, karena saat itu tak mungkin mencari romo lain tanpa bantuan romo paroki. Mereka menikah tidak sah dan adik saya tak bisa menerima komuni selama 13 tahun ini. Sekarang adik saya dalam kondisi kritis karena stroke. Apakah kami bisa meminta pembaruan perkawinan agar adik saya dapat diselamatkan secara rohani? Terima kasih banyak, romo!
Tyas, Bekasi
Ibu Tyas, saya ikut prihatin dengan kejadian adik Anda yang sekarang sedang sakit. Meskipun dalam situasi yang sulit, semoga Gereja setempat tak membuat kesulitan dan
kesedihan bertambah karena pelayanan yang kurang memadai di hati umat yang sedang menderita. Saya ingin mengusulkan sesuatu.
Bagaimanapun juga, kehadiran seorang imam itu penting, bahkan menduduki tempat pertama dalam Liturgi Perkawinan, sejajar dengan kehadiran kedua mempelai yang akan mengikrarkan janji nikah. Ketidakhadirannya otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, apalagi perkawinan ekumenis itu dilakukan di luar Gereja Katolik. Akibatnya, karena pihak Katolik tidak menerima izin dari pernikahan beda Gereja, maka pernikahan itu membuat dia tak dapat menerima komuni karena perkawinan itu.
Dalam situasi mendesak dan kritis seperti sekarang ini, tak ada alasan bagi Gereja untuk menahan pertolongan rohani bagi pihak Katolik yang sebenarnya tanpa salah telah menikah tak sah. Ia dapat menerima pertolongan dari Gereja, segera, dengan menerima Sakramen Minyak Suci atau Perminyakan Orang Sakit. Cobalah meminta pelayanan ini kepada pastor paroki setempat atau pada Gereja yang berdekatan dengan Rumah Sakit si pasien.
Pelayanan ini dimungkinkan sebagai pastoral Gereja yang mewujudkan cinta kasih Tuhan kepada hamba-Nya yang sedang menderita dan rindu menerima Dia. Pelayanan ini boleh diterima meskipun si pasien yang sakit berat ini sedang bermasalah dalam perkawinannya. Hal itu tak berarti bahwa ia telah secara otomatis mengesahkan perkawinannya.
Pelayanan perminyakan ini menunjukkan betapa Gereja memberi perhatian kepada keselamatan jiwa umatnya. Penundaan dapat berakibat fatal kepada jiwa si sakit, jika ia tidak dapat tertolong lagi (semoga ia sembuh). Pelayanan perminyakan menampakkan hati Allah yang penuh kasih dan menerima umat-Nya dengan kasih sejati.
Jika selanjutnya si pasien sembuh atau membaik dan dapat dengan sadar melakukan tindakan hukum, seperti membuat kesepakatan, menandatangani, mengajukan permohonan pengesahan, maka Gereja dapat memberikan pelayanan pemberesan perkawinan dengan cara sanatio in radice, atau penyembuhan pada akar, yang berarti pihak Katolik mau menyembuhkan “sakit” dalam janji perkawinannya (yang tidak sah) dengan proses konvalidasi luar biasa.
Dalam Kan. 1161§1 disebut bahwa kekhasan dari konvalidasi ini ialah tanpa disertainya pembaruan kesepakatan (renovatio consensus) sebagaimana yang dituntut pada konvalidasi biasa. Syaratnya, konsensus selalu harus masih ada dan masih berlaku antara pihak suami dan istri. Kesepakatan nikah yang benar, penuh, dan bebas adalah syarat mutlak dalam proses ini dan tak bisa ditiadakan (conditio sine qua non). Karena jika dipantau dari sisi hukum Kanonik, kan. 1057 § 1, disebutkan bahwa kesepakatan yang dibuat secara legitim oleh kedua mempelai (di GKJ) itulah yang membuat perkawinan ada, bahkan tak tergantikan. Kesepakatan nikah itu merupakan radix atau akar dari perkawinan kedua pihak. Karena persoalan validitas, akar itu dinyatakan “sakit” dan oleh karenanya perlu disembuhkan.
Silakan bertanya dan berdiskusi dengan romo paroki adik Anda itu dan mintalah bantuan resmi dari Gereja, supaya pelayanan pastoral Gereja untuk adik Anda semakin sempurna. Tuhan memberkati.
Pastor Alexander Erwin Santoso MSF
HIDUP NO.26 2019, 30 Juni 2019